Apartemen

1.3K 21 0
                                    

"Mas Seno." Teriak Sasa dari dalam kamar mandi.

Seno yang berada di kamar mendengar itu dan menjawab. "Ya,"

"Mas Seno, ini bajunya kebesaran. Ada baju Mas Seno yang lebih kecil." Jelas Sasa meminta baju lain.

Seno sibuk membongkar kembali lemarinya. Mencari baju ukuran kecil yang di minta Sasa. Tapi, Seno tidak mendapatkan itu karena postur badannya yang besar membuat semua pakaiannya besar di badan Sasa yang mungil. "Tidak ada Sa."

"Yah udah, Mas." Teriak Sasa lagi. Sasa memutuskan untuk keluar kamar mandi menggunakan baju kaos putih Mas Seno yang sangat kebesaran di badan mungilnya.

Apa yang pertama di dapat Sasa saat keluar kamar mandi. Yaitu mata Mas Seno yang menatapnya aneh. "Mas." Seno kaget dengan panggil itu. "Laundry roomnya dimana Mas?"

Dengan salah tingkah Seno mengaruk kepalanya yang tidak gatal. "Di samping sini." Ajaknya untuk mengikutinya. Seno menyalahkan bajunya, yah membuat pikiran gilanya kemana-mana. Bagaimana tidak Sasa di balut baju itu menonjolkan semua yang sungguh menaikan gairahnya. Seno tahu benar bahwa di balik kaosnya tidak ada apapun penghalang disana. Terlihat dari beberapa kali tonjolan kecil itu menyuarakan dirinya. 'ku disini.' Mengundang Seno untuk menjamanya. "Ini." Tunjuk Seno pada ruangan kecil yang cuman di isi oleh satu mencuci dan disampingnya ada jemuran kecil. Seno Mencoba berpikir jernih dan mengsugesti dirinya bawah gadis kecil yang ada di hadapannya adalah adik sahabatnya.
"Sudah nyuci ke bawah." Pesan Seno sebelum akhirnya berlalu ke lantai bawah.

"Iya Mas." Jawab Sasa sambil memasukan semua bajunya ke dalam mesin cuci. Sebenarnya Sasa sangat risih dengan apa yang di pakainya di depan Mas Seno tapi, mau bagaimana lagi semua bajunya basah tidak tersisa. Memikirkan ini dan itu sungguh membuat Sasa pusing sendiri dia mulai bersin-bersin, mengigil dan kepalanya pusing. Mungkin pengaruh hujan. Sasa tidak tahu sedahsyat ini pengaruh hujan pada tubuhnya. Butuh beberapa menit baju sudah tergiling sempurna dan menjemurnya setelah kering setengah.

Sasa menyelesaikan semuanya dengan cepat. Lalu ke bawah sesuai perintah Mas Seno. Sebelumnya Sasa juga sudah mengirimkan pesan kepada Kakaknya Satrio bawah dirinya berada di apartemenp Mas Seno dan juga menjelaskan kenapa dirinya disini.

Apartemen mewah yang di tinggalin oleh Seno sungguh tidak meninggalkan jejak apapun. Maksudnya semua bersih tanpa celah. Sasa tahu kalo cuman Seno yang tinggal disini tapi, tertatap rapih bisa di maklumin namun, jika bersih ke bangetan Sasa tentu terkejut. Sasa sudah memeriksanya dan tetap saja Sasa terkejut. Karena bagaimam bisa serapih ini. Jangan tanya kamarnya yang tiap pagi membuat kepala Mamanya sakit karena kotor dan beberapa barang tidak berada di tempatnya.

"Sa." Panggilan itu membuat Sasa yang senyum sendiri turun dari tangga. Menengok ke sumber yang memanggil dan mendapatin di bar mini terdapat mie kuah yang masih mengeluarkan asapnya. "Sini."

Perpanduan yang pas bukan hanya mienya yang siap di nikmati Sasa tapi, juga pemandangan pria dewasa yang sibuk di dapur mondar-mandir adalah hal sempurna. "Mas, masak?" Sasa duduk di kursi mini bar yang tinggi dengan susah payah lalu bertanya.

"Hm." Sebuah deheman itu tentu menjadi jawaban sekaligus pembicaraan yang akan usai. Bukan tidak mau bicara hanya Sasa sedikit takut memulai dari mana pembicaraan. Apalagi saat mendengar jawaban Mas Seno tentu membuat nyali Sasa surut seketika. Jadi untuk akrab dengan Mas Seno tentu tidak muda.

Mas Seno sudah duduk setelah memidahkan kursi mini bar yang ada di samping Sasa ke depan Sasa. Mereka makan hadap-hadapan. "Makan." Sasa tidak perlu kata lain yang keluar dari mulut Seno untuk menikmati semua makanan yang ada di depannya. Karena itu mustahil adanya.

Hujan yang lebat di tambah semangkok mie kuah adalah kombinasi yang cukup pas di tambah 1 piring nugget huruf yang di goreng. Apalagi pemandangan di depannya, yaitu Mas Seno yang sibuk dengan makannya sunggug luar biasa menurut Sasa. Entah berawal dari mana Sasa pernah menjatuhkan hati pada teman kakaknya yang tidak banyak bicara ini. Bukan pernah tapi, sampai sekarang masih iya. "Mienya tidak enak?" Sebuah pertanyaan tiba-tiba itu membuat Sasa tersedak dengan air ludahnya sendiri secara tiba-tiba. "Minum."

"Makasih Mas." Setelah tersedak Sasa meminum air putih yang di berikan oleh Mas Seno. "Enak ko Mas." Seno hanya mengangguk dan kembali menikmati mie kuahnya.

"Mas, tidak kerja?"

Seno melihat Sasa lalu menjawab. "Tidak."

"Oh." Dan lagi-lagi pembicaraan mereka usai. Sasa menyudahi makannya setelah mienya habis dan juga nugget di piring hanya tinggal 1. Membiarkan Mas Seno makan dengan nikmat.

"Nuggetnya tidak dimakan?"

Sasa mengeleng. "Ngga Mas, Sasa sudah kenyang." Jawaban itu membuat Mas Seno menghabiskan semuanya. Lalu menumpuk piringnya untuk di cuci tapi, di tahan oleh Sasa. Karena Sasa yang akan mencuci piring sebagai rasa terima kasih sudah di tumpangi dan di masakan.

"Mau kopi?" Setelah Sasa selesai mencuci piring. Pertanyaan itu di dengarnya.

"Tidak Mas, Sasa mau tidur. Kepala Sasa Sakit." Sasa benar-benar sakit kepala. Rasanya kepalanya berat. Mungkin pengaruh kehujanan.

Gerakan Seno yang sibuk. Mengambil bubuk kopi terhenti saat mendengar Sasa bebicara. "Mas, Sasa ke atas yah." Sasa pamit meninggalkan Seno yang sedikit ke bingungan. Mau bagaimana juga Seno tidak pernah mengurus orang sakit. Maka, yang pertama yang dilakukan Seno yaitu mencari ponselnya yang berada di ruang tamu. Membuka google pencarian dan menulis 'obat sakit kepala' begitu banyak artikel yang muncul. Ada beberapa artikel yang mengarahkan ke aplikasi lalu dengan cepat membaca satu persatu. Mengikuti intruksi di aplikasi tersebut lalu dengan cepat memesan semua obat yang di sarankan dari aplikasi tersebut.

"Apaan?" Yang kedua Seno menelpon Satrio-sahabatnya, kakak dari Sasa. Dan memang sahabat dajjalnya itu langsung bertanya seperti itu. Sebuah pertanyaan tanpa basa-basi.

"Kepala Sasa sakit. Gue sudah pesan kan obat terus sekarang bagaimana?" Tanya Seno dengan nada khawatir.

Di sebrang Satrio sedikit merasa tidak enak karena adiknya berada di apartemen sahabatnya dan lagi sakit. "Sasa kehujanan?"

"Iya."

"Nanti kalo obatnya datang lo kasih minum obatnya ke Sasa terus kalo badan Sasa panas lo kompres. Sasa sudah makan. Kalo belum Sasa kasih makan dulu. Anak itu kalo ngga di ingetin makan dia lupa." Panjang kali lebar Satrio memberi petunjuk ini dan itu untuk Seno untuk mengurus Sasa dalam keadaan sakit. Setelah mengetahui semua itu sambungan telpon terputus dan tidak lama obat yang di pesannya sampai. Ada catatan kecil yang membuat Seno tahu bagaimana selanjutnya.

Membawa obat dan air minum lalu masuk ke kamarnya. Melihat di tempat tidurnya, Sasa tidur dengan gelisah. Mencoba sesuai intruksi yang di perintah Satrio memegang kening Sasa dan ternyata benar saja badan Sasa panas. "Sa." Panggil Seno sambil mengoyangkan sedikit badan Sasa.

Sasa yang hanya menutup matanya terbangun dan melihat bahwa Mas Seno ada di depannya. "Minum obat dulu." Sasa menurut. "Tidur lagi yah." Kembali ke dapur Seno mencoba meredakan semua pikiran gilanya yang ada di kepalanya. Bagaimana tidak Sasa dan bajunya ada kombinasi pembangkit gairah Seno. Hanya melihatnya saja Seno bisa terhipnotis menatapnya tanpa berkedip dan ingin melakukannya, untuk menutaskan gairahnya.

"Ingat, Sasa adik lo bangsat." Tegur Seno pada dirinya sendiri.

Seno mengambil baskom kecil, mengisinya dengan air hangat lalu mengambil handuk kecil. Posisi Sasa masih sama. Seno sudah mulai memperas handuk kecil itu lalu di letakan di kepala Sasa. Sasa hanya bergerak kecil setelah itu kembali tenang. Selalu di periksan kompres handuk yang ada di kepala Sasa. Jika merasa handuknya sudah kurang hangat maka, Seno akan mengulangnya merendamnya lalu di perasnya. Entah berapa kali Seno ulang dan akhirnya dirinya terlelap begitu saja. Terlelap dalam posisi duduk.

****

Sulbar, 06 Oktober 2023

Ragumu, Rugimu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang