CINTA PERTAMA ITU HANYA SEMENTARA
Lelaki itu pun mulai merasa muak dengan ribuan pertanyaan Disa yang sangat menyudutkannya, sehingga dia mencoba untuk menggerakkan kursi rodanya supaya segera pergi dari sana.
Akan tetapi, Disa mencegah kepergian Aksa. “Kalau seandainya kamu menyatakan perasaan cinta ke perempuan itu, mungkin kamu tidak akan terluka seperti sekarang ini. Aku tahu kalau kamu dan Zaviya dipertemukan karena takdir, tapi bagaimana jika takdirmu yang sebenarnya itu perempuan yang menjadi cinta pertamamu?”
“Maaf, bukannya aku menyalahkan Zaviya atas apa yang sudah terjadi kepadamu, tapi kalau sejak awal kamu memberitahuku jika ada perempuan yang kamu suka, maka aku akan membantumu untuk mendapatkannya. Dan, kamu tidak perlu jauh-jauh ke Jakarta demi melupakan cinta pertamamu itu,” imbuh Disa, tetapi Aksa hanya diam memandangnya.
Kamu tidak tahu, kalau perempuan yang pertama kali aku cintai ... saat ini sedang berdiri di depanku, batin Aksa.
Disa menjentikkan jemarinya di depan wajah Aksa karena lelaki itu tampak melamun. “Kak, kalau aku tidak boleh tahu alasan kamu melupakan cinta pertamamu itu, setidaknya kamu bisa memberitahuku siapa perempuan yang berhasil memikat hatimu,” ujarnya.
“Dia satu sekolah denganku,” kata Aksa, membuat Disa berpikir keras.
“Apa yang membuat kamu menyukainya? Dia pasti cantik, ya, karena aku lihat Zaviya di foto juga cantik.” Setelah berkata demikian, Aksa langsung tersenyum tipis.
“Sudah pasti kalau dia cantik, karena dia menjadi kembang desa,” balas Aksa, telah membulatkan bola mata Disa.
“Kamu masih mencintai perempuan itu, Kak? Apa kamu mencintai Zaviya dan perempuan itu dalam waktu yang bersamaan?” tanya Disa, seakan tengah membutuhkan kepastian padahal ia masih belum mengetahui perempuan yang Aksa bicarakan dari tadi.
“Dulu aku tidak hanya sekadar menyukainya, tapi aku juga mencintainya. Dan sekarang cintaku sudah sepenuhnya untuk Zaviya, jadi aku tidak bisa membaginya dengan perempuan lain.”
Entah mengapa Disa merasa kesal usai Aksa mengatakan itu langsung dari mulutnya. “Benar kata Mirna kalau kamu ini laki-laki yang tulus, dan karena terlalu tulus kamu jadi bodoh. Kak, kamu tidak perlu mencintai Zaviya lagi karena dia sudah meninggal, seharusnya kamu sadar kalau cinta beda dunia itu tidak akan pernah berakhir bahagia.”
“Kebahagiaan seseorang tidak diukur melalui orang lain, tapi kebahagiaan itu datang dari diri sendiri. Jika dengan mencintai Zaviya itu bisa membuatku bahagia, maka untuk apa aku mencari kebahagiaan lain? Bahkan sejak aku mendeklarasikan hubungan dengan Zaviya, aku sudah putuskan untuk tetap menjaga cinta ini sampai habis masanya.”
Tanpa sadar bulir air mata meleleh dan membasahi pipi, Disa pun berbicara dalam relung hatinya. Zaviya sangat beruntung karena bisa dicintai oleh Aksa dengan begitu hebatnya, tapi kenapa Zaviya harus pergi secepat itu.
“Kamu ingin tahu bukan, perempuan yang aku cinta sebelum Zaviya? Dia perempuan yang pertama kali membuatku jatuh cinta, tapi aku bersyukur karena lebih memilih untuk tidak menyatakan perasaanku, daripada harus menjalin hubungan dengan orang yang sudah merusak keluargaku,” kata Aksa, kali ini tidak dapat Disa pahami.
“Siapa dia?” tanyanya, begitu penasaran.
“Namanya Ma—“
Namun, belum sepenuhnya Aksa mengatakan nama dari perempuan itu tiba-tiba ponsel milik Disa bergetar, terlihat panggilan suara dari sang ibu membuatnya harus menunda pembicaraan tadi dengan Aksa. “Sebentar, ya, ibuku telepon,” ujar Disa, menjauh dari lelaki itu hanya untuk mengangkat panggilan dari ibunya.
Aksa memukul bagian kursi roda yang menjadi tumpuan tangannya, sebab ia menjadi marah ketika mendengar tentang ibu dari Disa. “Cinta pertamaku itu kamu, Nismaradisa! Dan, bodohnya aku jatuh cinta dengan perempuan seperti kamu, yang diam-diam sudah menghancurkan keluargaku. Mungkin kamu belum tahu kalau orang yang kamu panggil ibu ... itu sudah berselingkuh dengan ayahku,” gumamnya, memandang punggung perempuan yang sibuk berbicara lewat telepon.
Tidak lama Disa kembali menghampiri Aksa yang terduduk di kursi roda sembari menatap padanya. “Kak, tadi ibuku menitip pesan untukmu. Dia turut berbelasungkawa atas meninggalnya ibumu, tapi maaf dia tidak bisa melayat karena masih banyak pekerjaan di Jakarta,” kata perempuan itu, telah mengerutkan kening Aksa.
“Orang tuamu bercerai karena apa?” tanya Aksa, begitu tiba-tiba sehingga Disa terbelalak.
Disa tetap menjawab pertanyaan dari Aksa meskipun terasa berat, karena kembali teringat masa lalu. “Mereka bercerai karena ayahku sudah ketahuan selingkuh, Kak, dan setelah dua bulan berpisah ibu langsung pergi ke Jakarta untuk bekerja disana, sedangkan aku tidak ingin terlalu memikirkan perceraian mereka ... jadi aku memutuskan untuk berkuliah di Yogyakarta dengan beasiswa yang aku dapatkan.”
“Apakah kamu yakin kalau ibumu pergi ke Jakarta untuk bekerja, bukan menggoda laki-laki lain?”
Kali ini pertanyaan Aksa telah menimbulkan gejolak amarah di dalam hati Disa. “Kak, kamu belum menjawab pertanyaanku tadi. Dan sekarang kenapa kamu menanyakan tentang keluargaku, apalagi sampai memberi tuduhan yang tidak-tidak kepada ibuku,” sungutnya.
“Aku ke Jakarta bukan untuk kuliah, aku kesana karena ingin bertemu dengan ayahku yang sudah tidak pulang ke rumah selama berhari-hari. Setelah aku berada di Jakarta dan mengetahui yang sebenarnya ... aku langsung mencari pekerjaan untuk biaya pulang ke desa, tapi aku justru mendapat tawaran beasiswa kuliah S1 dari pemilik perpustakaan di tempat kerjaku, karena kebetulan dia dosen di kampus itu. Jadi aku menetap di Jakarta demi menyelesaikan kuliah, lalu ketika aku lulus bosku justru menaikkan posisiku dari yang tadinya tukang bersih-bersih menjadi pustakawan.”
Disa sempat terperanjat mendengar cerita dari lelaki itu, karena anggapannya selama ini salah besar. Ia sempat percaya dengan perkataan dari teman satu sekolahnya di desa, bahwa Aksa pergi demi bisa berkuliah di kota. Pasalnya, Disa sudah berusaha untuk menyembunyikan sesuatu yang terjadi kepada ayah Aksa, tetapi lelaki itu justru mencari keberadaannya.
“Kak, itu berarti kamu sudah mengetahui segalanya?” tanya Disa, penuh keraguan.
Namun, Aksa mengangguk tegas sehingga Disa pun gelisah lantaran ia tidak ingin kalau Aksa kembali merasa sedih. “Kamu yang sabar, ya, aku tahu ini semua berat buat kamu, Kak, tapi aku yakin kalau Tuhan tidak akan membebani mereka diluar kemampuannya.”
Aksa mendongak dengan pelupuk mata yang berkaca-kaca, seakan ingin sekali menangis sejadinya di hadapan perempuan itu. Sebab, semua yang sudah menimpa dirinya itu bersumber dari Disa. “Kamu bisa, ya, dengan mudahnya berkata seperti itu kepadaku. Apa kamu benar-benar tidak tahu semuanya?”
“Aku tahu, Kak, maka dari itu ak—“
Lelaki yang sama sekali tidak dapat menggerakkan sepasang kakinya akibat lumpuh, pun menghentikan perkataan Disa menggunakan jemari yang diarahkan parahnya. “Cukup, aku tidak mau lagi mendengar nasihat apa pun darimu. Sebaiknya kamu jelaskan kepadaku, tentang hubungan gelap ibumu dan ayahku. Sejak kapan mereka berselingkuh, dan kenapa kamu tidak pernah memberitahuku?” selorohnya, dengan kalimat tanya di akhir.
“Apa?! Hubungan gelap?” ulang Disa, seolah-olah tidak mendengarnya. Sehingga, Aksa mengiyakan itu.
🥀🥀
hai, jangan lupa untuk vote, komentar dan share yaa? Thank you sudah mampir dan membaca cerita ini, semoga kalian suka! See u ><
Support me 🤍
KAMU SEDANG MEMBACA
INEFFABLE [ TAMAT ]
Romance[ SEBELUM MEMBACA, DIHARAPKAN FOLLOW TERLEBIH DAHULU ! ] Aksa Rezvansyah Atmaja harus kehilangan Zaviya, tunangannya, yang menjadi salah satu korban tewas dari tragedi unjuk rasa pada peristiwa Semanggi II tanggal 24 September 1999. Setelah kedua or...