"Sudah berangkat, Na?"
Pagi-pagi sekali, pesan mas Albab sudah meramaikan ponselku. Kudapati ketika aku berniat melihat jam dan hendak pergi ke sekolah.
"Belum, ini siap-siap mau berangkat," balasku.
"Hati-hati di jalan, Na."
"Siap, Mas."
Ku matikan jaringan data seluler ponselku. Aku bersiap berangkat. Berpamitan pada ayah-ibu. Barangkali mas Albab membalas lagi chat-ku, pasti dia mendapati pesan ceklis satu.
Aku berangkat. Menyusuri jalanan kota yang ramai. Berlomba dengan pengendara lain. Motorku terhenti di beberapa lampu merah yang ku lewati. Pemandangan setiap hari yang kurasa tidak membosankan. Dan sepanjang jalan itu, pikiranku dipenuhi oleh satu nama, mas Albab. Dia yang mencoba masuk dalan kehidupanku lalu meyakinkan diriku. Dia yang sepertinya telah membuatku yakin dan 'mungkin' jatuh cinta. Aku tak mau menyimpulkan dengan cepat tentang perasaan ini. Yang pasti, aku telah merasakan sebuah kenyamanan entah harus ku namakan apa.
Setiap kali kami telepon atau chat, bahkan setelah dia bertamu ke rumahku, pertanyaan yang sering dia katakan adalah apakah aku sudah yakin dengannya.
"Mas orang yang baik. Untuk yakin, itu sangat mungkin. Tapi untuk sekarang aku mau kita saling mengenal dulu," kataku kala itu. Dan mas Albab pasti memaklumi.
Dulu aku punya beberapa kriteria bagaimana calon pendamping hidupku nanti dan beberapa hal sudah terwujud dalam diri mas Albab. Apakah memang dia jodohku? Atau hanya ujian yang dikirim Allah di tengah perjalananku merampungkan mimpi-mimpiku?
***
Pukul tujuh kurang sepuluh menit, aku baru saja sampai di sekolah. Perjalanan dua puluh menit tadi cukup membuatku lelah tapi itu sudah biasa. Dua puluh menit perjalanan berangkat dan dua puluh menit perjalanan pulang. Jadi aku menghabiskan kurang lebih empat puluh menit di jalanan. Hehe.
Kubuka ponselku dan ku nyalakan jaringan datanya. Sontak ponselku berdering-dering dan bergetar. Beberapa pesan dari grup-grup sekolah dan sudah pasti dari mas Albab. Dia hanya mengirim emoticon bentuk hati warna merah yang berdebar-debar. Hanya itu tapi mampu membuatku tersenyum.
"Mas sudah berangkat?" Balasku.
"Hari ini mas ziarah ke wali Madura dan Surabaya sama orang-orang sekolah jadi Ndak ada pembelajaran. Ini mas sudah di bis, perjalanan ke Madura."
"Wah, senengnya...."
"Suatu hari nanti ziarahnya sama kamu, Na."
Aku menatap sebentar layar ponselku. Membaca dalam hati pesan itu.
"Nanti ke makamnya Mbah Sunan Ampel, dong?" Aku bermaksud mengalihkan. Entah mengapa, setiap mas Albab mulai membicarakan masa depan kita, aku semakin takut. Takut akan sebuah kekecewaan pada akhirnya.
"Iya, Na. Itu nanti tujuan terakhir."
"Nitip doa, ya, Mas."
"Pasti, Na. Pasti."
Aku tak membalas apa-apa lagi karena bel sekolah baru saja berbunyi.
***
(Mengirim foto)
Satu jam yang lalu mas Albab mengirimiku foto yang baru kubuka karena sedari tadi aku tak sempat memegang ponsel.
Kuunduh foto itu. Tampak foto sebuah masjid yang sangat tak asing di mataku. Itu adalah foto masjid sunan Ampel. Dari foto itu, tampaknya mas Albab sedang beristirahat di serambi masjidnya.
"Sudah di Ampel, Mas?" Balasku. Tak ada balasan dari mas Albab. Mungkin dia sedang berada di makam atau sedang jalan-jalan. Aku meletakkan ponselku. Melanjutkan berpusing-pusing ria dengan beberapa kitab pesantren dan beberapa buku di hadapanku. Kopi susu favorit tak pernah absen di sampingku untuk membantuku melawan kantuk.
"Andai suamiku nanti orang yang paham kitab-kitab seperti ini, pasti aku tidak sepusing ini," hayalku.
Tak begitu lama, ponselku berdering tanda ada pesan whatsapp yang masuk.
"Iya, Na. Ini baru selesai dari makam. Nyantai-nyantai di serambi masjid Ampel."
"Ndak jalan-jalan, Mas?"
"Ndak, Na. Nanti sekalian jalan ke bis saja karena sudah capek banget."
"Oh, iya, Mas. Jangan capek-capek."
"Kamu mau oleh-oleh apa?"
"Ndak usah, Mas. Oleh-oleh doa saja. Hehe."
"Kalau itu sudah pasti. Bilang saja, Na. Mau oleh-oleh apa?"
"Ndak, Mas. Ndak usah."
"Yaudah, Mas persiapan kembali ke bis, Na. Habis ini perjalanan pulang"
"Iya, Mas. Hati-hati."
Pesan yang baru saja kukirim hanya bercentang biru, itu tandanya sudah dibaca oleh mas Albab tapi tak kunjung ada balasan. Sepertinya dia sudah melanjutkan perjalanannya.
Aku meletakkan ponselku. Kuminum kopiku yang tinggal setengah gelas. Lalu ku rapikan kitab dan buku-buku yang sedari tadi menemani malam syahduku. Tak lama kemudian tiba-tiba ponselku berbunyi lagi. Segera ku lihat pada sebuah pesan teratas.
"Kangen kamu, Na."
___________________________________
