11.

2.5K 199 22
                                    

11. Her

.

Sepulangnya dari angkringan tadi, aku dan Danish langsung tancap gas menuju rumahku. Jam sudah menunjukan pukul sembilan malam. Sedikit lagi sudah hampir mendekati jam malamku.

Ugh, siapa lagi yang mengusulkan hal-hal aneh seperti itu pada Mama dan Papaku selain Afdan, kakakku yang lebaynya minta ampun itu?

Padahal, Papa yang galak saja tidak berlebihan seperti dia. Kadang aku pernah bertanya-tanya dalam pikiranku, apa jangan-jangan Afdan itu sama seperti Jihan, terkena sister-complex?

Dan semakin aku memikirkannya lagi, semakin tersenyum pahitlah aku.

Begini, kakak laki-lakinya Jihan itu walaupun menyebalkan tapi dia ganteng. Jadi wajar Jihan baper dengan kakaknya, 'kan?

Sedangkan aku dibanding Afdan ... hiks, bagai kucing dan harimau. Dalam kasus ini Afdan kucing dan harimaunya, sementara aku hanya kotoran mereka. Sedih.

Jadi, Afdan tidak mungkin sister-complex. Dia pasti hanya terlalu sayang denganku.

Omong-omong, aku merasa bersyukur kalau ternyata dia ini bukan mimpi. Ya, lagipula kalaupun ini mimpi, 'kan tidak lucu banget kalo sekarang aku hampir aja terjatuh dari motor saking gengsinya nggak mau megang dia. Mana jalannya rusak dan banyak polisi tidur pula.

Jadi, ini sudah pasti seratus persen bukan mimpi karena aku benar-benar hampir jatuh sekarang. Camkan itu, oke?

"Bisa nyetir gak sih, Mas? Lelah aing nih gradak-grudukan terus!" Jeritku dan spontan langsung mencengkram jaketnya begitu roda motornya dengan ekstrim menyentuh polisi tidur.

Dia menatapku dengan tatapan konyol dari kaca spion yang sumpah, pasti yang melihat bakal keki setengah mati.

"Lagian, disuruh pegangan malah ngeyel. Salah sendiri." Katanya.

UGH KESEL.

Please, ingetin aku untuk menonjok wajah songongnya begitu turun dari Fiona sialan ini.

"Najis banget lo modus mulu, dasar playboy cap kaki kelinci!" Aku tetap bersikukuh enggan memeluk dia lagi. Lagipula, kalaupun aku suka dia, memeluk dia itu namanya menjatuhkan harga diriku 'kan?

Yang namanya perempuan itu harus menjunjung tinggi kegengsian.

Dan aku adalah salah satu perempuan yang paling ogah melakukan hal yang namanya first move, oke? Gengsiku terlalu tinggi untuk mengemis cinta.

Dia mendengus kecil. "Siapa bilang gue playboy? Sotoy banget lo!"

Aku melototi dia lewat kaca spion, yang untungnya sekarang sedang agak macet di daerah Joglo, jadi dia memperlambat laju motornya. "Ya gue lah yang bilang, Danish. 'Kan cuma ada kita berdua!"

Sungguh, kata kita itu sangat ambigu untukku.

"Kenapa bisa menyimpulkan begitu? Lo nge-stalk ask.fm gue? Atau stalk twitter gue? Lo suka sama gue?" Tanyanya sewot dengan membabi buta.

Sumpah, satupun dari pertanyaannya tidak ada yang benar. Sampai aku mendengar pertanyaan terakhir, lidahku terasa kelu. Aku ... suka sama dia?

HIH. NAJIS.

BIG NO.

"You wish!" Jawabku dengan sewot pula.

Dan pertengkaran absurd itu berlanjut hingga ... entah sampai kapan.

.

Setelah berterima kasih dan adu argumen lagi sebentar, aku langsung berbalik dan berjalan menuju rumahku. Karena serius, kalau melihat wajahnya itu terus-menerus, aku yakin seratus persen bakalan ada dua kemungkinan yang terjadi.

SleepaholicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang