"Jika 90°sin sama dengan nol, dan 90°cos sama dengan satu. Maka cinta sama dengan 90°tan, tak terdefinisikan" -Angkasa Raditya.
Sebulan lagi akan ada Olimpiade mata pelajaran tingkat kota, dan hari ini adalah jadwalku bimbingan Olimpiade bersama Angkasa, aku tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaanku saat ini, yang jelas aku sangat senang, karena saat bimbingan hanya akan ada aku, Angkasa, Candra, dan Bu Rikha.
Jam pertama baru saja dimulai, dan Bu Rikha sudah datang ke kelas menjemputku dan Angkasa, dan mengizinkan kami berdua seperti biasa.
Aku menoleh ke arah Angkasa, ternyata dia juga sedang melihat ke arahku, kami beradu pandang seolah berbicara lewat mata, aku memberinya isyarat untuk pergi terlebih dahulu barulah aku menyusul.
Angkasa masih tampak berbincang dengan Bu Rikha dan Bu Asih, mungkin perihal masalah kemarin pagi, perkara Angkasa yang dikejar bu Asih.
Aku pun memutuskan untuk menghampirinya, namun tiba-tiba ada seseorang yang menarik pergelangan tanganku, dia Bumi. Posisi tempat duduknya yang berada di depanku sekaligus di samping jalan membuatnya dengan mudah melakukan itu.
Aku menoleh ke arahnya, "Apa?" tanyaku malas.
"Enggak jadi." jawabnya, lalu terjadi keheningan di antara kita. Aku beralih menatap pergelangan tanganku yang masih di cekal olehnya.
"Kalau enggak ada yang mau di omongin, tolong lepasin tangan kamu! aku masih ada urusan." ucapku, namun dia tetap tak menggubris ucapanku. Hingga aku pun menarik paksa tanganku darinya dan segera meninggalkan kelas mendahului Angkasa, yang sepertinya dia masih di ceramahi Bu Asih.
Aku berjalan dengan perasaan kesal, kenapa sikap Bumi semakin aneh, aku tak mengerti lagi dengan sikapnya belakangan ini, padahal seharusnya aku tak memikirkan hal sepele seperti itu, karena saat ini nasib baik tengah berpihak padaku sejak Angkasa dan aku di ikutkan Olimpiade yang sama.
Di tengah lamunanku tiba-tiba Angkasa datang, ia berjalan di sisiku dan tiba-tiba merangkulku, aku spontan menghentikan langkah, mencoba menetralkan detak jantungku yang tak beraturan karena terkejut, juga karena posisinya yang sedekat itu denganku.
"Kenapa malah berhenti?" tanyanya sambil memiringkan kepala menatap wajahku, kedua alisnya hampir menyatu, dan lagi-lagi aku menahan nafas karena ulahnya.
"Aku kaget tau." jawabku sambil melepas rangkulannya dan menjauhkan wajahnya dariku.
"Cih, gitu aja kaget, lebay lo!"
"Biarin!" ucapku, meliriknya kesal.
"Yee malah ngambek lo, lebay banget sih lo!" ucap lagi juga dengan melirik ku balik.
"Terserah!" jawabku, lalu mempercepat langkah mendahuluinya.
"Lo punya masalahnya sama Bumi kan? kenapa lo juga jadi kesal ke gue?" pertanyaannya mampu membuatku menghentikan langkah dan menoleh ke arahnya.
"Maksud kamu apa?" aku tidak mengerti bagaimana Angkasa bisa tau kalau aku ada masalah dengan si Bumi, namun bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah terkekeh pelan dan mengendikkan bahunya.
"Jawab aku, Asa!" ucapku semakin kesal padanya, aku pun menarik lengan seragamnya melampiaskan rasa kesal ku.
"Emangnya kalau gue jawab, lo bakal ngapain?" tanyanya yang sepertinya tengah menahan tawa. Karena tak mendapat jawaban apapun, aku pun memutuskan untuk melanjutkan kembali langkahku menuju ruang Olimpiade.
"Gue bercanda kali, jangan di masukin hati gitu." ucapnya dari arah belakangku, sepertinya sekarang dia tidak berani untuk merangkulku secara tiba-tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
DOGENG PUTRI REMBULAN
Teen FictionJakarta, 1996 "Selamat datang diduniaku, berjalan di atas paku, hidup penuh lika-liku, dan cinta yang berakhir pilu" Selamat datang di duniaku, dunia yang dilihat dari sudut pandang orang yang tak pernah dianggap, dunia yang hanya berisi tentang pal...