Chapter 3

20 1 0
                                    

"Dia adalah orang yang mampu membuatku merasa di terbangkan setinggi namanya, namun sedetik kemudian ia juga mampu menenggelamkanku ke dalam palung Mariana. Namun entah mengapa ke tetap jatuh cinta?"

Aku sedang menyelesaikan soal Kimia di papan tulis hingga sebuah suara menginterupsi pergerakanku.

"Permisi Bu Khasna." aku sudah hafal pemilik suara itu, itu adalah suara Bu Rikha-selaku guru Matematika yang paling ditakuti di sekolah ini.

"Iya Bu, apa ada ya?" tanya Bu Khasna, kebalikan dari Bu Rikha, Bu Khasna adalah guru Kimia terfavorit sekaligus wali kelas paling sabar.

"Izin mau manggil Bulan sama Angkasa." Jelas Bu Rikha dengan tatapan lurus ke arahku sambil tersenyum. Aku tidak merasa punya masalah dengan Bu Rikha, tapi mengapa beliau memanggilku? bersama Angkasa pula.

"Mau ada bimbingan Bu?" tanya Bu Khasna.

"Belum bu, masih persiapan." setelah menjawab pertanyaan Bu Khasna, Bu Rikha kembali menatap ke arahku. "Kemarin kamu ikut tes penjaringan olimpiade kan?" ia bertanya lagi, dan aku hanya mampu mengangguk.

"Kamu dan Angkasa lolos, sekarang kamu ikut ibu ke kantor ya!" ucapnya lagi. Aku kemarin memang ikut tes, tapi tidak aku sangka aku akan lolos, bersama Angkasa pula.

"Berdua aja bu?" tanyaku memberanikan diri, Bu Rikha mengangguk. Aku beralih menatap Angkasa bermaksud meminta pendapat, ia hanya mengendikan bahu seolah tak peduli, tapi sedetik kemudian ia berdiri dan menghampiri Bu Khasna, entah apa yang ia katakan.

Sebelum keluar kelas ia menatapku sebentar, dan mengisyaratkan untuk mengikuti Bu Rikha.

"Ayo Bulan!" seru Bu Rikha, aku pun bangkit dan menghampirinya. "Izin ya Bu, makasih." ucap Bu Rikha sekali lagi berpamitan pada Bu Khasna.

"Iya Bu"

Aku dan Angkasa berjalan mengikuti Bu Rikha, entah beliau mau membawa kami kemana. 

"Ini kita mau dibawa kemana sih?" tanya Angkasa yang sepertinya sudah kesal.

"Kalau kamu tanya ke aku, terus aku tanya ke siapa?" jawabku juga malas, aku sedang tidak enak hati hari ini karena Bumi, dan itu juga berdampak pada responsku ke Angkasa.

"Biasa aja kali, lo kok senewen gitu sih ke gue?" 

"Aku lagi malas aja." jawabku tetap tanpa semangat, ia sedikit memiringkan kepalanya menatapku, dengan alisnya yang sedikit berkerut.

"Gue tebak karena Bumi ya?" ya, dia selalu tahu jawabannya, disaat seperti ini dia selalu peka, namun mengapa ia tak pernah peka dengan perasaan ku?

"Kenapa gitu?"

"Kelihatan banget dari ekspresi lo sih." jawabnya santai sambil melonggarkan dasinya, mungkin ia merasa gerah memakai dasi itu.

"Emang segitu jelasnya ya ekspresi ku?"

"Kalian berantem kenapa? padahal berangkatnya bareng."

"Kamu lihat ya?" tanyaku ragu-ragu.

"Gimana gue enggak lihat, orang gue ada di parkiran juga saat itu. Kalian ada sesuatu ya? atau jangan-jangan kalian pacaran?" tebaknya, ia menatapku serius kearah ku hingga pandangan kita bertabrakan, lantas ia mengakhiri ucapannya dengan senyuman kecil.

"Enggak" jawabku seraya memalingkan wajah ke arah lain, takut ia mampu mengetahui rahasiaku lewat mataku.

"Terus kenapa kalian berangkat bareng? dan saat lo marah pun Bumi kayak nyesel banget gitu." tanya Angkasa, aku sedikit heran mengapa hari ini dia tambah menyebalkan, padahal biasanya ia tak pernah segitu kepo nya dengan urusan orang lain.

DOGENG PUTRI REMBULANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang