4

91 17 1
                                    

Ten tidak pernah merasakan hal semacam ini. Rasa lembut, lembap, dan manis dari bibir Karin seakan melekat di bibirnya meski sehari dari kejadian hari itu telah berlalu. Berapa kali ia mengulum bibirnya dan menggosoknya dengan punggung tangannya, jejak pada Karin tidak mau hilang. Wajah Karin yang hanya berjarak sesenti itu tak luput dari pikiran Ten, membuat pipi Ten lagi-lagi bersemu bila teringat itu semua. Jantungnya berdegup tak keruan dan perutnya seakan ada kupu-kupu yang sedang terbang, sangat menggelitik.

"Sampai kapan kau tak menyentuh makananmu, Ten?"

Lamunan Ten membuyar dan ia menatap ibunya linglung yang duduk di hadapannya.

"Cepat habiskan sarapanmu. Daritadi kau melamun."

Ten mendengus. Mengesali dirinya yang terus memikirkan hari kemarin.

"Sebentar lagi ujian bulanan kan?" Kata ibunya. "Pulang sekolah ini jangan lupa pergi ke tempat bimbel ya. Ibu sudah membayar ulang untuk semester ini."

"Aku tidak bisa ke sana." Tolak Ten, lalu meneguk susunya.

"Tidak bisa katamu?" Marah ibunya. "Kau ingin Ibu tidak memberimu uang jajan dan mengambil tabunganmu?"

"Bukan begitu. Aku ... em ... aku belajar kok." Ujar Ten dengan rasa malu.

"Kau belajar? Jangan membohongi Ibu." Ibunya tak percaya.

"Aku belajar dengan teman sekelasku." Ujar Ten kesal.

"Siapa? Si Masumoto dan Inoue kan? Apa yang kalian belajarkan, huh? Ten, jangan terus berulah. Kau boleh berandalan, tapi jangan sampai--"

"Aku belajar dengan Fujiyoshi." Potong Ten cepat.

Ibunya menatap Ten tak percaya dengan cukup lama. "Fujiyoshi? Fujiyoshi Karin-san, anak yang selalu peringkat 1 di angkatanmu itu?"

Ten mengangguk. Tahu-tahu ia merasa gugup dan tenggorokannya jadi kering karena menyebut nama Karin, jadi ia menegak kembali susunya.

Ibunya tersenyum kesal. "Pasti membohongi Ibu lagi kan? Sejak kapan kau dekat dengan Fujiyoshi-san sampai belajar bersama? Memangnya gadis sepintar itu mau meluangkan waktunya untuk gadis berandalan sepertimu?"

Ten memberengut. "Kalau tak percaya tanya saja pada Matsuda Sensei."

Tanpa berkata lagi, ibunya menghubungi Matsuda melalui telepon.

"Haha ... iya, benar kok Ibu Yamasaki. Mereka belajar bareng setelah jam pulang sekolah. Awalnya aku yang mengusulkan agar Yamasaki bisa mengejar ketertinggalannya di kelas dengan diajarkan Fujiyoshi-san. Mereka akhirnya mau. Lagipula pasti menyenangkan bila belajar bersama teman sekelas."

Telepon pun dimatikan. Ibunya tampak paham dan kembali menyantap sarapannya.

"Orang tua Fujiyoshi pasti bangga memiliki putri sepertinya. Sudahlah pintar, berbaik hati lagi sampai mau mengajari anak bandel sepertimu."

Ten sudah menduganya, pasti ibunya akan memuji anak orang lain di depannya. Tapi toh dia tak peduli.

"Ibu jadi berpikir ingin bertemu dengan orang tua Fujiyoshi. Selama pertemuan orang tua, mereka tidak pernah muncul dan kata Sensei di sekolah, Fujiyoshi tinggal bersama bibinya yang dokter di rumah sakit besar itu ... Apa Ibu harus bertemu bibinya saja ya?"

Tanpa menghiraukan ibunya yang berbicara sendiri, Ten mencondongkan tubuhnya ke depan.

"Ibu?"

"Hm?"

"Misalnya aku dapat peringkat 10 besar seangkatan, beri aku uang 5 juta ya?"

Ibunya menatapnya dengan dahi mengkerut. "10 besar seangkatan?"

FreedomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang