"Kenapa lo ngga balas Angel, sih!" Ucap Brian dengan frustasi. Brian menemani Sasa untuk membersihkan diri di wc dan dengan sabar menunggu di depan pintu. Sambil terus bicara seolah mengingatkan Sasa jangan diam kalo Angel membullynya, lagi.
Pintu terbuka dengan kasar. Sasa keluar dengan muka yang lebih basah. "Sa." Panggilan Brian tidak mampu menghentikan langkah Sasa. Brian menahan lengan Sasa. "Lo marah sama gue?"
"Menurut lo?" Sasa bertanya balik. Karena semua yang di dapatnya hari ini tentu akibat dari Brian yang mendekatinya. "Minggir." Sentak Sasa dengan kasar pada tangan Brian yang menahannya. karena tidak mendapatin respon apapun dalam cukup lama.
"Sa, sorry." Ucap Brian lalu menghadang Sasa. "Lo mau pulang?"
Sasa mengangguk. Karena dalam keadaan basah, lengket dan berbau jus jerus untuk memulai pelajaram tentu bukan hal mudah maka, Sasa tidak perlu berpikir panjang untuk mengambil keputusan untuk pulang. "Yah udah, tunggu disini." Perintah Brian. "Gue ambil tas lo sama izin ke guru dulu, sebentar." Brian meninggalkan Sasa.
Perdebatan tidak mungkin Sasa lakukan dalam situasi mengerikan seperti ini. Maka, Sasa hanya melihat Brian berlari dan hilang di balik tembok tinggi itu setelah mengusap kepala Sasa.
Bodoh, Sasa merutuki dirinya saat hatinya mulai melihat Brian sebagai pria. Sasa juga sudah bilang dari awal kalo Brian semudah itu untuk di cintai. Tapi, seakan hati dan logikanya berbeda jalan dan di lakukan Sasa saat ini membenturkan kepalanya pada tembok secara pelan niatnya agar hatinya sejalan dengan logikanya. Walau kemungkinan itu tidak terjadi.
Posisinya masih sama di depan wc dengan baju kebesaran milik Brian, rambut yang basah dan badan yang lengket. Kombinasi yang sangat pas dan mengerikan untuk di bayangkan. Sasa tidak ingin menangis tetapi air matanya turun juga. Sasa tidak ingin bertanya kenapa karena tiada jawaban yang mampu membuat hatinya tenang jugq untuk saat ini.
"Sasa." Tepukan di bahunya terasa. Sasa berbalik dan mendapatin Cika. "Lo kenapa, kayang curut gini." Memang Cika tidak memiliki empati yang tinggi membuat Sasa yang tadinya nangis dalam diam kini akan mengomel.
"Bacot!" Umpat Sasa.
"Astagafirullah, Sa. Lo ke masukan!"
"Lo yang kemasukan. Teman dalam susah begini lo ejekin."
"Yah sorry. Lo memang kaya anak curut ko." Jika memukul dan membunuh seseorang tidak masuk penjara dan masuk neraka. Mungkin Sasa sudah memukul dan membunuh Cika, sahabat laknaknya.
"Sialan lo!"
"Hehe... puas banget gue liat lo kaya gini." Sasa memeluk Cika agar kondisi badannya yang lengkek menular ke Cika.
"Sasa, isst." Cika berusaha melepaskan diri tapi, Sasa dengan kuat memeluknya. "Lepas Sa. Lo bau iyuuu..."
"Rasaain Cik."
Tidak jauh dari Sasa dan Cika ada Brian yang tersenyum geli melihat 2 sahabat itu. Saat masuk ke kelas mengambil tas Sasa, Cika bertanya mengenai Sasa dan saat Brian menjawabnya. Cika langsung lari lebih dulu ke wc yang lantai 1 untuk melihat sahabatnya. Kebetulan setelah Brian keluar dari kelasnya bell berbunyi menadakan pelajaran ke tiga akan dimulai. Brian juga sudah minta izin ke gurunya agar Sasa pulang dan dirinya. Alasannya karena Sasa sakit perut, Brian tidak ingin berlama-lama meninggalkan Sasa maka, dirinya tidak ingin menjelaskan apapun yang terjadi pada Sasa yang di bully oleh Angel kepada gurunya. Fokusnya saat ini adalah Sasa selebihnya biarlah nanti di urus.
"Isst. Lo pulang, sana." Suara cempreng Cika membuat Brian kembali memperhatikan 2 perempuan itu. Suasana wc ini sepi karena siswa/siswi sudah masuk kelas. "Sa, ini lengket menjijikan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ragumu, Rugimu
Romance"Jangan gila, Sa." "Ayo, lah Mas. Sasa hanya minta tolong." Sasa sungguh putus asa untuk masalah yang di hadapinnya. Sasa sudah melepas bajunya dan meninggalkan bra hitam yang sungguh kontras dengan kulitnya. Payudara penuh seakan mengoda iman Seno...