Hujan turun membasahi tanah dengan deras. Malam itu, Kaluna keluar dari rumah dengan perasaan kecewa, buru-buru masuk kedalam mobil kemudian menancapkan gas secepat mungkin. Dirinya tak tahu harus kemana, buta tujuan, ditambah lagi dadanya yang sesak karna baru tau fakta tentang keluarganya yang disembunyikan.
Dirinya sendirian. Tidak ada tempat untuknya berpulang sekalipun Karel yang berstatus sebagai kekasihnya.
Rumah megah sekalipun kalau tidak ada keharmonisan didalamnya, percuma saja. Penghuninya menjalani kehidupan masing-masing, tak peduli apa yang sedang dilakukan si A ataupun si B.
Kaluna mencengkram kuat setirnya sesekali memukul, mengutarakan perasaannya sekarang. Mobilnya melaju kencang menerobos jalanan yang sepi terguyur hujan.
Sekali lagi, untuk terakhir kalinya. Kaluna ingin memenuhi otaknya dengan bahagia keluarganya yang sudah lama hilang sebelum fakta jika orang tuanya sudah lama bercerai... Padahal hari ini, Kaluna sudah bersusah payah untuk merencanakan ulang tahunnya sendiri sekalipun orang tuanya tidak ingat.
Sampai di malam ini, Kaluna harus menghancurkan kue ulangtahun nya sendiri kala melihat ayah dan ibunya yang bertengkar hebat dengan sebuah kertas ditangan mereka masing-masing.
“Ayah biadab macam kamu ga pantas dapet hak asuh Kaluna!”
“Kaluna anak saya, saya yang berhak mengurusnya.”
“Mau gimana kamu ngurusnya kalau masih mementingkan pekerjaan?!! Dibiarkan dia sendirian di kamar nya tanpa kamu disampingnya yang seharusnya selalu ada??”
“Apa bedanya sama kamu yang selalu sibuk sama selingkuhan?! Kurang apa saya sama Kaluna sampai kamu tega menduakan kami?!!”
Kue ditangan Kaluna jatuh begitu saja bersamaan dengan teriakan Kaluna yang menggelar, memecahkan fokus kedua orangtuanya. Sang ibu bergerak untuk mendekati putrinya, mencoba untuk menenangkannya.
“Kaluna? Sayang??”
Bahu Kaluna digoyangkan sampai sang empu sadar, ia menepis tangan sang ibu di bahunya lalu berdiri.
“Luna... Kok kue nya dijatuhin? Kamu hari ini ulang tahun ya? Maafin papa ya, Luna mau apa dari papa, hm?”
Bibir Kaluna bergetar, air matanya tidak bisa ia bendungi sekarang. Dengan berani Kaluna rampas kertas yang dipegang oleh kedua orangtuanya lalu menyobeknya.
Kaluna menjambak rambutnya sendiri kemudian berteriak lagi, sang ibu mencoba menenangkan Kaluna yang susah kendali. Sedangkan si ayah mengambil botol kecil berwarna putih berisikan obat yang biasanya Kaluna konsumsi jika penyakit Kaluna kambuh.
Susah payah keduanya mencoba untuk mengunci pergerakan Kaluna yang semakin brutal sekarang, teriakannya menguar bersamaan dengan suara hujan yang turun.
“Maafin papa, Luna...”
Kaluna berdiri, menepis genggaman erat dikedua tangannya sambil mengusap pipinya yang basah lalu tertawa kecil...
“Keliatannya cuma aku disini yang bodoh, cuma aku yang gatau apa-apa. Ternyata kita sama-sama diem itu karna udah masing-masing, iya kan pa? ma? Aku mati-matian untuk gak ikut campur sama masalah yang kalian simpan! Ternyata ini masalahnya, ya?” Kaluna tersenyum