"Maaf, soal yang tadi,,, itu,,, mnnnn,,," Ucap Doni sembari mengaduk panci yang sudah berbuih.
"Lho, bukannya aku yang jahilin kamu, kok kamu yang minta maaf." Kataku sembari mendekatinya. Entah kenapa? Aku ingin selalu mendekatinya. Kini buah dadaku yang tak terbungkus Bra hampir menyentuh pundaknya.
"Bukan, itu. Soal,,,mnnnn,,, biologis tadi." Doni terbata-bata. Lalu ia berbalik ke arahku, jarak kami terlalu dekat sehingga ujung hidungnya menyentuh buah dadaku yang tak hanya terlindung oleh kaos tipis dan kemeja tipis. Aku sedikit bergidik karena hidung tajamnya tepat mengenai puting susuku.
"Oh, iya, itu gimana ya?" Aku melepaskan tanganku dan bersandar di buffet. Salah satu tanganku berada di pinggangku sehingga kemejaku terbuka begitu saja. Aku tak sadar, jakun Doni bergerak karena melihat buah dada mengembang di tepat didepan wajahnya. Apalagi, hawa dingin membuat puting susuku mengeras dan mencuat menantangnya.
"Iya, itu biologis. Setiap pria pasti akan seperti ketika didekati oleh wanita." Ucapnya menjelaskan.
"Hmn,,, jadi kamu jadi... mnnnn,,, ehhh,, tunggu dulu!" Aku kembali berpikir tentang hal kemarin. Tentang cowok-cowok yang melihatku latihan lagi, serta Doni yang menempelkan selangkangannya di bongkahan pantatku ketika aku Back-Up. "Eh, kamu ngaceng ya." Ujarku mencengkeram kerah baju Doni yang terpojok.
"Sudah kubilang, itu biologis. Salah siapa kamu dekat-dekat denganku. Apalagi, saat kamu mendekap wajahku. Itu tepat di area payudaramu. Payudara itu punya Areola yang sensitif jika tersentuh. Kenapa kamu malah mendekapku disitu!?" Doni sepertinya menggiringku ke arah yang lebih ilmiah. Namun aku juga sadar bahwa semua itu bukan serta merta salahnya. Aku melepaskan cengkeramanku.
"Eh, emang kalau cowok didekap kayak gitu bisa,,, mmnnnn,,, ngaceng, gitu?" Tanyaku.
"Tergantung, kalau aku sih. Enggak begitu?" Jawab Doni yang menyibukan diri menuangkan air sisa rebusan ke wastafel. "Awas panas!"
"Kok, nggak begitu. Tadi itu kamu berdiri." Padahal seharusnya aku kesal, namun aku malah mendekatinya dan kini sesekali aku menyentuhkan buahku ke pundaknya.
"Itu karena kamu mendekat pinggangku." Jawab Doni sekenanya. Ia mencoba untuk mengalihkan pembicaraannya lagi. "Kamu mau yang pedas atau tidak?"
"Eh, bukannya ketika aku mendekapmu, kamu jadi ngaceng gitu!" Ungkapku sembari mengalungkan tanganku ke leher Doni yang menumpahkan spaghetti ke atas piring. Taktis buah dadaku yang kenyal menyentuh pundaknya. Rasa itu kembali menggelegar keseluruh tubuhku. Apalagi tangan Doni yang bergerak-gerak kerena sedang mengaduk bumbu membuat buah dadaku seperti dipijat-pijat.
"Oh, kalau itu! Kamu yang ngaceng." Aku cukup tercengang dengan perkataan Doni. Ia berkata seolah ia adalah dokter psikologi yang mengatasi soal kegiatan malam jumat. "Soalnya wajahku menyentuh bagian sensitif itu. Ingat bagian Payudara terdapat jutaan syaraf, apalagi bagian Areola super sensitif yang dapat mendeteksi gerakan sekecil apapun."
Aku menatap Doni yang membawa dua piring ke meja makan. Lalu meletakannya berhadapan. "Eh, Areola itu apaan?" Tanyaku.
Ia mendekatiku dan menunjuk sesuatu di dadaku. Ujung jarinya mengenai bagian sensitif itu. Sesaat aku bergetar, setelah Doni berkata. "Puting susu."
"Auhhh,,," aku ingin menepisnya namun Doni sudah menjauhkan tangannya.
"Ayok, makan dulu!" Ajaknya.
Aku makan dalam diam karena kepikiran dan perutku yang sudah sangat lapar. Setelah makan nanti, kita harus meneruskan pekerjaan menulis Essai yang tertunda. Aku selesei kami berdua kembali ke lantai dua untuk mengerjakan Essai. "Huuahhh,,, aku kenyang." Entah kenapa, aku tak asing dengan rumah Doni. Aku berani melompat dan membaringkan tubuhku ke kasur Doni yang empuk. Kuregangkan kedua tangan dan kaki agar tubuhku kembali segar.
"Sini, kamu baca!" Perintah Doni yang mulai serius dengan keyboard yang sudah berada ditangannya.
"Huaahhh,,, ngantuk aku." Ungkapku seraya menguap.
"Eh, nanti dulu tidurnya!" Tegasnya. Aku dengan enggan melangkah kearah meja belajar Doni. Lalu menyandarkan pantatku disana, lebih tepatnya duduk di tepian karena tubuhku terlalu tinggi untuk meja itu.
"Huaaammmnn,,, Eh, aku mau tanya satu hal lagi." Tanyaku padanya.
"Iya, tanya aja." Ucapnya sembari menyandarkan tubuhnya di kursi.
"Kemarinkan, ketika kamu bantu aku Back-Up,,," aku kembali mengingat serpihan ingatan yang kupulihkan. "Ada sesuatu yang keras menempel di pantatku."
Kulihat wajah Doni berubah memerah padam, sama seperti tadi. Kurasa ia sedang menyembunyikan sesuatu. "Oh, itu ikat pinggangku." Jawabnya cepat.
"Mana mungkin ikat pinggang dibawah situ!" Aku sontak tak percaya dan mencecarnya.
"Eh, nggak percaya. Soalnya kamu nggak lihat." Ia tetap mengelak.
"Bohong, ngaku deh." Aku kembali mencecar.
"Iya, aku nggak bohong." Ucapnya meyakinkan.
"Kau pasti ngaceng ya karena itumu menyentuh pantatku. Terus kamu lari karena malu, iyakan?" Ujarku karena aku sudah mengingat setiap kejadian itu.
"Ah, itu karena aku ingin buang air kecil. Jadi aku buru-buru." Ucapnya menyela seakan ia tak ingin disalahkan.
Lalu, entah kenapa aku melangkah ke hadapannya dan duduk di pangkuannya. Kakiku menahan pinggulnya dan tanganku menahan pergelangan tangannya agar ia tak bergerak.
"Jujur, apa yang kamu rasakan ketika dalam posisi ini?" Posisiku menunggangi tubuhnya di atas kursinya. Buah dadaku begitu menggoda apalagi aku sengaja menyingkap kemejaku. Puting susuku yang kemerahan mencuat menantang bibirnya. Entah kenapa? Aku penasaran dengan rasa ini.
"Sakit tau kakiku,,, kau menindihku!" Ucapnya sembari meronta. Karena tangan dan kakinya terkunci, wajahnya bergerak kesana kemari secara acak. Sehingga wajahnya menyentuh buah dadaku yang hanya terbungkus kaos tipis. Sensasi itu kembali kurasakan, gelitikan walau hanya sepersekian detik yang selalu membuatku penasaran.
"Jawab!" Cecarku sembari menekan buah dadaku menimpa wajahnya.
"Hummmpppffttt!" Ia tak mampu bernapas karena hidungnya tepat tertekan buah dadaku.
"Auuuffff!" Aku mendesis sembari mengigiti bagian bawah bibirku. Entah rasa itu semakin menjadi-jadi. Doni mencoba mengatakan sesuatu, namun bibirnya tertekan oleh buah dadaku. Wajahku meremang, bulu kudukku berdiri, rambutku mengeras, dan jantungku berdebar kencang. Nafasku mendesau berat ketika bibirnya mengguncang bagian sensitif itu. Aku tak mencoba untuk mendengarkan perkataan Doni. Aku mencoba meraih sensasi geli dibagian buah dadaku itu.
"Baannayk woowwokkk maangeenngg pikaaahhh, iyaaattt neeeekkkeenkkmujj! Pepaaassssiiinn! Suara itu terdengar walau tidak kumengerti. Aku merasa buah dadaku bergetar-getar seperti dipijat ringan. Lalu aku merasakan sesuatu menyedot bagian puting susuku, semakin lama semakin kencang dan membuatku mabuk kepayang. Wajahku mendongak dan bibirku terbuka lebar.
Kemudian,
"Aaaaaaahhhhhhhhh!"
KAMU SEDANG MEMBACA
MIRAMAX
Lãng mạnMira, gadis jangkung yang hobi bermain volly. Terlibat kisah cinta dengan seseorang siswa bernama Doni, siswa yang paling genius di sekolahnya. Namun tinggi badan Doni hanya 159cm, sedangkan Mira setinggi 189cm. Apakah selisih 30cm diantara mereka...