Semburat jingga menembus jendela kamar, menyinari wajah Steve yang masih setia menatap nanar dinding putih setelah mendengarkan dialog Daniel, pikirannya masih melayang perihal nama itu, fakta bahwa Danielnya bahkan tak pernah berada di sisinya membuat hati Steve hancur.
Steve bangkit dari kasurnya ia berjalan mendekati jendela di mana kini ia bisa melihat Daniel berdiri sembari menatapnya, dengan jingga matahari terbenam di belakang Daniel menambah jelas sosok itu di mata Steve
Danielnya yang begitu hangat dan baik hati hingga tak pernah sanggup untuk menanggung beban yang dilimpahkan sang Ayah, Steve berhadapan Daniel ia menatap mata sipit dan rambut hitam legam Daniel yang masih sama seperti terakhir kali mereka bertemu.
"Apa kakak di sini?"
Hanya tampak seulas senyum dan kesunyian dari Daniel karena sosok itu hanya sebuah potret yang terukir di kepala gila milik Steve.
Daniel mengulurkan tangannya pada Steve, meski tak berucap dengan kalimat Daniel seolah selalu mengajaknya untuk pulang, Steve tentu ingin bersama Daniel karena hanya orang itu yang selalu mendengar ceritanya, berbagi suka duka dan sosok Kakak yang paling tau isi hatinya.
Pulang?
Steve ingin pulang bersana Daniel...
Tapi pulang ke mana, Daniel bahkan tak ada di sini...
Tangan Steve yang berniat menyambut Daniel terhenti tepat sebelum telapak mereka bersentuhan, ia meragukan kata 'pulang' ketika kalimat lain melintas di benaknya
"Please forever wake up."
Steve menarik tangannya dan menatap sosok Daniel dengan nafas yang naik turun. Ia menjauhi sosok tersebut dengan perlahan melangkah mundur, matanya berkaca dan masih menyangkal realita bahwa ini hanyalah delusi yang dapat membunuhnya
"Gue mohom Daniel... pergilah..." ujar Steve dengan suara begitu parau dan lara
Sosok itu nampak menyentuh dada kirinya lalu menunjuk ke arah Steve, seolah berkata jika Daniel yang kamu cari ada di sana seolah mengatakan kamu bersamanya selama ini dia ada di hatimu, sosok itu kemudian perlahan menghilang diantara senja menyisakan senyuman yang selalu Steve ingat.
Jika Tuhan mengirimkan Han Daniel Qafsa sebagai pengingat Steve untuk tetap berada dalam dunia nyata, jika itu cara takdir mereka terikat, Steve tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini, kenangan tiga bulan ini adalah salah satu yang paling indah bagi Steve.
Steve bergegas mengambil kunci motor dan melaju dengan kecepatan tinggi menuju stasiun Tawang
Daniel memandangi langit jingga indah di atas sana, dia akan meninggalkan Indonesia bersama kenangannya rumah, teman, keluarga, dan Steve. Hidupnya akan kembali ke jalur di mana ia akan sendirian lagi, di saat seperti ini ia teringat perkataan terakhir Buma
"Jika saja waktu adalah abadi Buma ingin menghabiskan angkasa bersama Kakak"
"Karena Kak Daniel angkasanya Buma."
Begitulah Buma, meski tau waktunya sedikit Buma tak ingin meninggalkan luka di hati Daniel, sama seperti dirinya yang ingin menyembuhkan Steve namun lagi-lagi Daniel bukanlah obatnya.
Daniel mengangkat tasnya dan masuk ke dalam kereta yang lima menit lagi akan berangkat, di tempat duduk Daniel masih setia bernaung kepada senja yang mungkin sebentar lagi akan tenggelam
Matanya beralih ke arah peron di sebrang sana, rasanya tak tau diri jika ia mengharapkan Steve mengantarnya pergi atau sekedar mendengar kata pisah.
Daniel meyudahi ratapannya pada peron kosong tersebut dan kembali pada kenyataan untuk pergi ke Amerika, saat baru menyalakan ponsel tiba-tiba ada panggilan masuk, ia bisa melihat nama kontak Steve termpampang, Daniel segera menjawab panggilan tersebut.
"Halo, Kak!"
"Kak, tolong lihat ke arah jendela."
Daniel terpenjat lalu segera mencari sosok tersebut di peron, sepasang netra Daniel berhasil menemukan Steve dengan ponselnya tengah ditahan dua satpam, Daniel dan Steve bertatap penuh harap bisa memiliki waktu lebih untuk bicara, Daniel dengan setia menunggu Steve melanjutkan kalimatnya.
"Kak... Kak Daniel Qafsa..."
"Terima kasih udah jadi obat gue."
"Kali ini sampai jumpa."
Steve mengangkat jari kelingkingnya sebagai tanda ia menyanggupi permintaan Daniel
"Steve sayang Kak Daniel."
Steve bisa melihat jelas senyuman yang terulas di wajah Daniel seraya kereta yang mulai melaju meninggalkan stasiun. Suara keras kereta meredamkan isakan Daniel yang perlahan pecah, itu adalah isakan bahagia karena ia tak salah menaruh rasa kasih pada seseorang.
"Angkasanya Kakak... Buma dan Steve."
7 Years Later - USA
Seorang pria 26-tahunan bergegas memasuki rumah, ia segera menyampirkan jaketnya dan meminum cokelat panas setelah selesai membersihkan salju-salju di depan latar rumah. Ia duduk sembari menatap keluar jendela, setelah hujan salju tadi malam perumahan dihiasi warna putih yang begitu cantik.
Triing—
Ia meletakan gelasnya dan pergi ke ruang tengah untuk mengangkat telfon, ia sedikit heran karena jarang sekali orang menggunakan nomor rumah untuk menghubunginya
"Halo?"
"Sayang..."
"Viona, kamu tumben pakai nomor telfon rumah kenapa babe?"
"Maaf sayang, aku lagi di luar kampus dan baterai hpku habis... ah, anyway aku mau minta tolong..."
"Iya sayang?"
"Kita punya tetangga baru kebetulan orang indonesia, tolong ya kasih rendang yang udah kumasak pagi tadi dan nasi lengkap udah di panasin, rumah nomor 30 yah."
Daniel mengernyit tumben sekali istrinya nyuruh dia, biasanya Viona sendiri yang sambang sedulur langsung
"Tumben kamu nyuruh aku?"
"Udah nurut aja ya, aku pulangnya masih lama keburu sore."
"Eh tapi vi–"
Pip—
Daniel kemudian menuruti permintaan Viona, ia menuju dapur lalu menanak nasi dan memanaskan rendang, menyiapkan beberapa buah salak serta wadah. Viona memang selalu menyambut orang baru yang ada di perumahan dengan memberikan makanan, ikut berkebun, dan lain-lain
Daniel memasukan kotak berisi makanan itu ke paperbag, ia keluar lalu berjalan beberapa ratus meter untuk sampai ke rumah nomor 30 itu.
Rumahnya nampak manis dengan dekorasi lampu berwarna jingga, serta beberapa perabot hias yang bagus. Daniel memencet bel pintu rumah itu.
Teng!
Tong!Teng!
Tong!Krieet—
"Ah saya—"
"Kak Daniel?"
Daniel membeku sejenak kemudian menatap pria itu dengan seksama, wajah itu masih sama dan begitu familiar dengan lesung pipi yang terlihat saat tersenyum.
"Steve?"
"Kak Daniel!"
"Steve!"
Mereka berdua langsung berpelukan saling menyalurkan rasa rindu dan bahagia bersamaan. Keduanya saling menatap dan tersenyum, mereka kemudian menghabiskan waktu bersama untuk berbincang perjalanan tujuh tahun mereka.
THE GEMINAE END —