eleven - the time

477 96 13
                                    

Sakit.

Terlalu sakit.

Bukan hanya dadanya yang terasa perih menyengat, tetapi hatinya pula. Besi tajam dilengkapi oleh darah hitam, menembus masuk tertancap langsung pada perasaannya. Rasa sakit ini tidak sembarangan, ia melebar dan semakin berakar dalam hitungan milidetik saja. Seluruh tubuhmu seperti dibakar, setiap inci dari dagingmu seakan-akan ditarik paksa. Kepala rasanya ingin meledak, indra pendengaran dan lidah pengecap perlahan tak berfungsi. Tubuh menjadi berat, entah berapa lama lagi dia bisa tetap berdiri bergetar seperti ini.

Meski itulah rasa sakit paling parah yang dia alami, rasanya tidak sebanding.

Tidak sebanding akan kepahitan menatap orang yang menusuknya itu.

Warna emas di antara warna putih. Dingin takkan bisa menyaingi kehangatan yang pernah diberikannya. Dia selalu menganggap momen mereka spesial, penuh kebahagiaan mengubah dataran tandus bersalju ini menjadi seakan tanah yang subur. Setiap kata darinya selalu dia terima sepenuh hati, melelehkan batu emosi yang telah lama mengeras.

Namun waktu telah mengubahnya.

Tidak ada yang dapat menentang waktu, sekalipun dewi waktu itu sendiri.

Orang yang berada di depannya tidak lagi seperti yang dia kenal. Pandangan penuh amarah dan kebencian. Keinginan untuk balas dendam, dibutakan oleh keteguhan dan harapan yang beracun. Bahkan dicari serinci apa pun, takkan ada yang bisa mendapatkan secuil rasa penyesalan di matanya. Tangan itu tanpa rasa bersalah tetap tegak, menusuknya—yang mengundang sebuah janji mustahil.

"Aku akan menembus waktu, jika itu yang dibutuhkan untuk menghentikanmu."

...

..

.

"[N]!"

Kelopak matanya perlahan terbuka.

Hal pertama dilihatnya adalah wajah Aether yang memucat.

Suara nyaring itu terhenti, disusul oleh nada bahagia tersamar pelan.

"Haa ... syukurlah kau baik-baik saja ...."

Sebuah kelegaan besar langsung terlukis pada muka sang pangeran. Butuh beberapa detik untuk [N] bisa bergerak, tetapi dia telah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Kamar ini, kamar tidurnya. Yang berada di hadapannya adalah Aether, masih nampak cemas meski tidak separah yang tadi.

Dan terakhir, dia sempat mati.

"Aku mengira kau ... kau ...." Aether menghela napas berat, terduduk di bibir kasur dengan masam. Kepalanya tertunduk, keningnya berkeringat bersama napas yang telah terburu-buru. Ia terdiam dan memejamkan mata, mencoba menenangkan diri dari shock barusan.

[N] pelan-pelan bangun dan duduk, pergerakannya yang lembut tak disadari Aether. Ruangan ini tetap kosong, hanya ada dirinya dan sang pangeran yang tenggelam dalam lamunan. [N] ikutan termenung, memproses semuanya dalam semenit, kemudian berakhir menatap punggung Aether.

Ternyata begitu.

Kebenaran memang rumit.

Dan yang paling sering, tidaklah indah.

Tanpa ragu pun, dia mendekati si kakak dari Lumine—dan memeluknya dari belakang.

Namun di titik ini, bukanlah kesedihan atau amarah yang dirasakannya. Melainkan senang.

Ya, senang.

"[N]-[N] ...?" Tubuh Aether begitu kaku, ia tak berani berbalik. Barulah setelah [N] melepaskannya, pemuda itu otomatis melemparkan kebingungan. Cukup dengan alis yang menekuk, ia meminta penjelasan.

In Your Epoch | Abyss! AetherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang