Chapter 10

11 1 0
                                    

"Dalam suatu waktu duniaku terlihat penuh luka dan terlalu hampa, namun sedetik kemudian itu berubah menjadi berbunga-bunga dan pelangi yang penuh warna, satunya alasan mungkin karena adanya dirimu dengan segala apa yang ada pada kamu"

1996.

Aku menatap langit telah berubah menjadi gelap, bulan pun telah tampak dengan cahayanya yang temaram, hanya saja bintang tak terlihat karena tebalnya awan. Suara deru mobil mengalihkan fokusku, aku menatap di bawah sana, sebuah taksi berwarna biru muda. Seorang wanita paruh baya tampak keluar dari sana, dengan seorang gadis kecil yang berada di gendongannya, dia ibuku dan adik perempuanku.

Ibu terlihat berbincang sebentar dengan sopir sebelum taksi itu perlahan meninggalkan jalanan kompleks, ibu berniat memasuki rumah namun langkahnya terhenti, ia mendongak menatap ke arahku yang dari tadi memperhatikannya, ia hanya diam tak berniat mengucapkan satu kata pun, dan saat aku ingin mengucapkan sesuatu padanya ia langsung mengalihkan padangan dan melanjutkan langkah memasuki rumah.

Aku menghela nafas lelah, kenapa aku merasa bahwa seisi rumah tak menyukaiku? sebenarnya apa hal salah yang telah kuperbuat?

Aku beralih menatap rumah di seberang, sepertinya sudah menjadi kebiasaan bagiku untuk membandingkan apa yang ada di rumahku, dengan apa yang ada di rumah seberang. Dari tempatku berdiri aku dapat mendengar suara canda tawa saling bersahutan yang berasal dari ruang keluarga yang berada di rumah itu, sesuatu yang tak pernah terdengar di rumahku. Entah suatu saat akan terdengar suara-suara itu atau mungkin tak akan pernah.

Tuhan mungkin marah padaku karena aku tak pernah menjadi hamba yang bersyukur, aku yang selalu menginginkan apa yang orang lain miliki, aku yang terlalu iri dengan kehidupan indah orang lain, harus kuakui bahwa aku egois, aku hanya menginginkan pengakuan yang tak pernah aku dapatkan.

Bunyi telepon membuyarkan lamunanku, aku menatap ke arah ponselku yang berada di atas kasur, tergeletak begitu saja. Aku mengambilnya, namun saat kubaca dari siapa panggilan itu berasal, aku kehilangan semangat tuk menjawabnya.

Satu kata "Ayah", namun dapat mengembalikan ribuan luka yang ku sembunyikan. Aku memutuskan untuk tidak mengangkatnya, membiarkan ponsel itu tergeletak di atas kasur, dan aku kembali ke lamunanku, namun sepertinya ayah tidak menyerah, setelah ponselku berhenti berbunyi, ia berbunyi kembali, dan terulang hingga tiga kali.

Aku menghela nafas lega ketika ponsel itu berhenti berbunyi, namun tak bertahan lama, kini malah terdengar dering telepon rumah yang menggema hingga ke tempatku berada, sepertinya karena kesal aku tidak mengangkat panggilannya, ia akhirnya pindah ke telepon rumah.

Hal sama terjadi, tidak ada yang mengangkat panggilan itu, karena di rumah ini memang tidak ada asisten rumah tangga, ibu baru saja pulang dan tidak mungkin menjawab telepon dengan alasan masih lelah. Hitung mundur saja mulai dari lima, kita akan mengetahui apa yang akan terjadi.

5

4

3

"BULAAAAN!!!! ANGKAT TELEPONNYA TUH BERISIK BANGET!!"

Belum selesai aku hitung mundur, suara teriakan ibu dari kamar sebelah terdengar seperti yang aku kira. Sebelum ibu marah, aku pun bergegas turun ke lantai bawah dan mengangkat telepon yang kunjung berhenti berdering itu.

"Halo, Assalamu'alaikum" ucapku penuh hatai-hati.

"KEMANA AJA KAMU BULAN? AYAH TELEPON BANYAK KALI TAPI TAK KAMU ANGKAT, APA GUNANYA PUNYA PONSEL!!!" aku menjauhkan telepon dari telingaku begitu mendengar jawaban yang sudah kira akan kudapatkan.

"Maaf ayah, Bulan baru selesai mandi." ucapku berbohong, kalau aku mengatakan yang sejujurnya jelas aku akan mendapatkan amarah darinya lagi.

"Ayah ada apa telepon, apa ada hal yang peting?" tanyaku penuh hati-hati, takut aku salah berbicara, aku sedang berbicara dengan ayahku tapi berasa sedang berbicara dengan bapak presiden.

DOGENG PUTRI REMBULANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang