Prue menoleh kaget begitu mendengar suara loyang berjatuhan dari dapur. Setelah pelanggannya pergi, Prue segera ke dapur untuk memeriksa.
"Kau baik-baik saja?" tanya Prue melihat Ny. Sullivan duduk di kursi sambil menundukkan kepalanya.
"Tidak apa-apa," jawab Tn. Sullivan yang sedang merapikan adonan roti yang berserakan di lantai. "Prue, bisakah kau beres-beres di luar? Kurasa kita harus menutup toko lebih cepat. Aku harus mengantar istriku ke dokter."
"Baiklah."
Prue segera pergi untuk membalik tulisan TUTUP di pintu dan mulai berbenah. Tak lama kemudian Tn. Sullivan keluar sambil memapah istrinya.
"Bawa saja semua roti yang belum terjual. Aku sudah mematikan pemanggang dan merapikan dapur, jadi nanti kau tinggal mengunci pintunya saja," kata Tn. Sullivan sambil menyerahkan kunci toko pada Prue.
Sebenarnya Prue merasa kasihan pada pasangan Sullivan. Mereka sudah hampir berusia tujuh puluh tahun, tetapi masih bekerja keras setiap hari. Selama bekerja di sini, tidak pernah sekali pun suami istri itu libur kecuali di hari Minggu, atau hari Natal. Meski begitu, mau tidak mau Prue merasa senang karena ia bisa beristirahat sebentar sebelum pergi bekerja paruh waktunya nanti.
"Kau sudah makan siang?" tanya Shane yang datang untuk membantu Prue membawa sisa roti.
Prue menggeleng. Shane segera membuatkan pasta krim udang dan roti bawang sebagai pendamping. Ia ikut duduk bersama Prue setelah menaruh roti-roti yang dibawanya dari toko tadi di etalase. Shane berencana untuk menjualnya dan memberikan uang penjualannya kepada Tn. Sullivan nanti.
"Kudengar akhir-akhir ini Ny. Sullivan sering merasa sakit di dadanya. Semoga dia baik-baik saja," kata Shane.
Prue mengangguk sementara mulutnya penuh dengan pasta. Ia melirik ke pintu kafe yang terbuka, dan melihat Ken masuk dengan sweater hijau, membuat Prue menelan pastanya ke saluran yang salah. Ia langsung tersedak, sementara Shane menyodorkan minuman soda ke arahnya sambil menepuk-nepuk punggungnya.
"Apa yang—" Shane langsung tahu apa yang membuat Prue terkejut begitu Ken tiba di depan meja mereka.
"Tokomu tutup saat aku ke sana barusan," kata Ken pada Prue.
Shane menatap Prue dan Ken bergantian. Ia bimbang, apakah di saat seperti ini ia harus bersikap seperti pemilik kafe yang baik, atau melindungi Prue.
"Aku baik-baik saja," kata Prue dengan suara parau sambil menepuk tangan Shane. Pria itu bangkit dari kursinya.
"Apa kau ingin memesan sesuatu?" tanya Shane pada Ken.
Ken menoleh ke arah Shane, seolah-olah dia baru menyadari kehadiran pria itu di sana. "Aku... kopi saja. Terima kasih."
Shane pergi untuk membuatkan minuman, sementara Ken duduk di depan Prue.
"Kukira kau mengatakan tidak punya waktu untuk makan siang," kata Ken tanpa berbasa-basi. "Lihatlah kau, duduk dengan santai di sini."
"Kukira kau tidak akan mendatangiku ke tempat kerjaku lagi," balas Prue sambil menyodorkan piring berisi roti bawang ke arah Ken.
"Kau memblokirku! Bagaimana aku bisa bicara padamu tanpa bertemu langsung denganmu?"
"Oh ya? Aku tidak ingat melakukannya." Prue mengeluarkan ponselnya dan pura-pura melihat kontaknya. "Oh, ternyata kau benar. Mungkin aku pernah tidak sengaja menekan tombol blokir."
"Kau sudah tidak memblokirku?" tanya Ken. Prue mengangguk. "Mana buktinya?"
Prue menunjukkan layar ponselnya pada Ken. Karena masih sangsi, pria itu membuktikannya sendiri dengan mencoba menelepon Prue. Prue menggeleng-gelengkan kepala sambil menyimpan ponselnya kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sour Grapes
RomancePrue harus menjadi ibu tunggal di usianya yang baru 22 tahun. Ia meninggalkan keluarganya, teman-temannya, dan masa lalunya, kemudian membawa putra satu-satunya ke Bruton untuk memulai kehidupan baru. Suatu hari Ken, senior di kampus yang pernah mew...