23.

1.7K 145 7
                                    

23. Her

.

Tak ada yang menyadari apa yang aku rasakan saat ini. Rasanya seperti dibiarkan terbang mengelilingi gunung Harvest tapi setelah itu dihempaskan hingga ke tengah samudra pasifik

Menyedihkan? Memang.

Aku tidak melakukan apapun saat mendengar pernyataan Niel yang entah keceplosan atau memang dia sengaja membuatku dalam titik tergalau seumur hidup atau apa. Tapi, yang jelas, dia mengatakan bahwa Danish akan segera pergi setelah lulus dari SMA. Tidak tanggung-tanggung, ke luar ngeri pula!

"Jadi ... kenapa lo tegang gitu? Kayak orang abis di text setan aja." ceplosku asal sambil terkekeh begitu melihat wajah Nathaniel Fransiscus, salah satu temanku sejak SMP itu memandang ponselnya dengan pandangan kalut setengah mati.

Niel memandangku, kemudian berdehem pelan. "Nggak ada setan yang bisa nge-text, Aranina."

"Mungkin, setannya udah modern." tandasku tidak mau kalah.

Aku mengalihkan pandangan ke arah seluruh ruangan bercat merah muda pudar yang kini sedang aku datangi--yang sangat padat, dan aku pusing karena itu ditambah Rana, sahabatku masa SMP belum hadir membuatku bosan dan memilih untuk menjarah makanan habis-habisan. Ruangan ini adalah aula SMP kami dulu, kebetulan angkatanku dan Niel sedang mengadakan reuni kecil-kecilan.

"Bangke! Setannya itu cowok lo itu, Nin," umpatnya pelan. "Gue nggak ngira dia tega bakal ninggal kita segampang itu."

Alisku lantas bertaut, "Maksud lo apa dengan ninggal?"

"Dia bakal kuliah di Singapura, dia bakal balik."

Saat aku kembali memejamkan mata, yang keluar hanyalah rembesan air mataku yang kini sudah membasahi bantal.

Aku bahkan tidak tau bagaimana rupaku saat ini. Lupakan saja ketimun sialan dan masker wajahnya.

Dan yang sekarang kulakukan hanyalah menangis sejadi-jadinya di atas bantal putih milikku. Aku tidak tau sudah berapa lama air mataku merembes keluar seperti aliran kran begini. Tapi yang jelas, hal yang kuinginkan untuk saat ini adalah menangis sepuas-puasnya.

Sialan, aku tidak tau rasanya sesakit ini. Dadaku serasa ingin bolong karena sesak.

"Nin," teguran itu sontak membuatku menoleh ke arah si pemanggil. Tapi yang kulihat hanyalah Afdan yang berdiri di ambang pintu kamarku seolah dia pawang pintu atau apa.

Aku tidak bergeming dari kegiatanku dan kembali menenggelamkan wajah pada bantal putih tersebut, masih terisak pada tangis yang terdengar memilukan bahkan di telingaku sendiri.

"Udah dong, jangan nangis terus." suara Afdan terdengar sedikit meringis, "dua jam lo nangis kayak gitu, Nin."

"Bodo!" sergahku cepat, memalingkan wajah ke arah apapun selain wajah kakakku. "Lo nggak tau kalo rasanya itu sangat-sangat sakit." jelasku lagi, dengan perkataan gamblang.

Afdan menghela nafasnya. "Yah, gue tau. Lo selalu bilang tentang dada bolong, dada nyesek, dada tepos, atau apalah."

"KAK AFDAN!" aku menjerit, kontan melempar bantal basah yang sejak tadi aku peluk dengan penuh kesedihan itu ke arah wajah Afdan yang sangat menjengkelkan.

"Iya, sori. Kelepasan."

"Nggak lucu lo anjir," aku mendecak kesal. Ayolah, aku tengah galau begini dan dia seenaknya mengajakku bercanda seperti tadi. Itu benar-benar menyebalkan, kalau kalian mau tau.

SleepaholicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang