"Paman Ben! Paman Ben!" Panji menjentikkan jarinya di depan wajah Ben untuk menarik perhatian pria itu.
"Sorry, what did you say?" Panji dan Langit bersamaan menyandarkan punggung mereka di sandaran sofa, lelah telah menyia-nyiakan energi mereka membahas mengenai kasus Breanna kepada Ben yang ternyata tidak menyimak. "What? What did I do?" Ben protes karena menerima sorot mata mengejek dari dua juniornya. "Jadi siapa perempuan itu, Breanna Harfi?" Ben menaruh tablet yang berisikan informasi tentang Breanna. "Bagaimana kau bisa mengenal perempuan itu?" Ben berdeham menyadari nada yang terdengar 'terlalu penasaran' dari dirinya kepada Panji.
"It's a long story." Ben mengusap dagunya yang terasa kasar, aneh, ia merasa tidak puas dengan jawaban singkat Panji, sangat tidak puas. "Pertanyaannya adalah, apakah Paman bersedia untuk memberi Nana akses mencari yang ia butuhkan?"
"Nana?"
"Breanna." Panji terdengar nyaris kehilangan kesabarannya.
"Mengapa kau memanggilnya Nana? Kalian terlihat sangat dekat sampai kau bersedia memenuhi permintaannya." Panji melongo menyadari bahwa Ben tidak benar-benar kehilangan konsentrasinya ketika ia membahas kasus Breanna.
"Karena kalau sampai orang itu menyebarkan gambar-gambar tidak senonoh Nana, maka karirnya bisa terancam. Sialan itu menempat kamera di tempat yang memungkinkan mengambil gambar Nana yang...." Panji menghela nafas. "Intinya apa Paman bisa memberikan akses untuk Nana?"
Tentang gambar Breanna, Ben menarik sudut bibirnya sedetik sebelum menyesap tehnya, ia tahu kegemparan seperti apa yang akan dapat diciptakan hanya karena sebuah gambar Breanna Harfi. Mata Ben mengawasi Panji dari balik cangkir tehnya. Ia tidak akan meluruskan kesalahpahaman Panji kalau pria itu berpikir bahwa diamnya kali ini dikarenakan ia sedang mempertimbangkan permintaan Breanna. Biarkan Panji memikirkan yang diinginkannya, tapi Ben memiliki agenda lain.
"Aku ingin membahasnya langsung dengan Ms. Harfi."
"Oh No." Gumam Langit bersamaan dengan penolakan Panji yang menyatakan 'tidak' dengan lantang.
"Apa yang kau khawatirkan? Aku hanya ingin membahas permintaan Ms. Harfi langsung dengan orangnya."
"Oh God." Langit mengacak rambutnya, Ben acuh tidak acuh melihat geleng-geleng kepala Langit untuknya.
"Tidak Paman, tidak. Jangan Breanna!"
"Memangnya apa yang kulakukan? Seperti yang diinginkannya, kami akan membicarakan tentang akses yang diinginkannya."
"Oh come on, Uncle Ben." Langit jelas tidak mempercayai kalimat Ben. Maksud yang juga diamini oleh Panji yang mengeleng-gelengkan kepalanya. "Permasalahannya adalah, kami terlalu mengenalmu Paman." Panji kini mengangguk semangat, sepakat dengan Langit.
"Answer me Sudjono!" Ben menaruh cangkir tehnya. "Apa Breanna seperti Maura bagimu?"
"I love her, I care about her."
"She rejected you." Ben tersenyum sadis, puas dengan asumsinya, tidak peduli dengan air muka gelap Panji.
"Aku akan melakukan hal yang sama padamu seperti yang kulakukan pada bajingan ini." Panji menunjuk Langit, walaupun begitu Langit tidak protes karena ia tahu Panji bermaksud baik, melindungi Maura saat itu. "Akan kupastikan Nana tidak akan mudah kau taklukkan. Karena tidak seperti Maura yang memiliki hubungan keluarga denganku, sehingga tidak mungkin aku menggoyahkan hatinya, Nana lain. Tidak ada ikatan apa pun yang dapat menghalangiku. Aku akan memberi Nana amunisi apa pun untuk menghadapimu." Keheningan merambat ketika sorot mata Panji bertemu dengan sorot mata Ben yang tidak kalah serius. "Kau tidak boleh menganggapku remeh, Paman. Kami punya cerita yang tidak bisa kau bayangkan." Ada sesuatu yang ganjil dalam tatapan dan senyuman keduanya, seakan tatapan dan senyuman dapat melayangkan anak panah yang dapat membunuh satu sama lain. "Baiklah, kuanggap kau setuju. Aku akan segera memberitahukan Nana." Panji menenggak habis minumannya sebelum meninggalkan unit Ben.
"Kau tidak serius bersaing dengan si pyscho itu bukan, Paman?" Ben meraih kembali cangkir tehnya, disesap perlahan tehnya yang mulai mendingin. "Saranku, kalau kau hanya ingin bermain seperti yang biasa kau lakukan, jangan ikutsertakan seseorang yang dijaga oleh Panji Sudjono. Aku sudah merasakan keganasannya ketika mempertahankan Maura. Beruntung aku tidak melakukan yang membuat kebrutalannya muncul. Kalau kau melakukan sesuatu, seperti membuat Breanna patah hati misalnya, bahkan aku tidak yakin dapat membantumu." Langit sejenak memperhatikan air muka Ben yang berubah serius. "Pikirkan baik-baik Paman. Sudjono benar, mereka punya cerita yang kita tidak tahu sedalam apa." Langit meninggalkan Ben, kembali ke unitnya.
"Cerita?" Ben menghabiskan sisa teh dalam satu tegukan. Ia lalu berjalan ke arah ruang wardrobe, tepatnya menuju lemari dimana beberapa koleksi jam tangan, dasi dan cufflink miliknya tersimpan rapi. Namun di antara asesoris maskulin yang ia miliki, terdapat sebuah kotak tertutup yang menarik perhatiannya. Dibukanya kotak berwarna hitam tersebut, Ben tersenyum puas melihat benda yang disimpannya. "Sepertinya kami juga memilikinya." Ditutup kembali kotak tersebut diiringi rasa antusias yang menyebar di seluruh sel tubuhnya.
♡♥♡♥
Catatan PenulisSeri Keluarga Raven:Another Serendipity (Langit Raven & Maura Wirayudha) - Terbit MediapressindoTouched of Love - Semburat Cinta Chrysant (Tangguh Raven & Alisha Pratama) - Terbit Sheila Publisher Hallo Again! "Stranger" (Ben Raven & Breanna Harfi) - mindbox_byliapermataKeep in touched with mindbox_byliapermata, email: mindboxliapermata@gmail.com
KAMU SEDANG MEMBACA
Hallo Again! "Stranger"
RomanceSeri Terakhir Keluarga Raven (Romansa CEO Player Raven dan Aktris Kelas A) Pertemuan pertama antara Ben Raven dan Breanna Harfi terjadi sembilan tahun silam ketika Breanna dijebak oleh manajernya, dimana Ben Raven menyelamatkannya dari jurang prosti...