22. Dunia Anita

6 0 0
                                    

Anita, gadis muda yang baik dan sopan. Siapakah dia? Anita bukan siapa-siapa dalam keluarga kami Tidak ada hubungan kekerabatan. Dia teman akrab adikku sewaktu di SMA dulu. Mereka sekarang terpisah semenjak keluar dari sekolah enam tahun yang lalu.

Gadis itu tidak cantik. Jika kita berbicara fisik lewat mata dan penilaian manusia. Badannya gempal dengan tinggi yang sedang. Wajah dengan pipi yang chubby penuh jerawat. Bibirnya tebah dengan mata yang sedikit sipit. Andaikan dia menjadi artis pun, mungkin hanya peran-peran pelengkap sebagai objek penderita saja. Entah itu menjadi badut atau perempuan polos teman si tokoh yang tampilannya sempurna, terlihat eye catching, dan modern looks.

Banyak anak laki-laki yang mengolok-ngoloknya. Dia selalu mendapatkan perundungan. Bullying verbal, body shamming.

Aku sedang tidak membicarakan kejelekkan fisik gadis itu. Sekali lagi, tidak!
Itu kenyataan yang ada di depan mata. Dan fakta itu pun diceritakan Anita ketika berbicara denganku saat dia main ke rumah. Kadang aku dan Bunda jadi teman curhatnya jika Rania tidak ada di rumah.

Mengenai pendidikan, Anita termasuk anak yang kurang beruntung. Orang tuanya kurang begitu memperhatikan keinginan anaknya untuk sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

Anita putus asa. Satu sisi dia ingin seperti teman yang lain namun di sisi lain dia tidak memiliki uang yang cukup untuk kuliah. Meminta kepada orang tua pun tidak ada hasilnya. Sang ayah beralasan tidak ada dana dan mempersilakan Anita untuk mencari sendiri masa depannya.

Mulailah Anita melamar kerja kesana kemari. Di saat teman-temannya sibuk dengan tugas dari dosen dan kadang-kadang mencatut dana yang diberikan orang tua, Anita malah berkutat dengan kertas-kertas data penjualan barang. Ya, Anita bekerja di sebuah minimarket yang cukup jauh dari rumahnya.

Segala kepedihan dan cita-citanya dipendam sendiri. Hanya kepada adikku, Rania, dia bercerita dan berkeluh kesah. Terkadang dia bertanya, kenapa Allah tidak memberikannya keluarga yang mensuportnya  untuk masa depan.

Dia  merasa seperti layangan putus yang tertiup angin dan terbang melayang kemana saja tanpa tujuan yang jelas. Pernah Anita menginap di rumah. Rania bilang, Anita sedang kabur dan sedang menangis. Aku membiarkan Anita dan menahan diri untuk tidak menanyakan permasalahan yang sedang dihadapinya. Anita juga butuh ruang pribadi untuk melepaskan beban yang menghimpit. Selang dua hari, dia kembali pulang.

Kesibukan Rania sebagai calon dokter di tingkat akhir masa perkuliahan ternyata cukup menyita waktu. Dari mulai tugas, praktikum, ujian,  yang terakhir koas di RSCM membuat hubungan Rania dan Anita terputus. Satu tahun sudah dia tidak ada kabar. Kudengar kini dia kerja di sebuah kafe kopi khas anak muda yang sedang berkembang.

Hingga tadi malam, Anita datang kembali ke rumah. Bukan untuk curhat atau menangis mengenai kepedihan hatinya. Dia datang dengan membawa bingkisan. "Parcel lebaran untuk Bunda dan Ayah," katanya.

Terus terang, aku sangat terharu. Dia masih mengingat kami. Aku ingat, dulu, setiap menjelang Idul Fitri, Anita sering berkeliling ke rumah teman-temannya, termasuk ke rumahku. Dia datang untuk memberikan bingkisan lebaran. Sampai Ayah dan Bunda hapal rutinitasnya. 

Entah berapa paket yang dia buat dan beràpa dana yang dia keluarkan. Bahkan, dia paling rajin setiap Rania berulang tahun, ada saja kue ulang tahun dan kado mampir ke rumah. Sekali lagi aku terharu. Dari segi financial, Anita bukanlah orang yang berada.

Ada cerita lain lagi yang sering kudengar dari Rania. Anita sering membantu teman-temannya yang membutuhkan uang. Dananya dari uang yang dia miliki. Bahkan, ada anak tetangganya yang sering dibantu untuk biaya sekolahnya.

"Anita punya uang dari mana, Ran?" tanyaku ketika mendengar cerita ini.

"Anita suka kerja serabutan, Mbak! Apapun dikerjakan asal halal. Yang penting bukan jual diri, rampok atau jual narkoba. Dia mah kuat mental," jawab Rania.

"Dia engga takut miskin. Apa pun yang dia miliki suka dibagiin sama orang lain. Bahkan tetangganya aja suka dia kasih."

Aku tercenung, gadis ini mengajarkanku banyak sekali mengenai arti berbagi dengan ikhlas. "Dia tidak takut miskin" kata-kata ini seolah menamparku.

Dari cara Anita berbagi aku jadi tahu,  bagaimana orang tidak mampu tapi bermental kaya. Baginya, menabung kebaikan dengan akhlak yang terpuji jauh lebih berharga dari uang yang dia hasilkan.

Kupikir, Rania justru sangat beruntung mempunyai teman seistimewa Anita.
Perempuan sederhana yang memiliki hati yang baik dan tulus. Bukan sebaliknya, Anita yang beruntung berteman dengan Rania yang cantik dan calon dokter.
Diam-diam Rania mengagumi Anita.

Semoga kelak, ada laki-laki saleh dan berbudi luhur yang akan menggenapkan diennya dengan Anita dalam mengarungi lautan kehidupan hingga ke Jannah-Nya.

Jakarta, 27 Mei 2020

P U L A N G (Kumpulan Cerita Pendek) (Dalam Proses Penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang