11 |

1.1K 35 1
                                    

Dewangga

Aku melambaikan tangan saat melihat Aya tersenyum dari balik kaca mobil. Kendaraannya terparkir agak jauh dari pintu masuk studio, mungkin dia sengaja cari tempat yang adem dan rindang. Aku pun bergegas menghampiri Aya. Dia keluar dari mobil dan menyambutku sumringah.

"Hei," sapaku.

"Udah mulai?" tanya Aya.

Aku menggeleng. "Mungkin lima menit lagi," sahutku. "Yuk, masuk." Aku mengaitkan jemari kami dan menggandengnya. Akan tetapi Aya menahan tanganku.

"Aku nggak berencana masuk ke dalam, Beb," tolak Aya.

Aku mengernyit. "Kenapa?"

"Pesawatku bentar lagi take off," jawab Aya.

"Oh, pesawatmu siang ini?" Aku lupa kalau Aya akan menyusul maminya ke Yogyakarta untuk meresmikan pembukaan cabang klinik kecantikan mereka yang baru. "Jadi ngapain ke sini?"

Aya mengerling jail. "Buat pamitan sama kamulah," katanya menggodaku.

Aku menangkupkan pipinya dalam kedua telapakku. Kusandarkan punggung Aya merapat pada mobil untuk melayangkan kecupan pada dahinya.

"So sweet banget, Cantikku," ucapku.

Aya merona. Ia kemudian mengajakku masuk ke dalam mobil, tepat pada bangku penumpang.

"Beb, aku tadi beli kopi dan croissant. Kita makan sama-sama, yuk."

Aku melirik pada jam tangan. "Aku bawa ke dalam aja gimana? Takutnya Ileana sudah kelar didandanin."

"Ayolah," bujuk Aya menarik tanganku. "Nggak lama. Lagian mereka nunggu sebentar, kan, nggak apa-apa."

"Okay, tapi lima menit aja, ya." Aku terpaksa pasrah dalam hipnotis mata bulat Aya yang memesona.

Kami berdua pun duduk bersebelahan. Dengan semangat, Aya menyodorkanku sebuah pastry kering di dalam paperbag. Sementara dia menenggak caramel macchiato-nya terlebih dahulu.

"Jangan terlalu kaku sama Ileana, ya," kata Aya.

Aku mengedikkan bahu. "Kaku maksudnya gimana?"

"Ya, kamu, kan, semula nggak setuju waktu aku memutuskan pakai dia. Aku khawatir kamu bersikap kurang luwes sama dia nanti."

"Lagian kamu, Ya. Aku tahu Ileana sahabatmu, tetapi jangan campur adukkan urusan kerjaan dengan perasaan. Portofolio model pertama yang kamu tunjukkin ke aku, menurutku sudah sangat sesuai dengan standar. Eh, di tengah jalan kamu justru cancel dia dan menggantikannya dengan Ileana," jabarku. "Well, I know that Ileana are good enough, tapi fitur wajah dia kurang sesuai dengan karakter klinik kecantikanmu."

"Model buat klinik kecantikan hanya perlu cantik, De," sanggah Aya.

"Aya, aku yang megang proyek mamimu di Malang. Beliau jelas-jelas bilang kalau klinik kalian beda karena yang diangkat itu kecantikan alami perempuan Indonesia. Saat klinik yang lain gembar-gembor tentang plastic surgery biar mirip idol Korea atau wanita-wanita Eropa, klinik kalian menawarkan treatment yang bisa membantu pasiennya meraih kecantikan alami atau natural. Jadi hasil prosedurnya nggak mengubah drastis muka seseorang," ujarku.

"Terus?" sahut Aya acuh tak acuh.

"Bagiku muka Ileana sedikit kebule-bulean. Jauh dari figur wanita Asia," jelasku.

"Ah, udahlah, De. Ileana itu cantik dan dia sudah memenuhi kriteriaku. Titik. Kamu nggak perlu terlalu perfeksionislah." Aya mendengkus.

Aku mendecih. "Kamu meminta hal yang mustahil, Ya. Perfeksionis sudah jadi sifatku yang mendarah daging. Jadi kalau kamu memintaku lembek pada Ileana, aku nggak akan bisa janjikan itu. Kalau dia memang model profesional, dia nggak akan keberatan. Jadi nggak usah terlalu khawatir berlebihan."

Mr. Vanilla (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang