25 |

918 49 4
                                    

Dewangga

Aku menunggu Raihan di dalam Excelso yang berada pada lantai satu Rumah Sakit tempatnya bekerja.  Nyaman dan santai meneguk segelas cappucino seraya mengamati sekeliling. Tenang sekali sampai terkadang aku lupa sedang berada dalam lingkungan rumah sakit. Padahal jika menengok keluar jelas terlihat kesibukan lalu lalang di sini. Warna-warna hangat dan pencahayaan yang lembut menciptakan oase aman. Aroma kopi dan camilan yang baru saja disajikan menambah kehangatan di tengah penyejuk udara sedingin es. Kafe itu cukup sepi karena banyak pengunjung lebih sibuk di bagian rumah sakit yang lain.

"Mas Dewa," sapa Raihan. "Nunggu lama, ya?" Ia muncul dengan seragam dokter yang tertutup snelli. Wajahnya tampak letih, pasti suntuk berjam-jam merawat pasien kecilnya.

"Aku juga baru datang, kok," dalihku.

Raihan pun menarik kursi dan duduk. Sunggingan tipis tak lekang dari bibirnya. Lelaki satu ini memang punya kesan ramah, aku tak memungkiri itu. Mungkin akibat terbiasa menangani anak-anak setiap hari, pembawaan Raihan jadi simpatik.

"Maaf, ya, Mas, terpaksa bertemu di rumah sakit. Ileana bilang Mas Dewa ingin ngobrol secepatnya, dan aku selalu pulang larut. Jam istirahat ini satu-satunya kesempatan kita bisa bertatap muka," ujar Raihan.

Aku mengangguk paham. "Santai saja. Rumah sakit ini cukup mewah, aku malah merasa lagi di hotel," kekehku. "By the way, panggil Dewa saja."

"Okay." Raihan tersenyum. "Jadi, ada apa, nih? Apa yang bisa aku bantu?"

"Ileana sudah cerita kalau aku berniat melamar Aya?"

Raihan berbinar antusias. "Belum. Wah, selamat, ya!" ucapnya.

"Belum pasti diterima, jangan diselametin dulu," ringisku.

"Pasti diterimalah. Ileana bilang kalau hubungan kalian berdua cukup serius."

Aku pun mengamini perkataan Raihan.

"Sebenarnya, aku berencana melakukan lamaran old fashioned, bawa orang tuaku menemui orang tuanya. Yah semacam itulah," jabarku. "Tapi kurasa Aya suka dengan hal-hal berbau romantis. Jadi, sebelum pertemuan resmi kedua belah keluarga, aku ingin propose dia secara pribadi."

"I see," gumam Raihan.

"Masalahnya," dehamku. "Being romantic is not my thing, you know ..."

Raihan spontan tertawa kecil.

"Jadi?" selidik Raihan.

"Bisa nggak kamu bantu aku soal itu, Bro?"

Tawa Raihan kembali pecah. "Honestly, I am extreamly honored, Dewa. Tapi sebenarnya aku ini bukan seseorang yang dipenuhi oleh ide-ide romantis."

"Seriously? After giant bouquet of roses for Ileana?" ledekku. "Dan caramu bicara padanya, kata-kata cinta yang seperti ditulis langsung oleh Shakespeare, lalu kamu bilang kamu bukan pro?"

Raihan menggeleng segan. "Entahlah, Dewa. Aku hanya melakukan apa yang sekiranya akan membuat Ileana senang. Menurutku, semua wanita suka dengan segala sesuatu yang manis, mereka suka hadiah, dan wanita suka kejutan."

"Kamu berhasil, Bro. Buktinya Ileana memaafkanmu setelah selingk—" Senyumku seketika pudar. Ingin sekali kutempeleng mulutku yang suka mengoceh seenaknya. "Sorry, maksudku ..."

"Nggak apa-apa," sela Raihan. "Aya pasti sudah cerita alasanku dan Ileana putus. Aku memang berselingkuh, itu kesalahan fatal yang tidak kubanggakan."

"Sungguh, aku tidak bermaksud mengungkit hal itu, atau ikut campur," dalihku. "Tapi, karena kita nggak sengaja membahasnya, aku mau kamu tahu kalau aku dan Ileana berteman baik sekarang. Aku peduli padanya, Raihan."

Mr. Vanilla (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang