Pameungpeuk, Garut
19 Maret 1946"Kang, apa Akang yakin akan pergi? Aku sebentar lagi lahiran, Kang." Seraut wajah pias milik Saripah menatap lelaki yang baru saja masuk ke kamar.
Perempuan itu menghela napas panjang. Hawa malam terasa dingin menggigit kulit. Suasana hening menyelimuti kampung Jatimulya. Sepi dan gelap sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat yang sebagian besar bertani dan pencari kayu bakar ke hutan.
Sejak Magrib turun, anak-anak dan para orang tua sudah mengisi ruang-ruang sederhana surau. Setelah Isya lewat, tak seorang pun berkeliaran di luar kecuali ada keperluan mendesak. Apalagi beberapa hari lalu datang pasukan berseragam cokelat yang mencari keberadaan Abah Usep, entah apa yang mereka rencanakan. Namun, sejak saat itu, beberapa pemuda berjaga-jaga di beberapa titik masuk dan keluar kampung.
"Jangan keras-keras, Nyai! Nanti ada yang mendengar! Ini rahasia. Hanya akang dan Juragan Wira yang tahu. Nyai diam saja. Lagi pula cuma anter barang saja ke sana," bisik Holidi di telinga Saripah, lalu beringsut mendekati jendela kamar seperti tengah mengawasi.
Saripah menatap siluet wajah Holidi yang tampak gelap dengan latar cahaya lampu cempor. Suasana kamar yang terbuat dari anyaman bambu dengan penerangan seadanya membuat perempuan usia 25 tahun itu tidak tahu bagaimana mimik wajah suaminya saat itu.
"Akang akan meninggalkan kami berapa lama?" tanya perempuan itu lagi seraya mengelus perutnya yang membesar, lalu melemparkan pandangan ke luar kamar. Dia teringat tiga bocah yang tengah terlelap di kamar sebelah.
"Akang belum tahu, Nyi! Mungkin bisa sebentar, atau bisa juga lama. Yang penting Nyai, anak-anak, dan si utun aman di sini. Untuk sementara lupakan dulu Dayeuhkolot. Nanti kalau sudah aman, kita kembali lagi ke sana," jawab Holidi seraya menciumi perut Saripah.
Setelah puas mengajak bicara calon anak keempatnya yang tengah dikandung Saripah, Holidi menuju ranjang dan membaringkan tubuh kurusnya. Saripah menghela napas, lalu berjalan ke jendela dan duduk menghadap cermin.
Perempuan itu merasakan debaran jantung semakin cepat, tetapi dia segera menghalau ketakutan dan kekhawatiran yang mencengkeram kuat hatinya. Matanya kembali menoleh ke arah pembaringan, terdengar dengkuran halus Holidi, lelaki baik yang telah menikahinya sepuluh tahun lalu.
Saripah kemudian melepas sanggul dan membiarkan rambut panjang tebalnya tergerai, perlahan dia menyisir. Setelah puas, perempuan itu membaringkan tubuhnya di samping Holidi yang sudah terlelap.
*****
Pameungpeuk, Garut
23 Maret 1946"Bandung terbakar! Bandung terbakar! Dayeuh merah membara!"
"Saripah! Saripah! Jaga anak-anak semua! Jangan ada yang keluar dari rumah. Gusti Allah, bagaimana ini? Holidi ke mana?"
Terdengar suara Bapak berteriak memanggil sementara di luar suasana terasa genting dan menakutkan. Kampung yang semula tenang berubah gempar setelah beberapa orang penduduk yang baru turun dari Gunung Leutik mengabarkan hal menakutkan tentang Bandung. Saripah seraya memegang perut besarnya keluar dari pintu belakang, sementara ketiga anaknya mengekor dengan wajah pucat.
"Pak, aku di sini. Bapak sama Emak jangan pergi jauh. Keadaan kampung dan dayeuh sedang tidak aman. Kang Holidi ikut Juragan Wira."
"Holidi ikut Juragan Wira? Itu artinya mereka ke Bandung?"
"Kata Kang Holidi hanya antar dagangan saja."
Bapak mendekat. Diusapnya kepala anak perempuan satu-satunya. "Nyai, Juragan Wira itu pejuang. Dia bukan bawa barang dagangan ke Dayeuh Bandung, tapi bawa peledak. Di sana Juragan Wira ditunggu oleh seseorang yang bernama Mohammad Toha. Orang itu dan pasukannya berniat meledakkan gudang senjata milik Walanda. Bapak tahunya dari Abah Usep."
Mata Bapak dan Emak menatap Saripah dengan penuh kecemasan. Saripah hanya bisa terduduk lemas. Dia tidak menyangka jika kepergian Holidi ke Bandung bukan untuk berdagang, tetapi ikut berjuang membumihanguskan Bandung agar tidak dikuasai penjajah.
#ChallengeIWZ
#BelajarbarengIWZ
#historicalfiction
#tulisanirmaGambar dari Pinterest
KAMU SEDANG MEMBACA
P U L A N G (Kumpulan Cerita Pendek) (Dalam Proses Penerbitan)
Short StoryKumpulan cerita pendek ini hasil tulisan saat santai dan ikut lomba-lomba menulis. Enggak cuma satu genre aja, sih, alias campuran. Jadi jangan heran jika jarak dari satu bab ke bab lain cukup panjang, dari tahun 2020-2024. Sepertinya kebiasaan menu...