chapter 9

7 1 0
                                    

"Mungkin memang aku yang salah, banyak hal yang ku tak bisa, mungkin memang aku yang tak berguna. Tapi... aku pun manusia, tak bisa menjadi begitu sempurna."

1996.

"Eh, rumah lo di mana? gila aja gue mau nganter lo pulang tapi enggak tau dimana rumah lo." ucap Angkasa, mungkin ia baru menyadari satu hal itu.

"Kamu turunin aku di halte dekat perumahan Griya Permai aja." jawabku.

"Ngapain di situ, langsung ke rumah lo aja. Lo tinggal di perumahan itu kan?"

"Bukan, itu rumah tanteku. Masih ada acara di sana." ucapku bohong, "tante maaf ya aku bawa-bawa nama tante" ucapku dalam hati.

"Kalau gitu gue anter ke rumah tante lo aja." ucapnya yang membuatku bingung harus membuat alasan apalagi.

"Nggak usah, kamu cukup turunin aku di halte itu aja." ucapku dengan senyum terpaksa, bukan tanpa alasan aku berbohong dan tidak mengizinkan Angkasa mengetahui rumahku, namun alasan itu tak bisa aku katakan.

"Gue jadi curiga deh, emang kenapa sih Lan?" sepertinya dia masih belum menyerah dengan rasa penasarannya.

"Nggak usah kepo deh, kamu ikutin apa kata aku aja, please!" jawabku yang kesal sendiri dengan sifatnya yang keras kepala.

"Yaudah, terserah lo." 

Seperti permintaanku tadi, Angkasa mengantarkan ku tepat di depan halte yang ku maksud, tanpa banyak tanya seperti tadi.

"Lo yakin cuma gue anter disini? kalau lo di culik gue nggak tanggung jawab ya!" tanyanya memastikan lagi, aku sudah turun dari motonya sedangkan dia tetap duduk di atas motornya, bahkan tidak melepas helmnya yang membuatku tak dapat melihat ekspresinya.

"Iya Asa, lagian siapa sih yang bakal culik aku? aku bukan anak kecil lagi kali." jawabku dengan melototkan mata ke arahnya.

"Siapa tau, lo kan masih kayak bocil SD." ucapnya lagi di ikuti tawa mengejek yang terdengar sangat menyebalkan di telingaku.

"Terserah kamu mau bilang apa, nih! makasih" ucapku sambil mengembalikan helm kepadanya.

"Cuma makasih aja nih?" tanyanya sambil menaikturunkan alisnya.

"Ooh jadi sekarang kamu jadi tukang ojek nih, berapa bang?" ucapku sambil berlagak mengambil uang dari saku seragamku.

"Bercanda kali, lo serius amat."

"Emang siapa juga yang mau kasih kamu uang? orang aku cuma akting." jawabku dengan tertawa puas, karena berhasil kembali mengelabuinya.

"Dasar lo ya!!" ucapnya, lalu tiba-tiba dia mengacak rambutku. Perbuatan sederhana mungkin, tapi berdampak luar biasa bagi diriku.

"Gue duluan ya!" pamitnya sebelum ia melaju kencang dengan motornya, sedangkan diriku masih tak dapat berkutik di tempat, tubuhku masih membatu setelah tersengat dengan sikap manisnya tadi.

Aku menutup wajahku yang sepertinya sudah memerah saat ini, seharusnya sikap sederhana darinya tidak berdampak bagi diriku. "Tahan Bulan tahan, kamu pasti bisa!" ucapku menenangkan diri sendiri.

Aku berjalan dari halte menuju rumahku, sebenarnya aku tidak ke rumah tanteku dan di sini juga bukan alamat tanteku, aku hanya berbohong pada Angkasa. Aku tak mau dia mengetahui rumahku, bukan hanya dia, aku tak pernah mengizinkan teman sekolahku pergi ke rumahku, setiap ada kerja kelompok pun aku menghindari rumahku sebagai sasaran.

Bukan malu atau sombong, hanya saja aku tak ingin orang lain yang menjadi alasanku tertawa, mengetahui tentang kehidupanku di rumah. Biarlah sekolah menjadi tempatku melepas tawa, dan rumah menjadi tempatku mendapat luka, aku tak mau mencampuradukkannya.

DOGENG PUTRI REMBULANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang