03 |

2.1K 53 6
                                    

Ileana

Tetangga? Si Dewangga Satya tinggal dalam perumahan yang sama denganku? Entah kebetulan macam apa ini, yang pasti, aku berharap rumah Mas Pongah itu jauh dari blok rumahku. Melati Regency luas. Bisa saja rumah kami saling berjauhan hingga kemungkinan berpapasan sangat kecil.

"Hah!" Aku menutup pintu mobil setengah emosi.

Niatku menginap di apartemen Soraya pupus gara-gara ada Dewa. Aku terpaksa menghabiskan malam menyedihkan sendirian di rumah. Rumah masa kecil yang menyimpan banyak kenangan. Rumah yang semula kupikir tak akan kutempati lagi setelah bertunangan dengan Raihan. Tapi ujungnya, aku malah kembali lagi. Halah, sial ... sial.

"Lho, Mbak ... Ileana? Mbak Ileana, kan?"

Aku menengok. Cih, ternyata salah satu tetanggaku yang rumahnya terletak paling ujung. Salahku, sih, habis parkir nggak langsung masuk. Jadi harus basa-basi sekarang.

"Eh, Tante Yoke. Apa kabar, Tante?" Aku menyalami tangannya demi kesopanan.

Tante Yoke memandangku lekat. Dari atas ke bawah sambil tersenyum lebar. "Sudah lama tidak ketemu. Tante pikir kamu sekeluarga sudah pada pindah," ucapnya.

Aku cuma nyengir.

"Bagaimana kabar mama dan papa, Sayang? Mereka ada di dalam?" Tante Yoke mengintrogasiku. Kepalanya menengok untuk mencari-cari.

Padahal orang se-kompleks sudah tahu kalau orang tuaku bercerai. Mana ada orang sudah pisah masih tinggal satu atap? Kejadian itu sudah lama, pas aku kuliah. Kenapa pakai dibahas lagi?

"Cuma ada saya, Tante," jawabku. "Mama, kan, sekarang tinggal di Makassar sama keluarga barunya."

"Oh ..." Tante Yoke manggut-manggut. "Terus pak Bagus, papamu, di mana?"

"Tinggal di Batu," sahutku singkat.

"Oalah, Tante pikir masih di Surabaya." Ia mengelus-elus lenganku tanpa berniat melepasnya. Sejurus kemudian, Tante Yoke menelisikku dengan sorot mengiba. "Kasihan, kamu tinggal sendirian. Kenapa kok mama sama papa sampai bisa pisah, ya, Ileana?"

Haduh ... pertanyaan macam apa, sih, ini? Makanya aku benci ngobrol sama ibu-ibu kompleks. Yang dibicarakan selalu nggak mutu. Mereka semua sudah tahu kalau papa doyan mabuk dan main perempuan. Pak RT dulu sering nemuin papa teler sampai pingsan di pinggir jalan. Jadi, alasan orang tuaku bercerai merupakan rahasia umum. Mengungkit perceraian mama dan papa justru mengorek lagi luka batinku, seharusnya sebagai manusia yang katanya berempati, Tante Yoke tahu itu.

"Sudah jalannya, Tante." Aku menjawab sekenanya. Aku lantas melepaskan tanganku dari genggaman Tante Yoke. Hari ini aku sudah lelah batin dan fisik. "Saya masuk dulu, ya, Tante," pamitku.

Tante Yoke mengangguk. "Iya-iya, Ileana," katanya. "Salam untuk mama sama papamu, ya."

"Iya," balasku. Aku bergegas masuk menuju teras sambil merogoh kunci di dalam tas.

Salam buat papa-mama? Boro-boro nitipin salamnya, buat aku komunikasi dengan mereka lagi saja sudah sulit. Apa lagi papa. Entahlah bagaimana kabar manusia satu itu.

***

Sinar matahari menembus celah tirai kamar yang kutiduri. Padahal niatku mau bangun siang atau sore. Ini jam segini malah sudah melek. Efek pemanasan global emang nyata, masih jam enam tapi terangnya udah terik banget.

Rumah ini memang tidak ditumbuhi pepohonan besar untuk menghalau cahaya matahari, beda sama rumah Raihan yang teduh. Rumah itu nyaman. Tetangga-tetangga Raihan juga nggak pada kepo kayak di sini. Selain itu fasilitas umumnya juga lengkap, ada kolam renang indoor, lapangan tenis, sama playground anak. Biasanya kalau Raihan libur dan aku senggang, kita olahraga bareng, entah berenang atau jogging keliling perumahan.

Mr. Vanilla (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang