Bab 10

1.9K 418 23
                                    

Di tengah gempuran awan mendung, keduanya saling pandang. Nattaya cukup terkejut dengan perkataan Valentino. Terdengar seperti ucapan laki-laki yang sedang cemburu, padahal bukan begitu kenyataannya. Tidak ada yang salah kalau ada laki-laki memesan soto dalam jumlah banyak. Tidak pandang usia muda atau tua, bagi semua penjual tidak ada bedanya. Kenapa Valentino seolah sedang menghakimi?

"Pak, sedang ada masalah apa?" tanya Nattaya.

"Aku sedang tidak ada masalah."

"Kenapa berkata begitu? Tidak ada bedanya buat saya kalau beli laki-laki atau perempuan."

"Mungkin untukmu begitu. Tapi, apa kamu lihat tadi tatapannya?"

"Tatapannya? Tidak. Saya hanya perhatikan uang yang dia beri itu saja."

Valentino menghela napas panjang, merasa sangat konyol dengan percakapan mereka. Tanpa sadar ia merobek plastik kerupuk dan memakannya. Menatap pada Nattaya yang hari ini rambutnya lembab terkena air hujan. Perempuan itu selalu terlihat lembab, entah bibir, rambut, dan entah bagian lain tubuhnya. Valentino mengutuk pikiran kotoranya. Lagipula, ia merasa sangat bodoh karena tidak senang dengan pemuda yang memesan soto. Pandangan pemuda tadi terus menerus tertuju pada Nattaya.

"Bagaimana kabar keluargamu dulu, maksudku bibi yang dulu memukulimu." Ia memutuskan bertanya tentang sesuatu yang menjauhkannya dari rasa kesal.

Pertanyaan Valentino membuat Nattaya muram. Ia menunduk sambil menghela napas panjang. Sedikit bergidik karena terpaan angin bercampur sisa hujan. Entah karena dingin atau teringat masa lalu, tapi bulu kuduknya meremang. Seakan bisa membaca pikirannya, Valentino berusaha menenangkannya.

"Nattaya, tidak usah cerita kalau memang menakutkan."

Nattaya menggeleng, tersenyum lemah. "Jujur saja saya senang bisa lepas dari mereka. Sewaktu saya, dari kebersamaan kita, saya hampir mati karena dipukuli oleh Bibi. Untung uang yang Pak Val kirim ada utuh di rekening dan mereka cukup bodoh untuk tidak mengecek rekening saya. Hanya mengambil sisa uang yang Pak Val berikan di dompet. Saya dikurung hampir dua hari tanpa makan, dan saat dibebaskan yang pertama saya lakukan adalah lari ke bar. Dibantu pemilik bar, saya menghubungi pengacara yang Anda tunjuk dan disetujui tanpa banyak kata. Pengacara itu mengatakan kalau melakukan semua atas intruksi Anda. Sungguh, saya berterima kasih."

Suara Nattaya melembut, muram durja sedikit menghilang dan kini digantikan senyum kecil. "Saya tinggal di bar atas persetujuan suami istri pemilik bar. Pengacara membantu saya membereskan semua dari mulai melunasi utang, mengambil sertifikat, dan terakhir menemani saya mengusir Bibi dan suaminya. Setelah drama yang panjang dan penuh caci maki, saya akhirnya bisa mengambil rumah itu lagi."

"Kamu jual rumahnya?"

Nattaya menggeleng. "Tidak, saya kontrakkan. Dengan sisa uang saya merantau sampai akhirnya bisa di sini."

"Jadi, selama beberapa tahun ini kamu tidak berhubungan lagi dengan bibimu?"

"Syukurlah tidak, karena saya menjadi panik dan takut hanya karena teringat dia."

"Kamu tidak takut dia kembali ke rumah itu dan membuat kegaduhan?"

"Pengacara yang membantu saya melapor polisi dan akhirnya Bibi mendapatkan peringatan tidak boleh lagi mendekati rumah itu atau akan ditangkap. Saya rasa Bibi terlalu takut pada polisi, atau mungkin juga merasa percuma datang tanpa saya tinggal di sana. Dari pengontrak saya dengar, Bibi tidak pernah lagi terlihat di sana."

Valentino tersenyum kecil, merasakan kelegaan setelah mendengar cerita Nattaya. Ia sendiri tidak dapat membayangkan kalau Nattaya masih berhubungan dengan perempuan jahat dan kejam seperti si bibi. Sora memanggil dari kejauhan, mengatakan kalau gerobak sudah rapi dan harus pulang. Valentino bangkit, sama seperti kali lalu juga memberikan uang yang cukup banyak. Tidak peduli kalau Nattaya menolak. Ia meraih ponsel dan mengulurkan pada perempuan di depannya.

Secret LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang