Chapter 12

10 1 0
                                    

"Kini aku tau, tak semua luka harus di tunjukkan, dan tak selamanya tawa bermakna bahagia."


Jakarta, 1996.

"BUMI" ucapku masih setengah terkejut.

"Kenapa, kaget banget kayaknya?" jawab Bumi, ia berdiri di samping ku sambil menatap wajahku dengan ekspresi yang seakan menahan tawa.

"Enggak usah ketawa deh, bikin sebel aja" ucapku kesal dengan tingkah usilnya itu.

"Lo ngapain ke sini? tumben banget." tanyanya, ia beralih menatap apa yang tengah ku perhatikan.

"Nggak ada, jalan-jalan aja. Kamu sendiri?" tanyaku, kini akulah menatap ke arahnya, meski aku harus mendongak untuk melihat wajahnya.

"Nganterin adek jalan-jalan, lo mau ikut main?" jawabnya lalu balik menatapku, dan aku buru-buru mengalihkan pandangan.

"Main kemana?, adik kamu yang mana sih, cowok atau cewek?"

"Cowok, tuh yang pakek baju biru." jawabnya, hanya ada satu anak berbaju biru di sana, seorang anak yang tengah main prosotan.

"Kamu mau aku ikut dia main prosotan gitu maksudnya?" tanyaku dengan alis terangkat.

"Nggak, lo salah paham deh. Tapi kalau lo mau ikut main prosotan sih, no problem, entar gue rekam lo." jawabnya lalu menunjukkan kamera di tangannya.

"ih ogah, kayak anak kecil dong?!" jawabku kesal, Bumi memang hobi sekali membuat orang lain kesal.

"Maksud gue tuh, gue mau ajak lo ikut main sama kita. Habis ini kita mau lanjut ke museum, dan setelah itu mampir ke pantai lihat sunset. Lo mau enggak?" tawar Bumi, yang kedengarannya sangat menyenangkan.

"Kakak temannya abang ya?" tanya seorang anak kecil sekitar umur 4 tahun, dia adik Bumi yang entah sejak kapan sudah berada di depanku.

Aku berjongkok untuk menyamakan tinggi ku dengannya, "Ih adek, kamu lucu deh, nama kamu siapa?"

"Nama aku Livan." aku mengerutkan alis bingung, maksudnya Rivan gitu? apa memang namanya Livan.

"Rivan!" ucap Bumi menegaskan.

"Nama yang bagus."

"Kakak belum kenalin dili juga, kalau nama kakak ciapa?" tanyanya.

"Nama kakak Bulan, kamu bisa panggil kak Ulan." jawabku penuh semangat.

"Kak Ulan?" tanya Rivan lagi dengan ekspresi yang sangat mengemaskan, aku menjawabnya dengan anggukan.

"Kakak ikut aku main yuk! mau ya?"

"Jadi kamu ajak kakak main sama kamu nih, emang boleh?" tanya ku sambil menguyel-uyel pipi tembam nya.

"Boleh dong, bial bang Bumi enggak kayak jomblo" jawaban anak kecil ini membuatku meringis, anak sekecil ini memang mengerti apa itu jomblo? atau dia pikir aku ini bisa dijadiin pacar cadangannya Bumi gitu?

Bumi malah tertawa menanggapi ucapan adiknya, lalu menatap ke arahku, "Gimana? lo mau kan?"

Aku pun berdiri, berfikir apakah aku menerima tawaran itu? jarang-jarang aku bisa keluar dan main saat libur sekolah.

"Sebenarnya aku ingin ikut, tapi aku kan bawa sepeda nih, museum terlalu jauh, aku enggak kuat mengayuh sampai kesana." jawabku sambil menunjuk sepeda kesayangan ku yang terparkir cantik.

"Lo tinggal aja disini, lo bonceng gue, entar kalau pulang kita ambil, gimana?" solusi Bumi benar juga, dan aku pun menerima ajakan kakak beradik itu.

"Tapi sepeda gue enggak akan hilang kan? itu kesayangan loh." ucapku khawatir, sedangkan Bumi malah tertawa sambil menepuk puncak kepalaku yang berbalut topi.

DOGENG PUTRI REMBULANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang