MENCINTAI SESEORANG ITU KEPUTUSAN BUKAN PILIHAN
Riuh angin menerjang tanah lapang yang dipenuhi oleh rerumputan liar, dedaunan pada ranting pohon pun bergoyang sesuai arah mata angin. Langit yang membentang luas di atas tampak begitu cerah, gumpalan mega-mega mendung sama sekali tidak terlihat yang semestinya menjadi pertanda jika akan turun hujan.
“Aku dimana?” tanya seorang lelaki jangkung, yang berdiri di antara rumput-rumput liar dan tanaman bunga kapas.
Sepasang kakinya yang dibiarkan tidak beralaskan apa pun itu menapak pada tanah kering, dia melangkah gusar demi mencari jalan pulang. Manik matanya kerap mengedar ke segala penjuru. Tidak ada siapa pun kecuali dirinya di sana, hanya embusan napasnya saja yang dapat dia dengar. Hingga perasaan kalut mulai hadir ketika tidak menemukan penghujung jalan, kemudian berteriak meminta pertolongan. Namun, semuanya sia-sia.
“Aksa!”
Sayup-sayup pendengarannya menangkap suara yang tidak asing, sehingga dia berbalik untuk mencari tahu sumber suara tersebut. Tidak terlihat siapa-siapa di sekelilingnya, hanya ada rumput liar yang bergoyang serta pepohonan rindang. “Siapa itu?!” tanyanya, memastikan keberadaan seseorang di sana.
“Aksa!” Suara yang serupa kembali tertangkap di kedua telinganya, kini terdengar menggema seakan suara itu berasal dari kejauhan.
“Zaviya,” lirihnya, usai mendapati seorang perempuan muda yang tampak begitu cantik.
Perempuan itu memakai dress putih dan sepatu hak tinggi yang menjadi hadiah darinya di hari ulang tahun, tampak anggun ketika bibir merah jambu miliknya mengulum senyuman tipis. Namun, dia berlari pergi kala Aksa akan mendekat padanya.
“Zaviya, tunggu!” panggil Aksa, sedikit meninggikan suara lantaran perempuan itu terus menjauh darinya.
Aksa sangat bahagia karena dapat kembali bertemu dengan sang kekasih, sehingga ia berusaha untuk mengejar langkahnya yang berlari di antara rerumputan itu. “Jangan lari nanti kamu bisa jatuh.”
“Ayo, sini!” Zaviya mempercepat langkah, sembari sesekali berbalik memandang Aksa dengan tersenyum.
Lelaki itu berhenti untuk mengatur napasnya yang sudah tersengal, tanpa mengalihkan pandangannya dari Zaviya. “Jangan pergi lagi dari aku, Sayang,” pinta Aksa, sambil menyeka peluh pada keningnya.
Zaviya menghentikan langkahnya usai mendengar suara Aksa yang sendu itu, ia memutar tubuh ke belakang lalu berdiam diri di tempat dengan tatapan kosong yang lurus ke depan. “Zaviya, aku merindukanmu,” kata Aksa lagi, sembari perlahan melangkah maju.
“Kembalilah padaku, Sayang, aku sangat merindukanmu.” Aksa tidak beralih dalam menatap Zaviya di kejauhan, pelan-pelan ia berjalan menghampirinya yang tampak mematung.
“Kamu adalah hidupku ... jika kamu pergi bagaimana bisa aku hidup? Kamu alasanku untuk tetap bertahan sejauh ini, jadi tolong kembalilah,” rengek Aksa, mengangkat tangan kanannya supaya dapat meraih tangan Zaviya.
“Arella Zaviya, aku mencintaimu sampai napas terakhirku.”
Namun, ketika Aksa sudah berada cukup dekat dengan Zaviya dan akan meraih pergelangan tangannya, perempuan itu tiba-tiba menghilang dari pandangan. Kini harapan untuk membawa sang kekasih kembali telah sirna dalam sekejap, padahal ia hampir saja menyentuhnya.
“Zaviya!” raung Aksa, mengedarkan pandangan dengan tubuh yang berputar mencari keberadaan kekasihnya.
Lelaki itu membuka lebar pupil matanya sebelum perlahan mengantup lalu terbuka lagi, suara raungan darinya yang kerap memanggil nama Zaviya pun menggema di setiap sudut ruangan. Degup jantung berdebar cepat seolah-olah sedang beradu dengan napas yang tersengal, sementara bulir keringat kian membasahi area kening serta wajahnya.
Pyaaarr!
Suara pecahan kaca telah mengejutkan pendengarannya. Pupil mata yang semula membulat sempurna kini mulai mengecil, usai mengetahui jika pertemuannya dengan Zaviya hanyalah mimpi belaka. “Dimana foto Zaviya.” Saat terbangun dari tidur lelaki itu tampak kebingungan, lantaran tidak melihat keberadaan pigura foto kekasihnya.
Dia mengingat betul jika semalam tertidur sambil memeluk dua buah pigura, yakni foto Zaviya dan juga ibunya. Namun, pagi ini yang tersisa hanya pigura foto milik sang ibu saja. Lantas, dia pun beranjak dari ranjang itu untuk mencarinya di kolong maupun meja, tetapi tidak berhasil ditemukan. Bahkan, kotak kayu yang berisikan foto, serta barang-barang pemberian dari Zaviya sebelum meninggal pun tidak terlihat di tempat semestinya.
“Kemana kotak kayu yang berisikan barang-barang dari, Zaviya? Padahal aku selalu meletakkannya di atas meja belajar,” gumam Aksa, berpikir jika seseorang telah mengambil itu tanpa sepengetahuannya.
Bergegas Aksa ke luar kamar untuk menemui Disa, orang pertama yang terlintas di pikirannya. Perempuan itu telah menjadi akar dari semua masalah yang Aksa alami, seandainya saja Disa tidak melakukan sesuatu yang membuat Aksa pergi merantau ke kota Jakarta, mungkin lelaki itu tidak akan bertemu dengan Zaviya, dan merasa kehilangan atas kematiannya.
Namun, langkah Aksa terhenti di ruang tengah saat melihat Aggra yang tengah menggunting foto-foto, lukisan, baju pasangan, serta syal rajut yang dibuat sendiri oleh mendiang Zaviya. Lelaki itu mengurungkan niatnya untuk pergi ke rumah Disa, karena ternyata pelaku yang sesungguhnya ialah Aggra. “Apa yang kamu lakukan?!”
Tentu Aksa marah akan hal itu, bagaimana bisa Aggra merobek foto-foto kebersamannya dengan sang kekasih, lalu merusak baju, lukisan, juga syal rajut yang Zaviya buat sendiri untuk dirinya? Apakah Aggra menganggap semua itu selayaknya mainan, atau memang ia ingin membalaskan dendam sebab Aksa sudah menghancurkan buku abjad serta pensil pemberian dari Disa.
“Berhenti merusaknya!” jerit Aksa, mencengkeram tangan Aggra karena sejak tadi menggunting baju berwarna putih, dengan motif hati di tengahnya yang bertuliskan nama masing-masing, yakni Zaviya dan Aksa.
Selain itu, Aksa juga sudah menemukan pigura foto Zaviya yang hilang. Ternyata, berada di lantai dengan kaca yang sudah pecah dan berserakan akibat Aggra membantingnya. “Kamu tahu, Aggra? Semua yang kamu rusak itu sangat penting bagiku, karena hanya barang-barang ini yang bisa mengobati kerinduanku kepada Zaviya. Dia sudah susah payah membuatnya untuk aku, tapi sekarang kamu justru menghancurkannya!”
“Dasar laki-laki idiot! Bodoh!” serunya, kemudian menarik kerah baju Aggra dan menghantam wajah lelaki itu dengan tangan yang mengepal kuat.
“Lebih baik kamu yang mati, bukan Zaviya!” Pukulan demi pukulan terus Aksa layangkan terhadap sang adik.
Tidak ada perlawanan dari Aggra, karena ia tidak mengetahui apa pun selain menirukan sesuatu yang sudah Aksa lakukan di malam itu. Namun, dirinya justru terbelenggu pada jeratan Aksa yang sedang dibutakan oleh amarah, bahkan Aggra membiarkan sang kakak memukulinya sampai berdarah-darah.
“Berengsek!” Aksa kerap mengumpat, seraya menghantam habis-habisan wajah serta tubuh Aggra dengan tangannya sendiri.
Seorang perempuan datang untuk membagi sedikit makanan yang dimasaknya sendiri, tetapi saat memasuki rumah itu dia mendapati Aggra sudah terkapar tidak berdaya di lantai, darah tampak mengucur deras dari hidung serta kening. Namun, Aksa lebih dahulu pergi sebelum perempuan tersebut tiba di sana, sehingga dia tidak mengetahui jika Aksa yang telah melakukan semua ini terhadap adiknya.
“Kemana Aksa? Dia tega sekali meninggalkan adiknya di rumah sendirian dengan keadaan seperti ini,” gumam perempuan itu, seraya membantu Aggra untuk duduk supaya dapat mengobati luka-lukanya.
🥀🥀
hai, jangan lupa untuk vote, komentar dan share yaa? Thank you sudah mampir dan membaca cerita ini, semoga kalian suka! See u ><
Support me 🤍
KAMU SEDANG MEMBACA
INEFFABLE [ TAMAT ]
Romantik[ SEBELUM MEMBACA, DIHARAPKAN FOLLOW TERLEBIH DAHULU ! ] Aksa Rezvansyah Atmaja harus kehilangan Zaviya, tunangannya, yang menjadi salah satu korban tewas dari tragedi unjuk rasa pada peristiwa Semanggi II tanggal 24 September 1999. Setelah kedua or...