Kabar buruk untuk Nandes

131 8 0
                                    

-
-
-
-

Mereka punya kebiasaan yang setiap hari harus di lakukan, yaitu nongkrong di warkang alias warung belakang sekolah. Kebiasaan itu seakan sudah melekat dalam diri mereka masing-masing, dengan terbukti kalau tidak ke sana mereka akan merasakan sebuah kekurangan.

Seperti pagi ini. Datang-datang ke sekolah bukannya langsung pergi ke kelas, mereka justru melimpir dulu ke warung belakang sambil menunggu bel masuk berbunyi, kira-kira sekitar enam menitan lagi. Masih ada banyak waktu lah sekedar untuk mengisi perut di pagi hari.

Karena Chandra pernah bersabda, "Sesungguhnya sarapan gorengan tempe dan pisang sambil menyeruput kopi ABC di warkang adalah suatu kenikmatan yang tidak bisa di ungkapkan dengan ribuan kata." Cielah... Bisa-bisanya.

Tapi keenam temannya tidak pernah membantah ucapan Chandra, karena mereka memang mengiyakan.

Kini di kursi panjang kayu, mereka duduk berderetan dengan suguhan bermacam-macam gorengan tersaji di depan mata. Tapi pagi ini mereka tidak bertujuh melainkan hanya berenam saja, yang tidak ada hanya Nji.

Kurang tau cowok tukang ngegas itu kemana. Apa langsung duduk manis di bangku kelas? atau sudah sibuk di panggil guru-guru ke ruangan? Maklum si pinter yang tiap hari bawaannya tidak pernah benar-benar duduk tenang di bangkunya.

Tidak seperti keenamnya. Kalau soal sekolah, Nji lebih kedisiplin walau kadang-kadang juga ikut bangor---tapi masih dalam batas cuma dua atau tiga kali saja itupun kalau tidak di seret paksa oleh Chandra dan Jeino.

Karena mereka punya prinsip satu for semua. Nakal satu ya nakal semua, di hukum satu ya di hukum semua---walaupun yang salah hanya satu atau dua orang. Amat sangat merugikan memang, tapi itu jiwa solidaritas----"Solidaritas gundulmu," ketus Nji pada masa itu. Cuma dia yang tidak setuju.

Semuanya sih.

Tapi terpaksa.

"Maraneh sarapan dulu nggak sih di rumah?" Awal pagi ini di buka oleh Chandra yang bertanya, namun pertanyaannya seperti menghilang di udara sebab kelima temannya sama sekali tidak menjawab membuat Chandra mengumpat kesal. "Bangsat diemin aing weh diemin."

"Pundungan," cetus Nandes.

Detik itu juga, Chandra jadi badmood. Tapi sepertinya ada yang lebih kacau hari ini. Salah satu di antara mereka ada yang memasang wajah kurang mengenakan untuk di pandang alias auranya seram-seram macam setan.

Iya itu Jeino.

Dia lagi bete. Ceunah.

Sejak menongolkan batang hidungnya di depan warkang, wajahnya di tekuk terus. Senyum yang biasa manis dan ramah tamah yang biasa di tunjukkan untuk memikat kaum hawa tidak tampak sama sekali membuat kelima anak manusia yang melihatnya di buat kebingungan. Karena tidak biasa mereka melihat Jeino yang tampangnya seperti itu.

Kayak Aneh aja gitu.

Orang yang biasanya senyum sampai orang lain yang melihatnya saja pegel, tiba-tiba jadi murung dan memasang wajah datar. Gimana mereka tidak bertanya-tanya?

Ya, mereka tahu Jeino sedang badmood tapi masalahnya kenapa? Apa penyebabnya?

Cowok sipit itu melahap pisang gorengnya dengan tidak bersemangat sampai Chandra saling tatap-tatapan dengan Colo, Deon, Nandes dan Jio tapi akhirnya mereka menggeleng dan melengos bersama.

"Hari pertama ya Jei?" Tepukan tangan Chandra di pundak Jeino membuat cowok playboy itu menoleh sambil mengernyit.

"Apa," jawabnya tak minat.

Tujuh GenggamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang