24 |

1K 49 0
                                    

Ileana

"Kamu akan merahasiakan ini dari Dewa, kan?"

Kamar suite tempatku dan Soraya berada cukup luas dan serba lengkap. Satu ranjang ukuran king size, mini bar, serta sofa empuk di dekat kaca jendela seharusnya mampu membuat tamu merasa nyaman. Tapi dari sekian banyaknya fasilitas dan furniture, kami berdua memilih duduk di lantai.

Aku ingat, dulu aku dan geng pembenci Soraya pernah menyembunyikan tas miliknya. Kami melempar tas itu ke dalam selokan yang dipenuhi comberan. Soraya tidak marah, dia juga tidak menangis. Soraya tetap tenang dan tersenyum sembari memungut barangnya satu per satu.

Tapi kali ini sikap Soraya berbeda dari biasa.

Kedua telapak tangannya gemetaran, dengan air mata yang terus menerus jatuh membasahi pipi semulus pualam. Setiap detik, setiap menit, Soraya memohon padaku. Aku merasa seolah-olah menjadi orang paling berkuasa, memegang nyawa Soraya dalam genggaman tanganku.

Sebuah sunggingan pahit terulas pada bibirku. "Baru kali ini aku berada dalam satu tempat yang sama dengan orang-orang paling kubenci," ujarku.

"Lei?"

"Tiga orang, Aya," kataku. "Darwin Laksmono, Dion, dan ... kamu."

"Lei ..." isak Soraya kembali pecah.

"Seharusnya kamu tak memperkenalkanku dan Dewa jika hubunganmu tidak serius. Maka, aku mungkin tak akan mempermasalahkan hobimu yang gemar mengoleksi lelaki."

"Aku serius sama Dewa, Lei. Aku sungguh-sungguh ..." Soraya menyedot ingus yang memenuhi hidung mungilnya. Matanya bengkak, kulit mukanya pun memerah.

"Serius tapi kamu masih kepikiran ngentod sama cowok lain. Kamu sedang bergurau denganku, kan, Ya?" decihku.

"Entah mengapa Dion mampu mengisi kekosongan yang Dewa tidak mampu isi. Akan tetapi, perasaanku dan hatiku cuma buat Dewa." Tangis Soraya lagi-lagi meledak. Ia menggenggam lenganku dengan telapak yang sedingin es. "Aku tahu aku salah, dan aku akan menjadikan ini sebuah pelajaran berharga," janjinya. "Kamu tahu, Lei, ketika kamu tiba-tiba muncul, nyawaku seolah tertarik dari tubuhku. Aku membayangkan kamu adalah Dewa. Ketakutan sontak menjalar membuatku sesak napas. Dan aku sadar ... aku sangat mencintai Dewa lebih dari apa pun."

Aku menyeringai getir.

Cinta, seperti apa, sih, manusia memaknai cinta? Aku acap kali mendengar pengakuan cinta, namun pada akhirnya mereka terjerumus dalam pengkhianatan. Apakah cinta hanya sebuah rasa tanpa wujud tanggung jawab? Apakah selama kebohongan itu tak terungkap, maka semua akan tetap baik-baik saja?

Aku pelan-pelan beringsut bangun. Kepalaku sedikit pening, pandanganku pun berkunang-kunang.

Soraya dengan segera menarikku. "Kamu mau ke mana? Kamu akan mengadukanku pada Dewa?" cecarnya.

Aku menatap Soraya dingin. Ia tampak kacau, berantakan.

"Dewa tidak akan memaafkanmu jika dia tahu ini semua," ujarku.

"Aku tahu ..." lirih Soraya.

"Maka tebuslah kesalahanmu dengan menjadi pasangan yang baik untuknya."

"Lei, thank you so much!" Soraya memelukku, akan tetapi aku menangkisnya. "Lei?" Ia memandangku bingung.

"Semula kupikir kamu terlalu baik untuk Dewa, sekarang aku baru sadar kalau aku salah. Dia yang terlalu baik untukmu, Aya."

Soraya kembali berkaca-kaca.

Aku melanjutkan, "Kamu pikir hidupmu akan tenang karena kebohonganmu tidak terungkap?"

"A-aku belum melakukan apa pun dengan Dion, aku—"

Mr. Vanilla (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang