6: Interview

348 35 2
                                        

M

emang besok ngapain? ngedate?

Regen

HAHAHA

boro-boro ngedate, interview buat dies natalis iya

M

ahh wkwk

kirain kan, weekend malah jadi budak proker

Aku memutar bola mata, tapi tak urung senyum kecil terbit di wajah. Saat akan mengetikkan pesan balasan, tiba-tiba notifikasi memunculkan nama yang sama sekali tidak terbayangkan olehku.

Aksara

mau interview kapan?

Salah satu alisku terangkat. Memang untuk interview anggota, diserahkan ke masing-masing divisi. Penting dalam waktu tiga hari yang disediakan, kami harus sudah mendapatkan list anggota.

Sudah satu minggu sejak pertama kali poster open recruitment diunggah di media sosial dies natalis yang kupegang. Memang waktunya tidak lama, selain karena dikejar waktu, tidak terlalu banyak orang yang diambil melalui oprec, karena masing-masing sudah punya anggota dari perwakilan masing-masing himpunan mahasiswa.

Regen

besok

why?

Seperti telah menunggu, balasan dari Aksa datang tanpa jeda.

Aksara

di mana?

Regen

gazebo perpusat

Aksara

oke, thanks

Dahiku mengerut.

Regen

kenapa?

Aku tidak tahu ekspresi apa yang kutampilkan saat ini, tapi aku bisa membayangkan betapa bodohnya diriku. Hampir tiga menit penuh aku menatap layar ponsel. Aku pun tidak mengerti apa yang aku lakukan. Apakah aku mengharapkan suatu balasan?

Akan tetapi, wajar bukan? Aku mengirimkan sebuah pertanyaan. Bukannya hal itu berarti lumrah untuk menunggu jawaban? Memang dasarnya Aksa saja yang mengundang untuk dicaci. Bahkan sampai pagi, pesanku belum dibaca olehnya. Sial.



Aku telah duduk manis di tengah gazebo yang ada di halaman depan perpustakaan universitas, sekali lagi merapikan letak rambutku melalui kamera ponsel. Fokusku terpecah ketika kurasakan bayangan menerpa wajah. Aku mendongak untuk melihat sosok tengah berdiri di hadapanku dengan kepalanya yang menunduk ke arahku.

"Ngapain di sini?" tanyaku seketika dengan nada tinggi.

"Interview," jawab Aksa enteng.

Mataku menyipit. "Kenapa di sini?"

Kedua alisnya terangkat. "Emang nggak boleh?"

"Yaa...terserah, sih," balasku kalah. "Tapi—"

Belum sempat aku melanjutkan, Aksa sudah berbalik menjauh dengan mengangkat bahu singkat sebelumnya. Dia kemudian duduk di gazebo lain yang masih sejajar dengan tempatku saat ini. Aku hanya bisa memejamkan mata dan mengambil napas panjang. Bisa-bisanya dulu aku berpacaran dengan orang macam Aksa. Padahal aku sendiri sadar tingkat kesabaranku hanya setebal satu lembar tissue terkena air.

Mysteriously Matched [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang