Kopi Pertama Untukmu

0 0 0
                                    

"Aina..." Pesan itu kuterima setelah baru saja ku letakkan sapu di balik pintu dapur. Pesan pagi-pagi dari mas Albab.

Hari ini hari Minggu. Aku tak pergi ke sekolah, pun mas Albab.

"Iya?" Balasku.

Pesan yang kukirim berubah menjadi centang biru dengan cepat tapi tak ada balasan yang dikirim mas Albab. Aku meletakkan ponselku di atas kasur lalu kembali melanjutkan rutinitas hari libur, bersih-bersih rumah. Aku menuju taman kecil depan rumah, ada beberapa bunga di sana. Ada ayahku yang sudah asyik menata bunga-bunga kesayangannya. Juga Bunga yang baru ditanamnya. Ayah memang suka sekali dengan tanam-menanam. Sementara aku, ibu,  dan mas Sufyan hanya bisa membantu menyiram tanamannya setiap sore.

"Jadi, Na?" Tanya ayah tiba-tiba saat aku sudah siap menyiram tanaman-tanaman itu.

"Apanya, Yah?"

"Sufyan sudah cerita."

Deg! Jawaban singkat ayah membuatku langsung paham. Mas Sufyan pasti sudah menceritakan tentang mas Alba.

"Oh, temanku yang mau silaturahmi, Yah?" Aku memastikan. Ayah mengangguk.

"Belum tahu, Yah. Nanti kalau jadi, dia kasih kabar," kataku. "Memangnya boleh, Yah?" Imbuhku dengan agak takut dengan jawaban ayah nanti. Ayah menatapku dengan senyum kecil.

"Masa ada orang silaturahmi kita larang. Ya Ndak baik, toh."

"Hehe, iya, Yah." Aku lega mendengar jawaban ayah.

Aku kembali melakukan aktivitas di taman kecil itu bersama ayah. Sesekali kami ngobrol tentang masa kecilku, masa kecil mas Sufyan, juga tentang masa depanku nanti. Ayah memberikan nasehat-nasehat untukku, anak perempuan yang lebih dekat dengannya daripada ibu. Ya, aku sangat dekat dengan ayah.  Sementara mas Sufyan lebih dekat dengan ibu. Begitulah!

***

Baru saja aku keluar dari kamar mandi setelah tadi penuh keringat karena bersih-bersih rumah. Ku jatuhkan tubuhku di kasur. Kuambil ponsel di sisi kiriku. Mataku terbelalak melihat beberapa notifikasi panggilan tak terjawab dari mas Albab. Sedari tadi aku sibuk di taman jadi tak mendengar nada dering panggilan telepon dari ponselku.

"Maaf, Mas. Tadi aku bersih-bersih rumah jadi Ndak tau Mas telepon." Aku mengirim pesan balik. Belum ada balasan setelah itu, membuatku merasa agak tidak tenang.

Drtt... Drtt... Ponsel yang baru saja ku letakkan di kasur dengan sigap kuraih kembali. Panggilan telepon dari mas Albab. Segera kuangkat.

"Assalamualaikum," kataku sebagai pembuka

"Waalaikumussalam. Sudah selesai, Na, bersih-bersihnya?" Tanyanya di kejauhan sana.

"Sudah, Mas. Maaf tadi Ndak..."

"Ndak apa-apa, santai saja, Na. Aku yang minta maaf karena mengganggumu pagi-pagi," potong mas Albab padahal aku belum menyelesaikan kata-kataku.

"Ndak apa-apa, Mas."

"Nanti mas jadi ke rumahmu."

"Nanti, mas?"

"Iya. Insyaallah habis magrib sampai situ."

"Iya, Mas. Saya juga sudah bilang ke ayah ibu dan mereka mempersilahkan."

"Alhamdulillah," suara mas Albab terdengar bahagia. Aku ikut tersenyum tanpa dia ketahui.

"Iya, Mas."

Lalu kami ngobrol tentang ini itu. Tentang kesibukanku dan kesibukan mas Albab.

"Yang ngaji di rumah Mas, banyak toh?" Tanyaku.

AINAUL MARDIYAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang