🥀 [ 22 ]

3 1 0
                                    

AKU MENJAUH BUKAN BERARTI TIDAK MENYIMPAN RASA

Disa lalu menyadari jika ini bukan waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya terhadap Aksa, tetapi lelaki itu telah membuat Disa kebingungan usai Aksa memintanya supaya kembali berbicara. Ia pun beralasan akan pergi memasak di dapur demi mengalihkan pembicaraan tersebut, sementara Aksa berdiam diri di kamar seraya memikirkan perkataan Disa tadi.

“Mara, sekarang dia datang lagi di kehidupanku. Padahal aku sudah dengan sudah payah menjauh darinya.”

“Kenapa kamu ingin menjauh dariku?” Tanpa sepengetahuan Aksa, perempuan itu diam-diam mendengarnya yang tengah bermonolog di kamar.

“Karena itu sudah menjadi keputusanku,” jawab Aksa, membuat Disa mendekat padanya.

“Bukannya dulu kita berteman, Kak? Lalu, mengapa kamu ingin menjauh dariku? Apa alasannya?”

Namun, Aksa tidak menjawab semua pertanyaan dari Disa, ia justru melontarkan kalimat tanya padanya. “Tadi kamu bilang mau memasak makanan di dapur, lalu kenapa kembali kesini?”

“Bagaimana bisa aku memasak jika tidak ada satu pun bahan makanan di dapur,” balas Disa, menatap Aksa dengan penuh tanya.

“Kalau begitu kamu pulang saja, karena aku ingin tidur.” Setelah mengatakan itu Aksa langsung membaringkan tubuhnya di ranjang, kemudian menarik selimut dan mulai memejamkan kedua mata.

“Tapi kamu harus minum obat, Kak,” pinta Disa, perlahan mendekati ranjang itu. “Kamu masih demam,” lanjutnya, usai menyentuh kening Aksa sehingga ia kembali mengompresnya.

“A-sa!” panggil Aggra, yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu kamar. Lalu, Disa bergegas  menghampirinya dan mengajak lelaki itu untuk pergi dari sana, supaya tidak mengganggu Aksa yang sedang beristirahat.

Mereka berdua pun menuju ke ruang tengah, Disa berencana untuk mengajarkan Aggra membaca sebuah buku abjad supaya dapat berbicara dengan lancar. Pertama-tama ia yang mengucapkan beberapa kata di sana, kemudian Aggra mengikuti dengan memperhatikan pergerakan mulutnya. “I-b-u ... ibu.”

“I-b-u.” Tahap pertama berhasil Aggra lakukan dengan cukup lancar, bahkan kini ia mengucapkan kata itu berulang kali.

“Ibu,” ulang Disa, membuat Aggra menegaskan kata yang ia ucapkan.

Pada saat mendengarnya Disa langsung merasa begitu bahagia karena perkembangan syaraf di otak Aggra perlahan akan membaik, jika lelaki itu dapat melakukan perawatan seperti ini secara rutin. “Bagus, Aggra!”

“Selanjutnya coba kamu baca ini ... a-y-a-h,” ucap Disa, kembali menunjukkan satu demi satu kata di dalam buku tersebut. Hingga Aggra dapat mengucapkannya sesuai dengan yang Disa ajarkan.

Selain itu, Disa juga meminta Aksa untuk menuliskan ulang kata yang sudah ia tulis di selembar kertas kosong, tetapi Aggra tidak dapat memegang pensil secara benar sehingga Disa pun membantunya. Mereka berdua tidak mengetahui jika sejak tadi Aksa memperhatikan itu dari depan kamarnya, Aksa terbangun karena perut yang kerap berbunyi. Dan, kini Aksa menyaksikan sendiri jika Aggra sudah dapat membaca bahkan memanggil ibunya.

“A-ksa!” tegas Aggra, tersenyum lebar.

Dia bisa memanggil namaku, batin Aksa, berkecamuk.

“Coba ulangi lagi,” suruh Disa, sangat bersemangat dalam membantu Aggra.

Lelaki itu pun kembali memanggil nama yang tertulis di kertas. “Aksa!” Dia terus mengulangnya dengan penuh ketegasan, membuat pemilik nama itu tersentuh kala mendengarnya.

Stop!” teriak Aksa, menghampiri mereka berdua di sana.

Aggra berdiri dengan penuh kebahagiaan karena telah berhasil memanggil nama sang kakak dengan lancar, dan penuh kelantangan. “Aksa!” Bahkan ia langsung memeluk lelaki itu, tanpa berhenti memanggil namanya.

“Bisa diam tidak!” seru Aksa, mendorong tubuh Aggra sehingga Disa pun bangkit dari duduknya.

“Kak, kenapa kamu marah sama Aggra? Seharusnya kamu senang karena akhirnya dia bisa memanggil nama kamu lagi,” protes Disa, menatap Aksa dengan begitu garang.

“Aggra, tidak perlu belajar untuk memanggil namaku karena semua itu percuma. Mau sekeras apa pun dia belajar membaca atau menulis, dia tetap tidak bisa apa-apa!” Meskipun tidak begitu memahami perkataan sang kakak, Anggra tampak mulai memasang wajah murung dengan bibir yang melengkung ke bawah.

Sementara itu, Aksa yang memandangnya remeh mulai mengambil buku abjad serta selembar kertas di atas meja, kemudian merobeknya secara brutal. “Kamu itu anak autis, jadi tidak perlu belajar seperti ini!”

“Kak Aksa, jangan!” Disa berusaha untuk menghentikan aksi dari lelaki itu, begitu pula Aggra yang melarangnya walaupun hanya dengan gerakan tangan. Namun, Aksa tetap melakukan semuanya hingga pensil pun ia patahkan juga.

Disa merasa geram atas sikap Aksa barusan, kini pandangannya tertuju pada puing-puing kertas yang sudah hancur di lantai.  “Apa yang kamu lakukan, Kak?!”

“Aku melakukan apa yang harus aku lakukan,” kata Aksa, santai. Seakan ia tidak merasa bersalah setelah merusak buku yang menjadi metode pembelajaran bagi Aggra, adiknya.

“Kamu salah, Kak! Ini termasuk langkah awal untuk memulihkan kondisi syaraf otak Aggra, supaya dia bisa berpikir dan berbicara seperti orang normal pada umumnya, tapi kamu justru menghancurkan semua ini,” tandas Disa, menatap Aksa dengan bulir air mata yang berjatuhan di kedua pipi.

Entah mengapa Aksa tidak merasa bahagia ketika mendengar Aggra dapat memanggil namanya tanpa terbata-bata lagi, dan ia tidak sepantasnya melakukan semua itu jika memang tidak suka dengan cara Disa, dalam membantu sang adik untuk menjalani perawatan pada syarafnya. Padahal Disa melakukan semuanya demi memulihkan kondisi kesehatan Aggra, apabila terjadi sesuatu kepadanya maka orang yang pertama kali Aggra panggil, ialah nama Aksa.

Disa kembali berbicara, kini dengan nada yang terdengar sayup. “Aku hanya ingin Aggra sembuh.”

“Dia tidak bisa sembuh, selamanya dia akan seperti ini!” bentak Aksa, membuat Aggra ketakutan dan berlari memasuki kamarnya dengan kedua tangan yang menutup telinga.

Disa pun berniat untuk mengejarnya, tetapi Aksa melarang dan menyeret perempuan itu ke luar dari rumah. “Pergi kamu!”

“Jika kamu tidak bisa memahami perasaanku, setidaknya pahamilah perasaan Aggra!” bentak Disa, lantas melepaskan cengkeraman tangan Aksa dan beranjak meninggalkannya.

“Untuk apa aku memahami perasaan kalian, sedangkan kalian sendiri tidak bisa memahami perasaanku!” raung Arka, usai kepergian Disa dari sana ia langsung memukul dinding rumah itu dengan tangan yang mengepal kuat.

Ruang kamar yang sunyi senyap selalu menjadi tempat pelampiasan dari segala rasa entah itu bahagia, sedih, maupun marah. Dinding-dinding di sana seakan mendengar semuanya, tangisan, raungan, bahkan kegelisahan Aksa. Kehidupannya berubah usai kematian Zaviya, lalu berlanjut pada kepergian sang ibu dan hingga kini masih tidak mendapat kabar tentang keberadaannya. Selama ini ia hanya berusaha untuk tetap tegar, padahal hatinya merasa sesak karena belum bisa menerima semua yang terjadi.

Aksa merindukan dua perempuan yang sangat ia sayang, tetapi tidak dapat melakukan apa pun kecuali memandang foto mereka yang selalu tersimpan di dalam pigura. “Kenapa kalian meninggalkanku,” ujar Aksa, membawa dua pigura itu ke dalam dekapannya.

“Aku tidak bisa merawat Aggra, aku sudah menjadi Kakak yang gagal untuknya, Bu, karena Aggra ... aku jadi kehilangan Zaviya,” lirihnya, sebelum akhirnya terlelap tidur.

🥀🥀

hai, jangan lupa untuk vote, komentar dan share yaa? Thank you sudah mampir dan membaca cerita ini, semoga kalian suka! See u ><

Support me 🤍

INEFFABLE [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang