"Hanya segitu yang kutahu. Aku tidak mengingat masa kecilku. Aku hanya sering mendengarnya dari cerita Bibi, Ayah dan Ibu. Mereka menganggapku terlalu jenius sampai melenceng. Padahal aku nggak ingat apa-apa. Begitulah."
Aether tertegun mendengar cerita barusan.
"Kau tidak mengingat masa kecilmu, sama sekali?"
"Ya. Sama sekali. Antara otakku yang buntu atau aku yang amnesia. Memori masa kanak-kanakku hilang begitu saja, nggak ada jejak yang bisa kuingat."
Sang pangeran pun terdiam beberapa detik. Mengubah posisi duduknya menjadi lebih nyaman, satu kaki berdiri kemudian satu tangan menumpu pada kaki itu. Pipinya pun bersandar pada tangan, menatap [N] lebih penasaran.
"Kalau masa remajamu?"
Si putri tidur terbungkam.
Memejamkan mata untuk beberapa detik.
"Bisa dibilang tidak terlalu menyenangkan."
Oh.
Aether memandang wajahnya, mencari kesedihan atau amarah, mencari setidaknya secuil emosi negatif yang sesuai perkataan [N] barusan. Namun nihil, seperti biasa, yang bisa ia dapatkan hanyalah kehampaan. Sebuah kepasrahan. Gadis ini seperti membiarkan dunia menindisnya, dan dia tetap takkan bertindak apa-apa.
Sebenarnya masih banyak masalah yang harus dibahas, masalah yang tambah berakar bahkan setelah [N] jujur menceritakan semuanya. Seperti perihal racun di malam pertama, kerjasama tokoh utama fanfic sebelumnya dengan Sembilan Menteri, alasan mengapa [N] bisa datang ke sini ... terlalu banyak untuk dicari dalam satu pikiran. Tidak seharusnya sang pangeran justru duduk disini, bersantai mendengar cerita dari pengembara dunia lain.
Namun ... dia tidak bisa beranjak.
Padahal baru dua minggu kedatangan [N]. Padahal baru kemarin-kemarin kedua tangannya mencoba memenggal kepala orang yang duduk di sampingnya ini. Padahal baru sebentar saja ia menjulukinya sebagai "Penyihir".
Padahal hanya dimulai dari satu malam, dimana mereka berbincang.
Tertidur.
Jalan di pasar bersama-sama.
Terbuka pada satu sama lain melalui keheningan.
Hanya baru hari ini, ia menghabiskan waktu dengan [N] untuk kedua kalinya.
Terus mengapa dirinya tak ingin pergi?
Ingin terus duduk semalaman, masuk angin besok pagi. Mendengarkan kisah hidup [N] yang tak ia sangka. Bertukar kata di lantai kayu yang dingin, merajut benang kedekatan tanpa tersadar disaksikan bintang. Bulan selalu cocok dengan [N], dan tatkala mereka berdua menguap nantinya, Aether tak masalah terlelap lagi menghadap atap taman tempat kenangan.
"Kalau boleh ... maukah kau menceritakannya padaku?"
Oleh karena itu dia tak berhenti di sana.
"Kalau kau tidak nyaman menceritakannya, tidak apa-apa. Bukan hal mendesak juga."
[N] membalas dengan menunduk. Berkata pelan, "Aku nggak masalah. Aku juga sudah terbiasa." Dia pun menghela napas, menatap Aether datar.
"Lagipula, aku sudah sering menghadapi orang sepertimu."
"Orang sepertiku?"
Tiba-tiba, [N] terlalu mendekat sehingga jarak wajah mereka menipis. Aether langsung membeku, kaget dan bingung disikapi seperti itu.
"Orang yang punya tatapan tertarik denganku."
Hening beberapa saat. Ekspresi datar [N] tak berubah, dan Aether tak sadar kedua pipinya sedikit memerah. Si putri tidur kembali menjauh, Aether pun kembali rileks. Namun saat tersadar akan kata-kata [N] barusan, ia pun terkejut untuk kedua kalinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
In Your Epoch | Abyss! Aether
FanfictionREWRITE version dari [I WANT A REDAMANCY]. - Bisa dibaca tanpa membaca versi lamanya - [N] = [Name] _____________________________ Sang Pangeran Abyss yang ditusuk dari berbagai arah, mencoba memimpin dan menyelamatkan Teyvat menurut pemikirannya. Di...