CERITA KITA YANG BEGITU LUAR BIASA
DKI Jakarta, tahun 2000
Segumpal awan yang sudah gelap gulita, mulai menumpahkan air untuk membasahi ruas bumi di bawahnya. Rintik yang seringkali terjatuh tanpa pertanda, telah menggiring sekelompok manusia untuk segera mencari tempat berteduh. Angin kencang terus berembus bersamaan dengan suara guntur yang menggelegar cukup keras, itu terdengar sangat menakutkan. Dedaunan pada pohon-pohon besar berguguran, kemudian mengudara sebelum berakhir di aspal jalanan yang semula bersih.
Hujan sore itu telah menghentikan sebuah mobil Daihatsu Feroza dengan nomor polisi P 154 BLE, tampaknya air hujan mulai merusak komponen-komponen pada kendaraan tersebut sehingga menyebabkan mesin mati secara tiba-tiba. Pemilik yang mengemudikan mobil seorang diri pun beranjak, memilih untuk meneduh di gedung bertingkat dua dengan harapan hujan akan reda secepatnya.
“Aku tidak habis pikir, kenapa hujan selalu turun tiba-tiba. Padahal tadi langit kelihatan cerah, dan sekarang berubah menjadi mendung seperti ini,” gumamnya, sambil sesekali mengusap lengan akibat kedinginan.
Seorang perempuan bergegas memasuki gedung setelah menangkap kilat yang begitu terang di langit, hujan pun bertambah lebat sehingga memadamkan seluruh pijar lampu di dalam sana, disusul dengan teriakan dari beberapa orang yang berada di sekitarnya.
Perempuan itu berdiam diri di tempat untuk mencari keberadaan sekotak korek api di dalam tas tipe Pochette, lalu saat menemukannya satu batang korek kayu pun dikeluarkan supaya dapat segera menghasilkan api, setidaknya akan ada setitik cahaya di sana. Namun, akibat telapak tangan yang basah membuatnya harus berulang kali menggesekkan korek kayu, hingga sebatang korek yang tertinggal berhasil menghidupkan sumbu api.
Dalam kesunyian derap langkah terdengar begitu kental dari arah depan, cahaya yang memancar membuat wajah perempuan itu terlihat di hadapan seorang lelaki jangkung yang entah sejak kapan berdiri di sana. Kelopak mata yang saling tertuju untuk bertukar pandangan pun kian lekat, tidak ada pergerakan di antara keduanya, tetapi manik mata lelaki itu beralih pada batang korek api yang perlahan habis.
Huft!
Dia meniup api pada batang korek kayu yang dipegang oleh perempuan di hadapannya, padamnya titik cahaya tersebut telah mengundang pijar lampu di gedung yang menyala dalam sekejap. Netra dari perempuan itu pun mengedar, menyadari bahwa dirinya berada di dalam gedung perpustakaan daerah, terlihat dari susunan buku di setiap rak yang berderet teratur di sana.
Lelaki yang berdiri tegak di hadapan perempuan itu langsung meraih tangannya, usai membuang batang korek kayu yang sudah setengah terbakar. “Kamu akan terluka jika terus memegang batang korek api seperti tadi,” kata lelaki tersebut.
“Kamu harus lebih berhati-hati karena api tidak hanya menjadi teman, tapi juga bisa menjadi lawan. Jika tadi jari—“ Lelaki itu berhenti berbicara, saat perempuan di hadapannya hanya terdiam dan sibuk memandang dirinya. Tentu, dengan mimik kagum dan menahan senyum.
“Lanjutkan, kenapa berhenti?” Pertanyaan yang terlontar membuatnya langsung melepaskan tangan dari perempuan itu, dan berlalu pergi.
“Kamu takut jika jariku terluka, karena tadi hampir terkena api?” tanya perempuan itu kembali, seraya mengikuti langkah lelaki yang terus berjalan ke arah deretan buku-buku di salah satu rak.
Namun, lelaki itu tampak angkuh bahkan tidak menoleh sedikit pun ke arah perempuan, yang sudah setia berdiri di belakangnya. “Bagaimana jika tanganku terluka? Apa kamu akan mengobati lukanya?” tanyanya, terus berusaha mendekati lelaki yang mulai mengambil sebuah buku dari salah satu rak.
“Hei! Aku sedang berbicara denganmu, tolong lihat aku,” pinta perempuan itu, cukup antusias.
“Baiklah kalau kamu tidak mau berbicara denganku, tapi terima kasih, ya, karena kamu sudah meniup api itu agar tidak melukai tanganku,” ujarnya, kemudian mengubah posisi supaya berada di depannya.
Perempuan itu tertegun saat menyadari seragam yang dipakai oleh lelaki di hadapannya. “Kak Aksa, kenapa selama ini kamu tidak memberitahuku jika kamu pindah ke Jakarta dan bekerja di sini?” Lelaki yang tengah membaca buku pun langsung mendongak.
“Bagaimana bisa kamu tahu namaku?” tampiknya, bingung.
Tentu, perempuan yang berdiri di hadapan lelaki itu mengerutkan kening akibat heran. “Kamu tidak mengenalku?”
Dia mengembalikan buku yang dipegang ke dalam sela-sela rak, lalu mengembuskan napas panjang. “Kamu tetangga yang baru pindah di sebelah rumahku, ‘kan? Tapi, sebelumnya kita belum pernah berkenalan, jadi kenapa kamu bisa ....”
Perempuan di hadapannya memotong perkataan lelaki itu, seraya mengulurkan tangan kepadanya. “Aku Nismaradisa Arabella. Sekarang panggil saja Disa jangan Mara lagi, nama Disa itu lebih bagus karena bisa diartikan sebagai dua atau berdua. Sama halnya seperti aku dan kamu, yang akan bisa bersama.”
Lelaki itu membalas uluran tangannya, tanpa memahami perkataan dari perempuan yang kerap disapa Disa. “Aksa Rezvansyah Atmaja."
Disa mengangguk lamban, senyuman yang terbit di kedua sudut bibir kini telah mengindahkan wajahnya. “Aku sudah tahu.”
Lelaki yang bernama Aksa pun melepas jabatan tangannya dengan Disa. “Mungkin kamu sudah lupa, tapi aku masih mengingatnya,” kata Disa, terus tersenyum di depan Aksa.
“Mengingat apa? Jangan mengingat yang aneh-aneh tentangku,” balas Aksa, justru ketakutan saat memandang Disa—perempuan berambut ikal sebahu, yang dijepit satu di bagian belakang kepala.
“Apa kamu sama sekali tidak mengenalku?” tanya Disa, merasa jika Aksa yang saat ini berada di hadapannya bukanlah Aksa yang ia kenal.
“Bukannya tadi kamu sudah memperkenalkan diri, jadi sekarang aku sudah mengenalmu,” jawabnya, membuang wajah dari Disa dan memilih pergi dari sana.
“Kamu benar-benar tidak mengingatku, atau aku yang sudah kamu lupakan, Kak Aksa,” batin Disa, selama memandang punggung Aksa yang berjalan menjauh.
Disa berlari mengejarnya, lalu menyentuh tangan Aksa dari belakang seraya berkata, “Aku Mara gadis kecilmu.”
Aksa langsung menghentikan langkahnya, dan menoleh pada Disa. “Setelah kamu memutuskan untuk berkuliah di kota, aku sudah tidak lagi mendapatkan kabar darimu, Kak. Tapi, sekarang aku bahagia karena bisa bertemu kembali denganmu, apalagi melihatmu sudah bekerja seperti ini,” lanjutnya.
Namun, Aksa justru melepaskan genggaman tangan dari Disa. “Kenapa aku harus memberikan kabar kepadamu? Memangnya kamu siapa?”
Senyuman yang sejak tadi terkembang disudut bibir Disa, telah hilang dalam seketika. “Aku ini teman masa kecilmu, Kak, dulu kita selalu bermain bersama. Mungkin di sekolah kamu menjadi seniorku, tapi saat di rumah kamu menganggapku sebagai teman,” balas Disa, dengan bola mata berkaca-kaca.
Raut wajah Aksa tampak datar, seakan tidak bahagia akan kehadiran Disa di sana. Entah karena Aksa sudah melupakan teman masa kecilnya itu, atau memang Disa yang terlalu berharap jika Aksa akan selalu mengingat hubungan pertemanannya.
“Kenapa kamu terus panggil aku dengan sebutan, Kak, aku ini bukan Kakakmu!” sewot Aksa.
“Baiklah kalau kamu tidak mau aku panggil, Kak, aku akan memanggilmu sayang saja,” kata Disa enteng.
“Aku bukan kekasihmu,” tolak Aksa mentah-mentah.
“Kalau begitu jadilah kekasihku,” ucap Disa, dengan sorot mata berbinar dan senyuman yang kembali merekah.
“Aku sudah mempunyai kekasih,” tukas Aksa, menatapnya tajam.
Apakah perasaan Disa akan terbalaskan atau justru ia harus merelakan?
🥀🥀
hai, jangan lupa untuk vote, kasih komentar dan share ke teman-teman kalian, karena ini cerita baruku yang sedang di ikut sertakan dalam lomba writing marathon, so mohon support dari kalian semua! Luvv yuu poreper ><
KAMU SEDANG MEMBACA
INEFFABLE [ TAMAT ]
Romance[ SEBELUM MEMBACA, DIHARAPKAN FOLLOW TERLEBIH DAHULU ! ] Aksa Rezvansyah Atmaja harus kehilangan Zaviya, tunangannya, yang menjadi salah satu korban tewas dari tragedi unjuk rasa pada peristiwa Semanggi II tanggal 24 September 1999. Setelah kedua or...