BIMA'S POV
Enam Bulan Lalu—
Aku bangkit dari kursi makan menjauhi pertengkaran kedua orang tuaku di sana, telingaku terasa sakit setiap hari mendengarkan celotehan mereka soal hal sepele yang berujung pertengkaran hebat. Terkadang rasanya ingin lari dan kabur pergi menghilang, ah tidak sebenarnya aku hanya ingin keluarga harmonis saja. Aku mengambil tasku dan memakai sepatu lalu berangkat sekolah, seperti hari biasanya temanku Satya sudah menunggu di ujung gang dengan motornya.
Hari ini ada penilaian untuk lari cepat di sekolah, aku sedang menunggu giliran sembari duduk di kursi penonton tak jauh dari guruku. Sebenarnya agak malas karena suasana begitu terik dan panas, terlebih lagi kepalaku sering terasa sakit belakangan ini.
"Bima Aditya giliranmu!"
Aku turun dan bersiap di lapangan bersama beberapa anak lain, suasana terik tak menambah baik kondisiku rasanya tubuhku kian berat dibuatnya. Aku berusaha fokus ke lintasan balap sembari menunggu aba-aba dari guru.
"Siap-siap!"
"Mulai!"
Aku melangkahkan kakiku berangsur dari lambat kemudian cepat, menapaki lintasan lari dengan berat, awalnya tak ku hiraukan namun tiba-tiba pandanganku mulai kabur disertai kepala yang semakin berdenyut. Aku menghentikan langkahku dan berniat berjalan saja, baru bergeming selangkah tubuhku ambruk lemas tak bertenaga, samar-samar kudengar teriakan beberapa siswa yang berdatangan dan mulai menolongku.
Aku terbangun, kulihat sekeliling dan menemukan diriku berada di UKS, aku menoleh ke arah sofa ada Satya tertidur mungkin karena menungguku.
"Hm? Lo udah bangun?" Satya lalu mengecek keadaanku memastikan tak ada lecet atau semacamnya.
"Gue pingsan anjir bukan kecelakaan," ujarku padanya
Satya terkekeh, "Ya maaf gue kira lo nyusruk gitu abis lari, tadi gempar banget soalnya," ia lalu memanggil petugas UKS untuk kembali mengecek keadaanku.
Petugas itu hanya bilang jika aku kelelahan, aku cukup lega mendengarnya, setelah kejadian pagi itu Satya mengantarkanku pulang.
Aku duduk di kamarku dengan tatapan nanar ke arah jendela yang kini menyajikan langit malam. Aku mengunci pintu dan memutar musik dengan sangat keras agar tak mendengar pertengkaran dari luar kamar
"Apa besok mereka masih ribut?"
"Kapan mereka harmonis dah…." Aku berbicara kepada langit, sendirian, begitulah yang kulakukan setiap malam jika tak ikut latihan bulu tangkis.
Aku menutup telingaku yang tiba-tiba berdenging, sakit kepala kembali menyerangku. Aku segera pergi ke kamar mandi mencari beberapa obat pereda nyeri, kuacak seluruh kotak penyimpanan di sana dengan panik namun nihil.
Aku bersandar di dinding mencengkram rambutku berharap sakit itu akan hilang, namun tidak justru cairan merah kental mengalir dari hidungku, aku menatap pantulan diriku di cermin wastafel.
"Berhentilah mengalir!"
"Berhentilah!"
Rasa takut menyerangku membuatku segera menyeka bekas darah itu dari wajahku, dengan panik aku mengusap tanganku mengaliri air.
ini bukan kali pertama terjadi dan aku berusaha mengabaikannya hingga membuat ruangan ini menjadi saksi bisu ketakutan seorang Bima Aditya. Aku terduduk di sana sembari memeluk lututku, pikiranku melayang menuju skenario terburuk yang bisa terjadi.
"Anda mengalami leukimia kami menyarankan jika anda segera melakukan terapi."
Aku terduduk di taman sendirian dengan selembar kertas diagnosa, hancur rasanya hancur sekali. Semua yang kucapai hingga titik ini demi bertahan hidup hanya berakhir untuk dilupakan begitu saja.