1

151 19 1
                                    

Duduk di hadapan wali kelasnya bernama Matsuda itu, Ten memainkan ujung rambut hitam panjangnya dengan jari telunjuknya. Satu kakinya terlipat di atas paha satunya. Ia mendengus bosan selama berada di ruang guru untuk kesekian kalinya.

Lagi-lagi rokok miliknya disita. Ia harus menurunkan roknya yang keterlaluan pendek. Mengancing dua kancing atas kemejanya. Dan diperingati untuk tidak tidur atau bolos selama jam pelajaran berlangsung.

"Yamasaki-san, kau tahu apa lagi kesalahanmu?"

Matsuda mengeluarkan map berisi nilai-nilai ujian dan latihan soal Ten selama setengah semester ini. Ia membuka map itu dan menunjukkan nilai yang semuanya rata-rata 35 pada Ten.

Ten memandang itu dengan enggan, tetapi ia segera beralih memperhatikan kuku tangannya yang ia angkat.

"Lantas?" Tanya Ten terdengar congkak.

"Kalau nilaimu seperti ini, kau bisa tidak naik ke kelas 3." Jelas Matsuda. "Kudengar dari ibumu, kau membolos di tempat bimbel juga, padahal bayaran bimbelnya mahal dan tutornya memiliki sertifikat pengajar terbaik."

Ten tertawa hambar. "Aku tak suka belajar, mau gimana lagi? Sensei juga pernah bilang kalau ingin berhasil harus menyukai sesuatu itu dulu."

"Tapi ini berbeda, Yamasaki. Kalau kau berniat sekolah, kau harus menyelesaikannya dengan benar. Masuk sekolah ini biayanya juga tidak murah. Sensei harap kau tak menyia-nyiakan uang orangtuamu."

"Aku tak bersekolah juga tak masalah." Ucap Ten enteng. "Hanya ibuku yang merasa gengsi bila anaknya tidak sekolah."

Matsuda tampak menahan kesalnya.

"Sensei yakin kau ini sebenarnya pintar. Buktinya kau bisa lolos tes masuk ke sekolah ini ... Kau mungkin hanya malas. Dan karena malas, kau jadi ketinggalan banyak materi dan tak kuasa mengikutinya.

"Kalau tak tahu, jangan sok tahu." Cemooh Ten.

"Terserah mau bilang apa! Tapi Sensei sudah pusing memikirkan masalahmu." Kesal Matsuda. "Ibumu berkali-kali meneleponku bahkan dijam tidurku agar kau bisa mengejar ketertinggalanmu."

Ten mendengus. Ibunya memang suka bertindak berlebihan.

"Sebenarnya maumu apa sih Yamasaki supaya kau mau belajar?"

Kali ini Ten diam. Pikirannya menerawang jauh saat ia lulus SMP dan menepati janji padamu ibunya kalau ia lolos ujian masuk SMA Sakurazaka, ibunya akan mendukung hobinya. Tetapi semua itu hanya dusta.

"Apa Sensei perlu meminta murid paling pintar di kelasmu untuk mengajarkanmu?"

Kening Ten seketika mengkerut. "Apa?"

Matsuda menjulurkan tangannya ke belakang, tepat di meja kerjanya. Ia mencolek punggung seorang gadis yang sejak tadi sibuk mengoreksi tugas-tugas Matematika milik teman satu kelasnya.

Gadis berambut bob hitam itu pun memutar tubuhnya. Kini ia ikut berhadapan dengan Ten, wajah dingin dan mata menusuk milik gadis itu cukup mengganggu Ten.

"Fujiyoshi-san, kalau Sensei meminta kau menjadi tutornya Yamasaki-san, kau mau?"

Gadis bernama Fujiyoshi itu menatap Ten penuh pertimbangan, entah kenapa Ten merasa diremehkan.

"Kalau kau mau, Sensei akan mencantumkan pengalaman mengajarmu ini di lembar aplikasi masuk Universitas Tokyo. Peluang diterima tanpa tes dan dapat beasiswa juga semakin besar. Tapi syaratnya kau harus berhasil meningkatkan nilai Yamasaki hingga ia bisa mencapai peringkat 10 di kelas ... Tenang saja, untuk sekala kelas saja, bukan seangkatan. Tapi kau juga harus mempertahankan peringkat pertamamu."

FreedomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang