"Jangan bersikap terlalu baik pada seseorang, karna tanpa kau tahu perhatian kecilmu dapat membuat seseorang salah mengartikan apa maksud sikapmu."
Setelah kejadian di koridor tadi aku merasa ada perubahan dengan sikap Bumi, entah itu hanya perasaanku atau memang Bumi yang sedikit berbeda. Jika biasanya pemuda itu akan sibuk menggangguku di kelas, kali ini tidak; dia bahkan tidak menoleh barang sedetik pun ke arahku, sepertinya papan tulis menjadi lebih menarik sekarang.
"Kenapa aku kepikiran seperti itu sih?" gumamku merasa kesal dengan pemikiranku sendiri.
"Lo mikirin apaan sih, Lan? dari tadi ngelamun mulu terus ngomong sendiri lagi." tanya Senja dengan menatapku aneh.
"Enggak ada apa-apa, cuma kepikiran tadi aku sudah kunci gerbang rumah apa belum?" jawabku, yang tentu saja berbohong karena aku tidak pernah mengunci gerbang rumah, itu pekerjaan tukang kebun di rumah.
"Kirain apaan." tapi beruntungnya Senja mempercayai itu.
Sikap Bumi tetap tidak berubah sampai menjelang waktu pulang sekolah, ketika bel pulang berbunyi, semua teman-teman berbondong keluar kecuali dia, ia tidak langsung pulang seperti biasanya, ia malah berdiri di depan kelas sambil bersandar pada tembok, aku bisa melihatnya dari tempat dudukku.
Aku sudah terbiasa pulang paling akhir, di saat kelas sudah hampir sepi aku baru saja selesai merapikan alat tulisku, aku pun mengendong tas biru dongker ku dan berjalan keluar kelas sambil membersihkan kacamataku yang berdebu.
Aku tidak memperhatikan jalan karena sibuk dengan kacamataku, hingga aku tidak sadar jika Bumi berdiri tepat di ambang pintu, dan alhasil wajahku menubruk dada bidangnya.
"Kamu ngapain berdiri disini sih, kena tabrak kan!!" ucapku marah, aku yang awalnya sudah kesal bertambah kesal.
"Lo salahin gue?" tanyanya sedikit sarkas dengan satu alis terangkat. Aku tidak menjawabnya, hanya menatapnya tidak suka, aku mendorongnya untuk menyingkir dari jalan lalu menerobos keluar dari kelas.
Namun nasib baik tidak berpihak padaku, saat berhasil melewatinya ternyata dia juga berhasil mencekal tanganku, dia pun menarikku dan menahanku berdiri di depannya.
"Kamu kenapa sih, Bum? aneh banget hari ini?" tanyaku yang masih tidak mengerti dengan sikapnya.
"Haruskah gue jawab itu? kenapa enggak lo tanya balik diri lo?" ujarnya yang membuatku semakin bingung.
Aku tak merasa punya salah sama dia, aku pun berbicara sama dia saat di pos satpam saja, selebihnya dia yang berwajah masam dan menghindar saat aku mengajaknya bicara.
"Maksudnya? bukannya kamu ya yang nggak mau aku ajak bicara? mggak jelas deh banget kamu."
"Enggak usah bahas itu lagi." jawabnya, seperti dia sudah putus asa dengan ketidak peka-anku. "Dan satu hal lagi, bisa enggak sih lo ganti kosakata aku-kamu menjadi lo-gue aja!," ucapnya serius, kali ini bukan ekspresi dingin lagi yang ia tampilan, namun ketidakjelasan.
"Enggak bisa, emang kenapa sih? aku begitu ke semua orang kok, bukannya biasanya kamu dan orang lain juga enggak keberatan kan, kenapa tiba-tiba?" tanyaku bertambah heran karena dia berkata seperti itu.
"Karena tanpa lo tau bisa aja ada orang yang salah mengartikan sikap lo. Lo emang baik, dan perhatian ke semua orang, tapi jangan terlalu baik. Nanti ada yang salah paham." setelah mengucapkan itu Bumi langsung pergi begitu saja tanpa menunggu jawabanku, sedangkan aku pun tak punya kata-kata untuk menjawab ucapannya tadi.
"Apa mungkin ada seseorang yang salah mengartikan sikapku selama ini?" batinku sambil menatap punggung Bumi yang semakin menjauh dan perlahan hilang di tikungan koridor.
Aku berjalan di trotoar menuju halte, aku masih memikirkan ucapan Bumi tadi, apa maksud pemuda itu? jika memang ada yang salah mengartikan sikapku, siapa itu? apakah dia tidak mengerti jika itu memang tabiatku, atau memang aku yang keterlaluan hingga membuat seseorang salah paham dengan sikapku?
Baru saja aku membatin sosoknya, dia lewat di depan halte tempat aku menunggu angkot, namun kali ini dia tidak menyapaku atau mengusiliku seperti biasa. Menyebabkan sekelebat pemikiran aneh muncul di kepalaku, namun aku langsung mengenyahkannya, karena tak mungkin hal itu terjadi, dan jika memang itu benar mungkin itu akan mengubah kondisi.
Malam harinya, aku bimbang antara ingin bertanya atau tidak pada Bumi mengenai apa yang dia katakan padaku siang tadi. Berulang kali aku mengetikkan pesan kepadanya, tapi semuanya berujung aku hapus, hingga ku memutuskan tuk mengirimkan satu SMS singkat.
Bulan : apa mksd km td siang?
Setelah SMS itu terkirim barulah aku menyesal telah mengirimnya, seharusnya aku pura-pura lupa saja tentang yang terjadi hari ini, tapi nasi sudah menjadi bubur, jadi aku tinggal melihat bagaimana respons Bumi setelah ini.
Tiang berjalan : menurut lo? apa penjelasan gue kurang jls?
Lagi-lagi penjelasan Bumi sangat ambigu, dan itu membuatku semakin menyesal bertanya padanya, tapi aku juga tidak bisa menahan rasa penasaranku, jadi aku pun kembali membalas SMS-nya.
Bulan : kurang, klo aku ngerti ngapain masih tanya lagi
Tiang berjalan : gk ush dibhs lg, lo gk akan ngrti jg
Aku menghela nafas lelah, ternyata selain berubah cuek di dunia nyata, Bumi juga berubah cuek di SMS, beruntung aku masih mengerti apa maksudnya meskipun ketikannya disingkat-singkat, karena tak mau memperpanjang aku pun hanya membaca SMS itu tanpa berminat membalasnya lagi, atau perang dunia III akan di mulai lagi.
Hening tiba-tiba terasa, aku terlalu bosan hanya berada di kamar, namun juga malas keluar rumah. Belajar sudah, PR juga selesai, dan daripada rebahan tidak jelas, aku pun memutuskan keluar kamar menuju lantai bawah.
Seperti dugaanku, di lantai bawah lebih hening daripada di kamarku, hanya terdengar bunyi mesin kulkas dan bunyi tetesan air dari kran di wastafel dapur yang saling bersahutan, aku berasa berada dalam film horor karena sepinya, hingga aku pun kembali menaiki tangga dengan tergesa-gesa menuju kamar ibu.
Dengan napas terengah-engah aku menutup kembali pintu, aku lihat ibu sudah tidur dengan Bintang berada di sampingnya, tapi... sejak kapan Bintang tidur dengan Ibu, mengapa aku baru tahu?
Karena keributan yang aku buat ibu pun terjaga, ia menatapku masam dengan mata memerah khas orang bangun tidur, ia menaikkan selimut Bintang lalu mengubah posisinya menjadi duduk.
"Bulan! ada apa ribut-ribut, enggak usah lari-lari, enggak bisa?" tanyanya, sepertinya dia sangat kesal padaku, bagaimana tidak kesal, saat aku lihat jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam.
"Maaf bu, tadi ada tikus besar di kamarku, jadi aku lari kesini." jelasku yang tentu saja bohong, jika aku mengatakan sejujurnya ibu pasti semakin marah.
"Sekarang kamu balik kekamar kamu gih, udah malam ini, besok masih harus sekolah." ucap Ibu lalu kembali melanjutkan tidurnya. Sedangkan aku tersenyum mendapatkan perhatian walau sekecil itu, dan aku pun kembali ke kamar dengan riang, seketika aku melupakan masalahku dengan Bumi.
Sudah cukup memikirkan perkataan Bumi, cara menghadapi Bumi akan ku pikirkan besok saja secara mendadak, toh Bumi juga enggak mungkin serius dengan ucapannya, dan berakhirlah dengan ucapan "bercanda" keluar dari mulutnya, dan pada akhirnya aku bisa tidur dengan nyenyak.
KAMU SEDANG MEMBACA
DOGENG PUTRI REMBULAN
Fiksi RemajaJakarta, 1996 "Selamat datang diduniaku, berjalan di atas paku, hidup penuh lika-liku, dan cinta yang berakhir pilu" Selamat datang di duniaku, dunia yang dilihat dari sudut pandang orang yang tak pernah dianggap, dunia yang hanya berisi tentang pal...