"Tolol!"
"Bodoh!"
"Engga punya otak!"Umpatan dan makian datang dengan cepat, silih berganti. Disusul tamparan disertai suara beling yang dilempar lalu terhempas luluh lantak di bawah tembok. Tak cukup itu, suara benda tumpul sengaja menghantam sesuatu yang keras. Berulang-ulang. Sayup-sayup ada isakan yang tertahan.
Aku menggigil dalam diam dan gelap. Otakku buntu. Dada terasa sesak namun air mata telah berlarian jatuh di pipiku. Tubuhku mematung menahan jiwa. Tak bisa bergerak. Namun kepalan tanganku menandakan adrenalin sedang meningkat, menjalar dengan cepat tanpa bisa kucegah.
Aku sudah tahu tanpa mesti melihat kembali apa yang terjadi. Nyanyian alam yang terus berulang setiap ada murka yang memuncak. Entah iblis golongan mana yang telah merasuki jiwa yang penuh amarah itu. Hilang sudah semua kebaikan di depan matanya. Tersapu bersih tanpa ada sanggahan.
Andai aku bisa, rasanya tangan mungil ini yang ingin jadi pemutus akhir peradilan dunia. Tidak ada lagi makian dan tamparan yang mengakibatkan luka bagi Mama dan aku. Mama hanya menyuruhku bersabar dan berdoa.
Suara-suara itu terus membahana dalam rumah sempit kontrakan kami. Jiwa-jiwa yang penasaran di luar sana seolah menemukan tontonan baru dan bakal jadi gosip satu kampung. Mereka saling bertanya dan menyimpulkan tanpa tahu jawaban pastinya.
Ayah.
Ya iblis itu bersemayan dalam diri Ayahku. Setiap ada amarah di tempat kerja atau kesal dengan orang lain yang tidak sejalan dengannya, Mama dan barang-barang di rumah-lah yang menjadi sasaran empuknya. Hancur semua. Rasanya sia-sia saja Mama mengumpulkan perabot dapur yang dibelinya dengan mencicil jika setiap mengamuk Ayah selalu menghancurkannya.
Bukan hanya barang yang hancur. Bahkan aku dan Dito-adik satu-satunya- korban kedua yang ikut hancur jiwanya setelah Mama.
Sedari kecil, mata dan hatiku senantiasa penuh dengan kesakitan. Sakit secara fisik maupun batin. Kukira, Mama paling berat ujiannya. Punya suami yang selalu menghina diri dan keluarganya. Padahal, kakek dari Mama-lah penyokong ekonomi keluarga kami yang masih morat marit kala itu karena keegoisan Bapak.
Aku berjingkat. Dari lubang anak kunci kuintip. Tidak ada lagi pergerakan atau suara apa pun. Hening. Perlahan, gagang pintu berputar dan kubuka.
Di sana, Mama berjongkok sambil memunguti sampah masakan. Ya, aku sering mengatakan itu. Kata apalagi selain kata itu, sampah masakan. Hasil masakan Mama yang baru selesai langsung menjadi sampah. Setelah di lempar ke tembok berikut piringnya.
Allah, rasanya air mata ini semakin mengalir deras. Badan Mama yang ringkih menunduk mencoba memunguti makanan yang berhamburan. Terbuang dan berserakan di mana-mana.
Mama terlihat semakin menderita. Aku berlari memeluknya. Mama menoleh. Ada luka di sana. Luka di iris mata dan batinnya yang tak terlihat serta luka di wajahnya yang lebam dan terlihat mulai membengkak.
"Sabar ya, Nak!" Suara Mama parau dan menahan isak tangis.
Tangannya memerah. Darah mengalir. Pecahan beling dari lima piring tempat lauk dan sisa makanan yang tidak sempat disantap Mama rupanya telah melukai tangannya yang putih. Mama tadi sedang makan ketika Ayah mulai lagi mengamuk.
Tanpa kata, aku mengangguk. Tangan ini segera mengambil serokan plastik dan sapu. Mama membawa kantong berisi pecahan beling ke tempat sampah di dapur. Tak lama, Mama datang kembali lalu memberikan aku sepasang sandal karet.
"Pakai sandalnya! Jangan sampai sisa beling melukai kakimu, Nak!" Mama mengusap punggungku.
Aku kembali mengangguk. Rasanya tidak sanggup berkata apapun. Mataku kabur tertutup air mata yang engga berhenti. Sebelum Mama memberiku sandal, kakiku sudah tergoreh pecahan beling. Perih sekali. Butir-butir halusnya menembus dengan garang. Entahlah, perih dari beling ini tak terasa dan bisa kuobati nanti. Namun, perih dan trauma di hati rasanya akan melekat dalam jiwaku sepanjang hidup ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
P U L A N G (Kumpulan Cerita Pendek) (Dalam Proses Penerbitan)
Short StoryKumpulan cerita pendek ini hasil tulisan saat santai dan ikut lomba-lomba menulis. Enggak cuma satu genre aja, sih, alias campuran. Jadi jangan heran jika jarak dari satu bab ke bab lain cukup panjang, dari tahun 2020-2024. Sepertinya kebiasaan menu...