29| Kamu Memang Buatku

748 40 5
                                    

Ileana

Hidup dalam kenyamanan jelas terpampang di depan mata. Untuk apa aku harus tergoda pada segala ketidak-mungkinan dan ketidak-pastian yang Dewa tawarkan? Dewangga Satya adalah ujian yang dikirim Tuhan untuk mengetes keteguhanku.

Aku yakin, memilih dia hanya akan menyisakan penyesalan.

Raihan menyeimbangkanku; dia stabil, bertanggung jawab, dan dewasa. Sementara, Dewa? Aku cuma mengenalnya selama beberapa bulan. Dia lelaki pemarah yang punya emosi naik turun, persis seperti wanita dilanda PMS.

Cinta? Alah. Peduli setan sama cinta.

Dulu mama sama papa juga menikah berdasarkan cinta. Lalu, bagaimana ending-nya? Komunikasi terakhir mereka berwujud perkelahian sengit yang menyebut segala binatang. Anjing, babi, monyet. Oh, sialan. Aku bahkan masih ingat.

Ujungnya ...

Mama beralih menikahi om Rahman, seorang lelaki paruh baya yang super duper membosankan. Pada akhirnya, wanita hanya membutuhkan hubungan stabil. Lelaki bertanggung jawab yang mampu menyediakan kepastian.

Kupandangi wajahku yang bengkak. Menyebalkan sekali, baik air mata mau pun ingusku terus saja meleleh. Raihan mana boleh tahu kalau aku habis menangis.

Toktoktok.

"Beib?"

Sial. Kok sudah datang saja, sih, si Raihan?

"Ya, bentar!" seruku terbirit-birit.

"Kok dikunci?" gumam Raihan tertangkap runguku.

Aku pun membuka pintu, menyambut tunangan tampanku sambil tersenyum lebar.

"Kok cepet datangnya? Aku belum apa-apa," sambutku.

"Kita harus mampir nitip Sultan dulu." Raihan menerobos masuk. "Mana si Ndut-nya Daddy?" Ia memanggil-manggil Sultan.

"Ya sudah, aku dandan bentar," kataku.

"Kopermu mana? Kumasukkin bagasi," tawar Raihan.

Aku menunjuk menggunakan dagu. "Itu," ucapku.

Raihan memaku tatapannya padaku.

"Lei, kenapa matamu bengkak?" selidik Raihan. "Kamu abis nangis?"

Aku menggeleng. "Tadi kena sampo waktu keramas," dalihku.

"Hmmh?" Alih-alih menerima jawabanku, Raihan justru mendekat. "Coba kulihat."

Aku buru-buru mengelak. "Udah, nggak apa-apa. Abis ini kutetesin obat mata." Menghindari Raihan dan masuk ke dalam kamar.

Aku memasukkan peralatan make up ke dalam pouch. Bisa gawat kalau ketinggalan. Aku takut orang tua Raihan ketakutan karena mengiraku mayat hidup. Mukaku lumayan pucat kalau nggak ter-cover riasan.

"Beib," kata Raihan dari luar. "Kulihat Dewa sudah pulang, ya?"

"Iya," timpalku singkat.

Raihan mengintip. "Gimana, dia? Baik-baik aja?" selidiknya. "Perlu nggak aku mampir buat menyapa?"

"Nggak usah," pelototku.

Raihan mengernyit akibat responku. Ia menyusulku menuju meja rias. "Kenapa? Kemarin-kemarin perhatian banget sama Dewa, sekarang kok mendadak keki?" tanyanya. Ia berdiri di belakangku, menyorotku saksama.

"Keki? Aku nggak keki. Aku cuma nggak mau kita ketinggalan pesawat. Lagian Dewa bukan siapa-siapa kita. Dia itu mantannya Aya. Sekarang udah nggak ada urusan sama Dewa lagi." Aku menutup risleting pouch, lalu mengamitnya di lengan. "Ayo, berangkat," ajakku.

Mr. Vanilla (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang