19.

1.9K 164 1
                                    

19. Her

.

Ada dua jenis cara tidur dalam suatu pelajaran yang biasa di temukan di setiap kelas. Pertama, kalian memilih duduk di pojok belakang dan tertidur dengan damai tanpa gangguan—tanpa ketahuan, pula. Dan kedua, ketika kalian duduk di barisan ketiga dari depan di bangku pojok kanan tepat di depan meja guru dan dengan nekat tertidur, apalagi di saat jam pelajaran Pak Raharjo.

Ya, opsi kedua itulah yang aku lakukan sekarang.

Aku menelungkupkan wajahku di atas lekukan tangan yang menyilang dan memosisikan diri seakan aku tertidur nyenyak. Tapi serius, percayalah bahwa sejak tadi aku gak tertidur sama sekali. Aku hanya merebahkan kepalaku sambil berpikir.

Berpikir bagaimana jika di dunia ini tidak perlu tercipta benda bernama bel dan berpikir bagaimana jika di dunia ini tidak terlahir manusia bernama Ujang Suyoto si guru piket hari ini yang harus membunyikan bel.

Kalian tau? Itu mungkin akan sangat menyenangkan.

Aku menggeser sedikit wajahku ke arah kiri dan mendapati wajah dia yang seperti biasa, serius memerhatikan apa yang disampaikan oleh guru manapun, apalagi ini Raharjo dan matematika yang sangat dia puja.

Danish menyukai matematika, kalau kalian mau tau.

Aku jadi bingung sekarang. Kenapa aku tidak mengiyakan pertanyaannya tempo hari.

Belaian pelan di punggungku membuatku terkesiap dan dengan cepat langsung berbalik ke arah si penyentuh. Wajah Jihan terlihat dengan senyum tipis yang menghiasinya.

"Lo tidur?" Dia bertanya.

Aku menggeleng, "Nggak, Jih. Lo tau? Gue bahkan nggak bisa memejamkan mata gue hanya untuk semenit!" Sergahku kemudian, membuat Jihan menggelengkan kepalanya.

Padahal aku nggak merasa sedang melawak.

"Hiperbola banget lo, Nin," Kata Jihan sambil terkekeh pelan.

Oh, tentu saja dia harus terkekeh dengan pelan. Karena kalian tau 'kan, guru matematika itu seperti apa?

Aku memutar mata. "Lo gak ngerasain penderitaan gue sih, Jih. Kalo lo ngerasain, lo akan amat sangat tersiksa." Jawabku kemudian lalu menghela nafas panjang.

"Apalagi saat lo mikir, kenapa bisa lo nolak cowok yang jelas-jelas lo suka." Tambahku sambil melirik ke arah dia yang sukses membuat Jihan terdiam seribu bahasa.

.

"Lo terlihat mengerikan."

"Yeah, dan lo adalah orang ke sembilan yang mengatakan kalimat sialan itu."

Hari ini Mella memutuskan menginap di rumahku untuk sekadar curhat-curhat ceriwis tentang cowok yang dia suka. Tapi tampaknya, temanku yang satu itu bahkan tidak mau membahas masalahnya sekarang.

Jujurnya, aku mencurigai satu kandidat cowok yang memungkinkan untuk ditaksir Carmella Orianda, temanku ini. Tapi sayangnya, aku langsung menepis jauh-jauh mengingat cowok yang terpikir di otak-ku adalah cowok yang paling dibenci dan dihindari Mella.

Oke, sepertinya aku dan Mella sama aja, 'kan?

Sama-sama cewek galau.

Mella menepuk pundak-ku, "Kita harus maskeran, dan pake ketimun. Gue tau, lo yang tukang tidur ini, jadi nggak bisa tidur karena insiden penolakan Danish."

Dan begitu aku mengangguk mengiyakan, Mella langsung tersenyum lebar dan ngibrit lari ke arah dapur, yang terpaksa harus ku ikuti. Untungnya, Afdan sedang menggalau di kamarnya. Jadi, kakakku itu tidak perlu melihat tingkah konyol Mella yang biasanya selalu nampak seram dan judes di mata anak SMA Nusantara Satu.

SleepaholicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang