🥀 [ 30 ]

1 1 0
                                    

MESKI AKU MENCINTAIMU TAPI AKU TIDAK BISA MEMILIKIMU


Aksa mengerutkan kening usai Disa mengatakan bahwa Zaviya bukan satu-satunya perempuan yang mencintainya, sehingga ia pun penasaran dengan perempuan tersebut. Namun, Disa enggan menjawab seluruh pertanyaan Aksa lantaran tidak ingin menghancurkan hubungan pertemanan mereka, dan apabila Aksa mengetahui yang sebenarnya mungkin lelaki itu akan semakin menjauh dari Disa.

Bagaimana bisa aku memberitahumu, kalau perempuan yang mencintaimu itu aku, batin Disa, menatap lelaki yang mulai sibuk dengan komputernya.

Disa kian larut dalam lamunan dan terus bermonolog di dalam hatinya, tanpa mengalihkan pandangan dari Aksa. Aku tidak ingin mempertaruhkan hubungan pertemanan kita, hanya karena perasaanku ini.

“Aksa, hari ini kamu lembur, ya, karena satu Minggu lagi akan ada renovasi gedung. Jadi kamu harus memindahkan beberapa buku di lantai bawah ke lantai atas, tapi ingat satu hal ... pindahkan buku-buku itu sesuai dengan jenisnya, dan tolong kali ini jangan buat kesalahan lagi,” ujar kepala perpustakaan yang tiba-tiba datang menghampirinya, sehingga membuat Disa tersadar dari lamunan.

“Siap, Pak,” jawab Aksa, lantang.

Kepala perpustakaan pun kembali berkata usai mengintip jarum jam pada pergelangan tangan. “Lima menit lagi perpustakaan tutup, jadi kamu bisa melakukan absensi kepulangan dulu sebelum mengerjakan tugas dari saya.”

Namun, Aksa hanya mengangguk sehingga pria tua itu berlalu pergi. Lantas, Disa yang mendengarnya pun langsung menimpali dengan senyuman. “Aku akan menemanimu lembur, ya, Kak.”

“Tidak perlu, sebaiknya kamu pulang saja bersama Aggra, dia pasti capek karena seharian sudah ikut kamu bekerja,” tolak Aksa, tetapi perempuan itu tidak menghiraukannya.

“Aggra, tidak mungkin capek karena seharian dia bermain, Kak, dan aku juga tidak capek walaupun baru pulang kerja. Jadi aku bisa menemanimu di sini sampai semua pekerjaanmu selesai,” kata Disa, enteng.

“Aku bisa sendiri, kamu pulang saja.”

Disa pun berdiri setelah Aksa mengusirnya secara pelan. “Baiklah kalau begitu, aku akan mengantar Aggra pulang dulu.”

“Pastikan kalau Aggra sudah makan sebelum tidur, karena biasanya tengah malam dia akan bangun kalau merasa lapar,” pesan Aksa, hanya dibalas anggukan ringan dari Disa yang kemudian menghampiri Aggra.

Lelaki bertubuh gempal yang sedang membaca buku seorang diri pun tersentak riang usai melihat kehadiran Disa, tetapi dia enggan beranjak dari sana saat perempuan itu mengajaknya untuk pulang. “Aksa, c-i-n-t-a Mara!” seru Aggra, seraya mengeja kata di buku tersebut.

“Apa kamu bilang?” tanyanya, dengan alis yang menyatu.

“Aggra, kamu lanjutkan belajarnya besok lagi, ya, sekarang kamu pulang bersama Disa,” ujar Aksa, yang entah sejak kapan berdiri di belakang Disa.

“Tadi apa yang kamu katakan, Aggra?” tanya perempuan itu, tetapi Aksa memotongnya dengan membereskan buku-buku yang masih Aggra baca, lalu menyuruhnya untuk segera pulang.

Saat Aksa mengantarkan mereka berdua ke tempat parkir, ia pun kembali berpesan kepada Disa untuk memulangkan Aggra dengan selamat, dan jika adiknya itu sudah tertidur maka Disa dapat mengunci rumah kemudian meletakan kuncinya di atas pintu. Namun, Disa justru merasa heran karena sikap Aksa berubah dengan begitu cepat, lelaki itu mulai perhatian dan mengkhawatirkan kondisi sang adik.

“Kamu tenang saja, Kak, Aggra pasti aman bersamaku,” kata Disa, percaya diri. Kemudian membukakan pintu untuk Aggra, dan mulai menyalakan mesin kendaraan.

Sepanjang perjalanan Disa masih memikirkan tentang perkataan Aggra ketika di perpustakaan, entah apakah lelaki itu benar-benar mengetahui sesuatu atau hanya asal bicara saja. Namun, saat Disa kembali mempertanyakan itu Aggra justru tidak menghiraukannya dan sibuk mengoceh sendiri, dengan mengulang abjad yang barusan dipelajari.

“Mungkin tadi Aggra hanya asal bicara, karena dia sudah mulai bisa membaca,” gumam Disa, seraya mengemudikan kendaraannya.

Setelah tiba di rumah perempuan itu langsung menghangatkan makanan yang tadi pagi dia masak, lalu Aggra pun menyantapnya hingga tidak tersisa. “Sekarang kamu tidur, ya,” suruh Disa, menarik selimut usai Aggra terbaring di atas ranjang kamarnya.

Tanpa perlu menunggu waktu lama Aggra pun langsung tertidur usai mendengar Disa mendongeng di sampingnya, sehingga perempuan itu dapat kembali menemui Aksa di perpustakaan. Namun, kedatangannya justru tidak disambut dengan ramah oleh lelaki jangkung, yang kini tengah memasukkan buku ke keranjang besar.

“Harus berapa kali aku bilang kepadamu, kalau aku tidak butuh bantuan. Jadi kamu bisa pergi saja, karena aku akan menyelesaikan pekerjaanku sendiri,” kata Aksa, berusaha untuk mengusir Disa.

Namun, dia tetap enggan pergi walaupun hari sudah mulai gelap, dan hanya mereka berdua yang berada di sana. “Kamu ini sombong sekali, ya, Kak, padahal kalau aku membantu itu bisa meringankan pekerjaanmu,” sindir Disa, sambil melipat kedua tangan di depan dada.

Aksa langsung berhenti merapikan buku di keranjang itu, lalu memandang Disa dengan penuh heran. “Bukannya aku tidak mau dibantu, tapi aku hanya tidak mau ada orang yang melihat kita berdua disini.”

“Memangnya kenapa? Ini tempat umum jadi tidak masalah kalau aku juga ada disini,” bantahnya.

Lelaki itu pun menghela napas panjang, lantaran Disa tetap saja tidak paham. “Perpustakaan memang tempat umum, tapi sekarang ini sudah tutup jadi tidak ada siapa pun disini selain kita berdua. Dan, kalau sampai ada yang melihat kita ... mereka bisa saja berprasangka buruk.”

Namun, Disa tampak tidak peduli akan hal itu, ia menangkup kedua bahu Aksa supaya saling berhadapan. “Selama kita tidak berbuat sesuatu yang di luar batas, itu tidak menjadi masalah, Kak, lagi pula lampu di perpustakaan ini juga terang, jadi buat apa kita takut dengan pemikiran buruk orang lain?”

Aksa menepis kedua tangan Disa, lalu kembali mengambil buku-buku di rak. “Meskipun kita tidak berbuat sesuatu, tapi mereka yang melihat kita bisa saja salah paham.”

“Mereka akan salah paham tentang apa, Kak? Tentang perbuatan yang kita lakukan, atau tentang hubungan kita?” ledek Disa, berhasil menarik perhatian Aksa lagi.

“Hubungan apa yang kamu maksud?” tanyanya, dengan dua alis terangkat.

Disa mengulas senyuman simpul, lalu tangan kanannya meraih sebuah buku di rak belakang Aksa. “Hubungan aku dan kamu ....”

Jarak di antara keduanya sangat dekat dengan bola mata yang begitu lekat saat berpandangan, perempuan itu telah membius diri Aksa hingga raut wajahnya berubah menjadi tegang dan pucat. Bahkan Aksa tidak dapat berkutik karena jika sejengkal saja ia bergerak, maka bibir mereka berdua akan bertemu dan saling menempel.

Perempuan itu mempunyai tinggi yang hampir sama dengan Aksa, sehingga saat berhadapan seperti ini deru napas dari Disa pun terdengar hangat di telinga Aksa. “Hubungan kita tanpa nama ataupun status, karena hubungan kita itu hanya sebatas teman,” lanjut Disa, sehingga Aksa langsung menangkup kedua bahu perempuan itu supaya tidak begitu dekat dengannya.

“Lalu, apakah kamu ingin status di dalam hubungan kita supaya hubungan ini mempunyai nama?” tanya Aksa, memandang Disa cukup intens.

🥀🥀

hai, jangan lupa untuk vote, komentar dan share yaa? Thank you sudah mampir dan membaca cerita ini, semoga kalian suka! See u ><

Support me 🤍

INEFFABLE [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang