Bab 10 : Sepatu Membawa Luka

260 17 0
                                    

Mama memandang Cindra dengan senyum penuh bangga. "Anak Mama cantik sekali," ucapnya membuat Cindra tersipu malu. "Sebentar lagi kamu akan menjadi wanita dewasa," ucapnya lagi seraya kembali merapikan riasan di wajah Cindra.

"Cindra kan, memang sudah dewasa, Ma. Sudah sembilan belas tahun," sahut Cindra sambil memutar tubuhnya di depan cermin. Membuat gaun panjang yang dikenakannya berkibar seperti tertiup angin.

Mama tertawa kecil. "Sudah selesai. Sekarang kamu pakai sepatumu lalu temui Leo. Mungkin dia sudah menunggu."

Cindra pun mengeluarkan sepasang  sepatu berhak tinggi yang masih baru dari dalam kotaknya. Sepatu berwarna pink keemasan itu merupakan hadiah ulang tahun dari Mami Renata tahun lalu yang belum pernah dipakainya.  Sambil tersenyum Cindra mengenakan sepatu itu, lalu  dicobanya untuk berdiri tegak, tapi tiba-tiba saja ia kehilangan keseimbangan.  Tubuhnya mendadak limbung lalu jatuh tanpa bisa dikendalikannya. Untung saja Mama dengan sigap berhasil menahan separuh tubuhnya sambil menahan tawa.

"Huuuh!" Cindra melempar sepatu itu dengan kesal.

"Cindra?!" Mama menatap Cindra dengan mata melotot.

"Lain kali aja deh, Ma pakainya. Cindra latihan dulu. Sekarang pakai sepatu Cindra yang biasa aja," pintanya memelas.

Tapi Mama menggeleng. "Sudah hampir satu tahun kamu biarkan sepatu itu di dalam kotaknya tanpa pernah kamu pakai. Hargai orang yang memberinya, Cindra. Sepatu itu mahal sekali. Hampir separuh gaji Mama."

"Tapi ini terlalu tinggi, Cindra enggak bisa, Ma..."

Mama menghela nafasnya. "Cindra, kamu harus percaya diri. Kamu harus berdiri dengan proporsional, kalau tidak tubuhmu tidak akan seimbang," ucapnya seraya mengulurkan kembali sepatu itu pada Cindra. "Dan lagi pula gaun kamu itu memang harus dikenakan dengan sepatu berhak tinggi, karena terlalu panjang. Bisa keserimpet kalau kamu pakai sepatu datar," sambung Mama lagi.

Dan akhirnya setelah dua puluh menit berlatih, Cindra pun bisa berdiri dengan tegak di atas sepatunya. Lalu dengan bersusah payah melangkah ke Istana Atmaja. Menunggu pangeran kodok keluar dari dalam kamarnya.

Leo baru saja akan menuruni anak tangga saat dilihatnya Cindra berdiri dengan anggunnya di tengah ruangan. Di bawah gemerlap lampu kristal yang menyala. Lama ia tertegun memandanginya. Ia memang jarang sekali melihat Cindra berpenampilan feminim dengan riasan wajah dan rambut yang ditata sangat serasi. Ia benar-benar seperti Putri Cinderella yang tengah menunggu pangerannya. Diam-diam Leo mengambil gambar Cindra dengan kamera ponselnya.

Cindra mengatur nafasnya. Ia merasa lelah sekali harus menahan tubuhnya agar seimbang. Untung saja Mami Renata belum pulang. Kalau tidak, ia pasti akan me...

"Cindra?!"

Tiba-tiba Mami Renata sudah berdiri di hadapannya dan menatapnya dengan takjub. Dan Papi Marlon yang tengah sibuk berbicara di ponsel pun ikut mengacungkan jempol sambil melempar senyum. Ternyata mereka baru saja pulang.

"Kamu cantik sekali!" Mami Renata menghampiri Cindra. Menyentuh wajah, gaun dan rambutnya yang ditata bergelombang oleh Mama.

Cindra mendadak canggung. "Makasih, Mi... Cindra pakai sepatu dari Mami..." Cindra mengangkat sedikit ujung gaunnya dan memperlihatkan sepatu yang dipakainya itu.

Wajah Mami Renata pun semakin terkejut. "Mami sudah menduganya sepatu itu akan indah di kakimu. Karena setiap sepatu akan menemukan sendiri pemiliknya. Dan akan menjadi sempurna saat ia sudah menemukan pemiliknya yang tepat."

"Hmm..." Cindra mengerutkan kedua alisnya, mencoba untuk mengerti kata-kata Mami Renata. Namun akhirnya ia hanya bisa tersenyum tanpa tahu harus berkata apa. Ia memang sering tidak mengerti dengan ucapan Mami yang selalu menganggap baju, sepatu dan tas mahal itu punya jiwa, dan hanya akan sempurna saat menemukan orang yang sempurna. Cindra hanya mengerti semua akan terlihat sempurna saat kita mampu membelinya. Begitu kata Mama.

Cinderella Tanpa PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang