#16 Apartemen

2 1 0
                                    

"Kamu sudah mulai kuliah kan?" ucap Ayahnya ketika Nadia dan ayahnya sedang makan malam di rumah mereka yang sunyi. Nadia hanya membalas pertanyaan ayahnya dengan anggukan.

"Kalau gitu mulai besok, kamu tinggal di apartemen aja ya," ucap Ayahnya. Nadia terdiam, sebelum akhirnya tersenyum miris, "Kenapa? keluarga baru Ayah mau nempatin rumah ini?"

"Iya," ucap Ayahnya tenang, seakan itu hal paling wajar sedunia.

Nadia mendengus, "Dulu Ayah ngusir Kak Raka, sekarang giliran aku yang diusir?"

Ayah Nadia menyesap kopinya pelan, seakan tidak terganggu sama sekali dengan sindiran Nadia, "Terserah kamu mau mikir apa soal Ayah. Ayah udah biayain sekolah kamu. Ayah udah ngasih kamu tempat tinggal. Wajar kan anak kuliah tinggal di apartemen dan bukan di rumah?"

"Yaudah, emang dari awal aku udah ngga tahan serumah sama Ayah,"

"Bagus kalo gitu, Ayah kasih waktu kamu 1 minggu untuk packing barang kamu," Ucap Ayahnya lalu pergi meninggalkan Nadia menuju kamarnya.

Nadia sebenarnya senang karena sudah tidak harus tinggal seatap dengan Ayahnya lagi, tapi di sisi lain, Nadia sedih. Rumah ini menyimpan banyak kenangan bersama Ibunya. 

Tembok yang terdapat coretan untuk mengukur tingginya dan tinggi kakaknya ketika masih kecil.

Tanaman yang sering dirawat Ibunya.

Furnitur rumah yang sangat sesuai dengan selera Ibunya.

Bahkan celemek yang sering dipakai Ibunya ketika memasak masih tersimpan rapi di lemari.

Lalu kamar Nadia. Meskipun itu kamar Nadia, Ibunya sangat sering berada di kamarnya sehingga setiap sudut kamar itu meninggalkan berbagai macam memori tentang Ibunya.

Sofa di pojok kamar tempat Ibu biasanya merajut ketika Nadia sedang mengerjakan tugas.

Kasur tempat ia dan Ibunya tidur siang bareng.

Meja belajar tempat Ibunya biasa membantu Nadia mengerjakan PR nya.

Memori memori itu membuat Nadia semakin disekap rasa rindu. Sekarang aku harus pergi dari tempat ini Bu. Ucapnya dalam hati, lalu air mata pun mengalir dari matanya.

***

"Kamu packing untuk apa sih? Mau keluar kota?" tanya Chandra. Saat ini Nadia dan Chandra sedang telfonan, Chandra sebenernya pengen langsung ngapel ke rumah Nadia cuma Nadia menolak dengan alasan sibuk packing.

"Hari minggu nanti kamu sibuk ngga?" Nadia bukannya menjawab pertanyaan Chandra, ia justru bertanya balik. 

"Ngga sih, kenapa?"

"Bantuin aku pindahan ke apartemen ya,"

"Kamu pindah dari rumah?"

"Iya, biar lebih deket dari kampus aja,"

"Oh oke... Bukan karena di rumah ada masalah kan?" tanya Chandra, kentara sekali berusaha terlihat berhati-hati dalam menyampaikan perkataannya.

Nadia tersenyum tipis, "Ngga kok, emang udah waktunya aku tinggal sendiri aja,"

Chandra mengangguk, "Oke kalo gitu,"

"Jadi bisa bantuin aku pindah ngga?" tanya Nadia memastikan.

"Ya bisa dong sayang,"

Muka Nadia langsung memerah karena ucapan sayang mendadak dari Chandra, "Apaan deh ngga usah nyebut nyebut sayang gitu,"

"Ya kalo emang sayang gimana dong?"

"Yaudah deh terserah,"

"Kamu juga coba dong,"

"Apaan?"

"Coba ngomong sayang gitu,"

"Ngga ah malu,"

"Kamu malu sayang sama aku?"

"Ngga gitu ihh Chandra!" ucap Nadia mulai salah tingkah sendiri. Chandra hanya tertawa. "Iya deh iya ngga maksa. Yaudah sampe ketemu hari minggu yaa,"

"Iyaa," jawab Nadia lalu memutus sambungan telfon, masih dengan wajah merona karena salah tingkah.

***

Hari ini hari minggu. Chandra membantu Nadia untuk pindah ke apartemennya, setelah beres-beres, dan memindahkan semua barang pada tempatnya, mereka lalu duduk di sofa di tengah apartemen Nadia. Nadia menyandarkan kepalanya di bahu Chandra.

"Chandra,"

"Hm?"

"Makasih udah bantuin pindah pindah,"

"Sama-sama sayang,"

"Chan,"

"Iya?"

"Makasih udah bikin aku ngerasa disayang," ucapan Nadia membuat Chandra tersenyum lalu membelai kepala Nadia lembut.

"Makasih juga udah bolehin aku masuk ke hidup kamu,"

"Kamu mau tau sesuatu ngga?"

"Apa itu?"

"Sebenernya sebelum kamu ngajak aku kenalan, aku udah sering liat kamu,"

"Oh ya?"

Nadia mengangguk.

"Kok bisa?" tanya Chandra.

"Ibu aku kan pemilik tempat taekwondo itu makanya aku sering banget disana. Aku bisa jadi orang paling awal yang datang dan orang paling akhir yang pulang,"

"..."

"Setiap hari aku merhatiin orang-orang yang pulang pergi. Ada anak kecil yang dijemput orang tuanya, ada anak SMP yang pergi bareng temen-temennya, ada atlet yang lagi sparring sama temen sesama atletnya, kadang ngeliat itu semua bikin aku iri. Aku selalu kepikiran gimana ya rasanya disayangin kayak gitu? gimana rasanya punya temen akrab kayak gitu?"

"..."

"Setelah ada kamu aku bisa ngerasain semuanya, makasih ya Chandra," ucap Nadia sambil menoleh ke arah Chandra yang kini sedang menatap ke arahnya. Sejenak ada hening di antara mereka sebelum akhirnya Nadia kembali bersuara, "Kenapa ngeliatin aku kayak gitu banget?"

"Kamu cantik," ucapan Chandra sukses membuat rona merah di wajah Nadia.

"Apaan sih," ucap Nadia berusaha memutus kontak matanya dengan Chandra, kentara sekali terlihat salah tingkah.

"Nadia," panggil Chandra lembut.

"Hm?"

"Salah ngga ya kalo aku ngerasa pengen cium kamu sekarang?"

Nadia berdehem canggung, merasa salah tingkah sekaligus merona di saat bersamaan. "Kenapa salah? aku kan pacar kamu," ucap Nadia pelan. Ucapan Nadia membuat Chandra menjemput bibir cewek itu dengan bibirnya. Nadia tidak tau kalau ia akan sangat menyukai momen ketika Chandra menciumnya. Karena ketika Chandra menciumnya, Nadia tidak bisa memikirkan apapun, dan itu ampuh untuk mengusir segala kenangan buruk dan pikiran negatif dari kepala Nadia. Nadia sudah jatuh terlalu dalam untuk Chandra, dan Nadia tidak pernah keberatan akan hal itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Only YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang