Bab 5 Morning Call

4 0 0
                                    

"Mr. Raven! Mr. Raven!"

"Yes?" Ben membaca kekesalan di sorot mata Breanna, dan gesture rasa bersalahnya seketika muncul karena ia sadar telah mengabaikan kalimat perempuan itu.

"Kau tidak mendengarkanku." Ben seperti ditangkap basah melakukan kesalahan, dan ia sedang dihardik oleh seseorang, namun ternyata ia tidak merasa kesal sedikit pun. "Sudah kuduga." Breanna menyilangkan kedua lengannya di dada, seraya menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi karena kesal.

"Bisa kau ulangi lagi permintaanmu?"

"Kalau kau sudah bisa fokus." Tidak. Tidak. Ben berkrenyit ketika Breanna mengeluarkan lembaran naskah sialan yang sama seperti yang dibawanya pagi ini ketika mereka bertemu di Sugar Kiss – coffee and cake di The Raven.

"Berhenti!" Tangan Breanna mengikuti perintah Ben, tetapi matanya melancarkan perlawanan. "Please."

Tarikan nafas kekesalan yang sama, Ben sepertinya harus terbiasa dengan reaksi Breanna yang menganggapnya tidak lebih dari orang biasa. 'Biasa' adalah kata yang tidak pernah tersemat untuk Ben sebelumnya, karena itu ia harus cepat beradaptasi mengetahui ada seorang perempuan yang menganggapnya tidak spesial.

"Korban 'itu saja' perempuan ini lebih banyak dari jumlah jari di tangan dan kakimu."

Kalimat Panji Sudjono kembali melintas di ingatannya, tiba-tiba Ben penasaran pria-pria seperti apa yang biasa dijumpai oleh Breanna sehingga seseorang seperti Panji dan dirinya tidak membuatnya mata berbinar liar beberapa detik saja. Atau sebaliknya, jangan-jangan saat ini matanyalah yang sedang berbinar liar ketika duduk berhadapan dengan Breanna.

"Kau sepertinya tidak khawatir akan ada gosip yang muncul tentang kita berdua. Bukankah kau begitu menjaga image-mu agar tetap bersih?"

"Image yang kujaga adalah 'artis tanpa gimmick untuk mempromosikan filmnya'. Aku ingin mereka datang karena ingin melihat kemampuan aktingku, bukan karena gimmick-gimmick murahan yang menyertainya. Tapi masalah dating gossip aku sulit mencegahnya."

'Sulit untuk mencegahnya', Ben berpikir keras untuk menerjemahkan kalimat Breanna. Ada beberapa kemungkinan yang melintas, dan ia tidak menyukai satupun dari kemungkinannya. Kemungkinan bahwa Breanna memang memiliki banyak gosip tentang hubungan spesialnya. Jadi, apa benar ia adalah versi perempuan dari Panji Sudjono. Ya Tuhan, mungkin setelah ini ia segera mencari informasi hubungan romantis Breanna di halaman internet.

"Fokusmu hilang lagi Mr. Raven." Ben mengatupkan giginya ketika tangannya berani-berani menahan jari-jemari Breanna yang hendak membuka naskah skenario yang sedang dibacanya. Ya Tuhan, perempuan ini sekarang memunculkan raut menyebalkan, yang sulit diabaikan Ben, karena seperti kata-katanya sembilan tahun yang lalu benar-benar menjadi kenyataan, Breanna tumbuh menjadi perempuan yang lebih dari sekedar sangat cantik. Oh kemana ia selama ini? Seharusnya sesekali ia menonton televisi atau film di bioskop, bukan hanya berkutat dengan pekerjaan. Begitu banyak perempuan yang dikenalkan padanya, tapi Breanna tidak pernah menjadi salah satunya. Sifat keras dan santai perempuan ini semakin membuat Ben sulit untuk berhenti terheran-heran dan penasaran. "Aku memenuhi permintaanmu untuk tetap tinggal setelah makan siang, karena kau mengatakan ingin segera membantuku mengeksekusi permintaanku. Dan aku menjabarkan rencanaku panjang lebar tapi apa yang kudapatkan? Kau dan pikiranmu yang berlayar entah kemana. Lalu sekarang kau menahanku untuk membaca skenario yang mungkin akan menjadi project terdekatku? Apa yang kau inginkan sebenarnya Mr. Raven? Aku bukan orang yang punya kesabaran tinggi."

"Ben, please call me Ben."

"Ya ampun, permintaanmu banyak sekali Mr. Raven." Breanna menyisir rambutnya dengan jari, ekspresi frustasi yang entah sejak kapan mulai disukai Ben. Ia merasa nyaman karena Breanna tidak bersusah payah terlihat cantik terstruktur di hadapan Ben. "Setelah memintaku untuk membuang basa-basi formal, lalu tinggal setelah makan siang dan kini kau memintaku memanggil nama depanmu? Jangan membuatku salah paham kalau persetujuanmu untuk memenuhi permintaanku hanya akal-akalan agar kau bisa mendekatiku?" Tamparan, jelas Breanna sedang menamparnya dengan kata-kata tuduhan yang tajam, tapi lagi-lagi Ben tidak merasa kesal.

"Kalau memang seperti itu, apa kau akan mempertimbangkannya?" Kekuatan Breanna, Ben satu per satu merasakannya, tatapan mata intens berani dari Breanna membuat ia tidak mengerti dengan cara kerja jantungnya saat ini. Belum lagi ditambah pancarannya yang tidak dapat dibaca oleh Ben, berhasil membuat Ben terserang akar-akar kepanikan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya ketika berhadapan dengan perempuan mana pun, bahkan dengan Breanna sembilan tahun lalu. Sepertinya perempuan ini berbahaya untuk kesehatan mentalnya. "Seperti kau memberikannya pada Panji Sudjono? Pertimbangan."

"Pertimbanganku terhadap Panji bukan wajah, kesuksesan apalagi kepopulerannya di kalangan perempuan, tapi ada sesuatu...."

"Sesuatu seperti apa?" Ben menanyakan 'sesuatu' yang sepertinya diagung-agungkan oleh Breanna dan Panji sehingga semua orang tidak dapat masuk untuk menggugatnya.

"Sesuatu seperti menyelamatkan hidupku."

"Harfiah?" Ben mendapatkan jawaban yang tegas dari Breanna. Jawaban yang menimbulkan banyak pertanyaan lanjutan yang urung dilontarkan Ben untuk saat ini, karena di otaknya kini sedang berputar keras menciptakan 'sesuatu' yang tidak kalah berharga dari milik Panji Sudjono. "Bisa kau jelaskan sekali lagi, please." Entah berapa banyak 'please' yang telah ia lontarkan sejak bertemu dengan perempuan ini.

♡♥♡♥

Catatan PenulisSeri Keluarga Raven:Another Serendipity (Langit Raven & Maura Wirayudha) - Terbit MediapressindoTouched of Love - Semburat Cinta Chrysant (Tangguh Raven & Alisha Pratama) - Terbit Sheila Publisher Hallo Again! "Stranger" (Ben Raven & Breanna Harfi) - mindbox_byliapermataKeep in touched with mindbox_byliapermata, email: mindboxliapermata@gmail.com

Hallo Again! "Stranger"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang