Bab 4: Terusik

3 0 0
                                    


"Apa yang terjadi padanya?" Maura berbisik pada Langit, begitu ia berhasil duduk setelah dibantu oleh suaminya. Langit menaruh telunjuknya di bibir, sinyal untuk Maura menutup mulutnya. Maura cemberut sekilas, tetapi rautnya langsung berubah ketika melambaikan tangan pada Panji yang terlihat dari kejauhan.

"Apa dia harus selalu ada di antara kita?"

"Raven!" Maura menghardik suaminya.

"Bagus sekali sepupu." Panji menarik kursi di sebelah Maura sambil mencubit sayang pipi sepupunya yang terlihat lebih chubby selama mengandung. "Aku mendengarnya, bagaimanapun Raven, jangan berharap kehilangan diriku terlalu lama, sepanjang kau masih ingin tenang dalam keluarga Sudjono." Langit mengembangkan senyum tidak ikhlas untuk sepupu tersayang istrinya. "Apa yang terjadi padanya?" Panji bertanya santai sambil mempersiapkan serbet, seakan dalam hitungan detik akan ada makanan yang siap tersaji untuknya. Ia baru saja hendak menjentikkan jari di depan wajah Ben, tapi beruntung Maura menahannya. "Apa?"

"What?" Langit, Maura dan Panji terdiam mendengar pertanyaan yang lebih mengarah pada hardikan yang terlontar hebat disertai cibiran dari mulut Ben. Ketiganya saling pandang, seakan sorot mata mereka dapat saling melemparkan pertanyaan. "Forgive me, for not know anything?" Ben tanpa sadar mencibir kalimat yang baru saja keluar dari mulutnya sendiri. Sejujurnya, ia bahkan tidak sadar tengah menjadi pusat perhatian dari tiga teman makan siangnya.

"Oh aku tidak sabar untuk tahu amatiran mana yang mempertanyakan kredibilitas Paman Ben. Orang itu tidak akan hidup tenang setelah ini." Walaupun setuju dengan ujaran istrinya, Langit tetap menaruh telunjuknya di bibir istrinya itu.

"Jangan penasaran, jangan berpikir keras, makan saja, masalah perusahaan, masalah si amatiran biar aku yang menanganinya." Langit menyambut pelayan yang datang membawa menu yang telah ia pesankan untuk istrinya.

"Kurasa kau pun tidak dapat meng-handle 'si amatiran' ini, Raven." Panji mengambil piring makanan Maura, lalu menyisihkan kacang polong yang tidak disukai oleh sepupunya. Langit mengigit bibir bawahnya, berusaha meredam kecemburuannya menghadapi perhatian Panji untuk Maura yang tidak pernah menipis sekalipun sepupunya itu telah menikah.

"Sepertinya kau tahu siapa si amatiran ini Mas." Mata Maura berbinar ketika menerima piring yang telah dibersihkan dari invasi kacang polong dari Panji.

"Atau pernah gagal meng-handle-nya." Langit menelan potongan medium rare steak miliknya dengan perasaan jumawa, mengabaikan geraman Panji.

"Paman," Panji berdeham mencoba menarik perhatian Ben. "kutebak kau telah bertemu Nana." Panji menampilkan gesture tertarik yang maskulin ketika berusaha menarik perhatian Ben. Gesture yang membuat Maura menarik nafas, lalu memutar mata bosan melihat banyak mata-mata genit mengarah ke meja mereka. Mungkin kalau ia tidak terbiasa dengan bombardir visual dari ketiga pria rupawan di sekelilingnya, pasti ia butuh bergelas-gelas air untuk menenangkan diri. "Apa Nana mengatakan, dia memaafkanmu karena terlalu sok tahu?" SRRRNGG! Seperti ada suara pisau beradu, Panji mendapatkan keinginannya, perhatian Ben.

"Tutup mulutmu, bukalah hanya untuk menyuap makananmu!" Maura menaruh piring Panji sambil memukul sepupunya yang kini tengah terkekeh-kekeh menyebalkan.

"Jadi bagaimana perbincangan pertama kalian?" Panji memotong medium steak sebelum tersenyum penuh arti kepada Ben yang masih belum tertarik menyentuh makan siangnya.

"Aku bertanya-tanya apa saja yang sudah kau 'susupkan' ke otaknya tentang diriku."

"Semua hal yang perlu Nana ketahui, dan itu akan kulakukan berulang-ulang."

Hallo Again! "Stranger"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang