4. KETAHUAN SATU KAMAR

1.2K 28 1
                                    

Mala mandi setelah tadi digendong Mardi ke kamar mandi. Benar-benar bahagia menggoda suami orang. Sensasinya berbeda menurut Mala. Terlebih Mardi manis dan kekar, makin membuat Mala berpikiran nakal.

"Gimana ya ... rasanya dada ini jika di-emut olehnya? Astaga! Pikiran apa ini!" Mala tersenyum sendiri sembari menepuk dahi. "Sudahlah! Lanjutkan mandimu, Mala. Hari makin malam. La ... la ... la ... " Mala bersenandung gembira.

Di luar kamar Mardi ditelepon istrinya. "Halo, Sinta. Ada apa?" tanya Mardi malas bicara dengan istrinya. Memang saat ini pikirannya dipenuhi Mala.

"Mas, kenapa ketus begitu sih? Aku merindukanmu!" Sinta berseru.

"Rindu juga harus lihat jam, Sinta. Ini jam sepuluh malam!" Mardi menjelaskan.

"Tapi aku rindu kamu, Mas--"

"Halah! Tidak usah banyak bicara kamu. Yang jelas uang bulanan lancar sudah aman, bukan? Jangan banyak menentang!" Mardi kurang suka direcoki oleh Sinta.

"Mas, aku datang kesana ya? Aku rindu, Mas." Memelas Sinta. Khawatir suaminya tergoda oleh Mala.

"Jangan ngawur kamu! Ibumu sakit. Lagipula jarak antara kota Malang dan Surabaya tidak dekat. Kau di rumah saja jaga orangtuamu. Jangan menuruti kemauan bebalmu! Malas aku bicara dengan istri yang sukanya menentang kayak kamu. Kalau masih banyak tuntutan akan aku blokir nomor kamu!" Mardi mengancam Sinta.

"Mas ... Mas tergoda oleh Bu Mala, bukan? Mas pacaran dengannya bukan? Ingat, Mas. Bu Mala istrinya Pak Boni. Aku sendiri adalah istri Mas. Ingat, Mas. Sadar ..." Sinta tak habis pikir tentang suaminya.

"Semakin kurang ajar kamu, ya! Berani menuduh Mas macam-macam. Baiklah! Memang lebih baik nomor mu aku blokir. Bye!" Mardi mematikan sambungan telepon dan langsung memblokir nomor Sinta.

Mala yang baru keluar dari kamar mandi, heran menatap Mardi. "Ada apa, Pak? Sepertinya kesal sekali?" Mala meski tahu Mardi bermasalah dengan istrinya, pura-pura tidak tahu dan bertanya. Padahal barusan Mala mendengar dari balik pintu kamar mandi ketika Mardi bertengkar dengan Sinta.

"Istri saya, Bu. Banyak menuntut. Heran kenapa dia tidak bisa seperti Ibu yang apa-apa sendiri. Tidak dibantu suami. Andai istri saya adalah Anda, Bu." Mardi menggerutu sekaligus nafsu melihat badan wangi dan bersih Mala.

"Kamu ini ada-ada saja, Pak. Oh ya! Terima kasih sudah membantu Saya selama ini." Mala kembali beraksi senang dipuji Mardi.

"Sama-sama, Bu Mala. Senang bisa meringankan beban Bu Mala. Bagaimana tadi? Apakah sudah agak baikan kakinya? Kalau belum biar Saya pijat, Bu." Mardi memegang kedua bahu Mala.

Entah kenapa Mala sangat bahagia diperlakukan demikian oleh Mardi. Selama tiga tahun ini tidak diperhatikan suami.

"Oh ... sudah agak baikan, Pak Mardi. Terima kasih," lirih Mala.

"Saya sangat kesal saat ini, Bu Mala. Bisa minta bantuan Bu Mala untuk menyenangkan Saya?" Mardi mulai menggunakan aksinya merayu Mala.

"Caranya, Pak?" Mala kebingungan menatap Mardi.

"Biarkan saya memeluk Ibu Mala meski hanya sebentar saja. Jujur Saya menyukai Ibu Mala sejak dulu," jujur Mardi membuat hati Mala berdebar kencang karena malu. Bagaimana bisa pria yang sangat dicintai Sinta ternyata sangat mencintainya. Mala besar kepala.

"Tapi, Pak. Saya istrinya orang loh." Mala salah tingkah ditatap dalam-dalam oleh Mardi.

"Saya tahu, Ibu. Makanya meminta izin." Mardi menunduk memandangi tangan Mala yang mungil mulus.

"Em ... bagaimana ya?" Mala bimbang antara mau dan takut.

"Sebentar saja. Toh Bapak tidak akan tahu. Beliau tidur di kamar dan tidak bisa bangun," jelas Mardi.

BUKAN MAUKU MEREBUT SUAMIMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang