Albab Al-Wafa

5 0 0
                                        

Hening. Hanya ada suara jangkrik. Satu-dua motor lewat depan rumah. Suaranya membelah sepi. Lalu hening lagi. Tapi ini damai dan tenang. Purnama menggantung di langit sana. Angin sejuk sesekali menerobos masuk dari ventilasi-ventilasi ruang tamu.

Aku hanya ditemani kitab-kitab pesantren dan secangkir kopi yang uap panasnya masih melambai-lambai. Juga alunan sholawat banjari yang kuputar di ponselku. Ayah, ibu, dan kakak Laki-lakiku sudah tertidur sejak pukul 21.30 WIB tadi. Tersisa aku yang selalu tidur paling larut. Bukan karena hobi begadang, tapi ada beberapa hal yang harus ku selesaikan dulu. Pukul 21.00 saja aku baru pulang dari pondok. Lalu mempersiapkan ini-itu untuk hari esok. Melelahkan! Tapi sangat menyenangkan. Bukankah kita memang harus sibuk dengan kebaikan agar terhindar dari melakukan hal-hal yang buruk?

Pena berada di tangan kananku. Kitab  dan beberapa catatan berada di pangkuanku. Kopi susu favorit berada di sampingku. Tapi pikiranku tiba-tiba tertuju pada perkataan mas Albab kemarin. Pernyataan yang membuatku agak takut karena menganggap ini terlalu cepat.

"Jangan dulu, Mas. Ini terlalu cepat," jawabku waktu itu.

"Aina, bukankah menunda kebaikan itu tidak baik. Setelah aku ke rumahmu dan kamu bertemu aku langsung, kamu boleh menerima atau menolakku. Itu hakmu," jelasnya.

Aku terdiam cukup lama. Menimbang-timbang ucapan mas Albab.

"Mungkin boleh, Mas ke rumahku. Tapi jangan langsung memintaku kepada ayah ibu, Mas. Hanya sekadar silaturahmi saja. Ya?"

"Iya, Na. Aku ikut katamu," Mas Albab setuju.

Lalu obrolan kami terhenti sampai situ karena azan magrib sudah berkumandang di musholla dekat rumahku pun musholla dekat rumah mas Albab. Dia pamit.

"Belum tidur, Dek?" Kakak laki-lakiku tiba-tiba muncul dari tirai ruang tamu membuatku kaget. Lamunanku buyar begitu saja.

"Belum. Masih ngopi, Mas. Hehehe. Mas kok bangun?"

"Ke kamar mandi"

Dia kakak laki-lakiku satu-satunya. Namanya Sufyan Ats-tsauri. Nama yang indah. Menurut cerita ayah ibu, Sufyan Ats-tsauri adalah ulama besar Islam di bidang hadist dan seorang ahli fikih. Kedua orang tuaku berharap kakakku menjadi orang yang hebat dan bermanfaat sesuai namanya. Dan kuakui, dia anak yang pintar. Hampir 7 tahun mondok di Al-falah. Setiap aku menemui kesulitan dalam kitab-kitab kuning dan masalah-masalah fikih, dia selalu mampu memberiku jawaban. Dia memang kakak andalanku

Sementara aku, namaku Ainaul Mardiyah yang artinya mata yang diridhai atau setiap pandangan yang melihatnya pasti akan menemukan keridhaan di hati. Dari cerita ayah ibu juga, Ainaul mardiyah adalah nama bidadari tercantik di surga. Ayah ibu berharap, aku tidak hanya cantik luar tapi lebih dari itu, hatinya juga cantik dan bersih.

Begitulah cerita dibalik namaku dan mas Sufyan.

"Mas, aku pengen ngobrol," pintaku pada mas Sufyan. Ya, aku berniat menceritakan tentang Mas Albab padanya sebelum kepada ayah ibu.

Mas Sufyan duduk di depanku. Menyeruput sedikit kopi bikinanku. Hanya kulihat dengan sedikit kesal.

Aku menceritakan awal mula mengenal lelaki bernama Albab Al-Wafa itu. Laki-laki lulusan Lirboyo dan sekarang sibuk menjadi seorang pengajar di sebuah sekolah dan menjadi pendidik anak-anak di sekitar rumahnya. Begitu yang pernah di ceritakan mas Albab kepadaku. Jadi, setiap sore sampai malam rumahnya ramai dengan anak-anak juga remaja yang ingin belajar agama dengannya.

Mas Sufyan mendengarkan ceritaku sembari membolak-balikkan catatan milikku yang ada di hadapannya. Aku menceritakannya sedetail mungkin.

"Dia ingin silaturahmi ke rumah, Mas. Tapi..." Kataku.

"Bagus, dong. Daripada kamu nanti menjalin hubungan tanpa tujuan yang jelas, kan? Jika dia berani menemui orang tua si perempuan, itu tandanya dia yakin dan perasaannya tidak main-main," jelas mas Sufyan.

"Tapi aku yang belum bisa yakin sepenuhnya meskipun aku tahu dia pasti orang yang baik."

"Ndak apa-apa. Izinkan saja dulu. Dia hanya silaturahmi kan belum melamarmu?"

"Iya, Mas. Aku ikut Mas saja. Nanti bantu aku bicara ke ayah ibu"

"Siap," katanya sambil menyeruput kopiku lagi.

Mas Sufyan pamit kembali ke kamarnya. Aku mengiyakan dan tak lupa berterima kasih.

Malam kembali kurasa begitu hening tapi di kepalaku sedang ramai nama mas Albab dan pintanya untuk silaturahmi ke rumah. Ah!

***

"Sudah berangkat?" Ku dapati pesan dari mas Albab sesaat setelah aku sampai sekolah di mana aku mengajar. Aku tersenyum. Sejak kita mengenal, pesan itu selalu menjadi notifikasi rutin setiap pagi, pun setiap siang ketika aku pulang dari mengajar.

"Baru sampai sekolah. Mas sudah berangkat?" balasku. Tak lama setelah itu, dia langsung mengirimkan balasan.

"Sudah dari tadi, Na. Ini sudah berada di kelas."

"Iya, Mas," balasku singkat.

"Na, insyaallah besok mas ke rumahmu."

Deg!

"Besok, Mas?" Aku memastikan.

"Iya, Na. Insyaallah sampai rumahmu setelah Magrib. Besok kukabari lagi kalau jadi."

Tidak ada balasan yang bisa ku kirim lagi selain... "Iya, Mas."

"Monggo dilanjut aktivitasnya, Na. Semangat..." Imbuhnya.

"Iya, Mas."

Ku letakkan ponselku di atas meja di depanku. Sepertinya tidak ada lagi balasan dari Mas Albab. Aku melanjutkan aktivitasku, pun mas Albab di sekolahnya. Kita sama-sama mendidik anak-anak yang bukan anak-anak kandung kami. Kita sama-sama melakukan suatu pekerjaan yang begitu menyenangkan, menenangkan. Seperti dawuh-dawuhnya kiaiku, pun kiainya mas Albab untuk bisa mengamalkan ilmu.

________________

Leave the Vote or Comment🤗



AINAUL MARDIYAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang