Bel sekolah berbunyi. Beberapa siswa sudah berdiri dan bersiap untuk pulang. Sedangkan aku berlama-lama karena aku ingin bertemu dengan Doni.
"Tunggu ya, biar agak sepi." Doni mengirim pesan. Aku berlama-lama di kelas. Walau sekelas, kami tidak bertegur sapa. Terkadang kami saling lirik, lalu tersenyum tipis. Oh, inikah yang namanya cinta. Aku juga baru saja mengerti.
Lalu aku membalasnya dengan sedikit godaan, "emangnya kenapa kalau sepi, yang? 🤔"
"Biar nggak ketahuan oranglah! 🤫." Balasnya lagi.
"Bukannya sayang mau cium Feromon aku 🥰🥰!" Entah kenapa, aku merindukan kejadian itu. Kejadian yang membuat mengejang kencang. Ia tak membalasku dan keluar kelas. Dalam keheningan, aku juga keluar. Hari tepat di hari Jumat dan tak ada ekstrakurikuler di hari Jumat. Sehingga sekolah mendadak sepi seperti tak berpenghuni. Aku mengendap melewati belakang gedung, rumah kaca, dan disamping lapngan bola itulah Laboratorium berdiri. Gedungnya hampir berhimpitan dengan tribun sepakbola, sehingga terkesan menyatu.
Doni sudah menungguku sembari duduk berjongkok bersandarkan dinding seraya memeluk erat tas ranselnya. Aku tersengeh melihatnya karena ia seperti anak kecil yang sedang menunggu jemputan. Aku yang datang langsung ikut berjongkok saja disebelahnya, tanpa mengatakan apapun.
"Senang ya, dapat pelatih baru. Mana tinggi, ganteng pula." Doni menggumam.
"Eh, apa!?" Aku terkejut karena ia mengatakan hal demikian.
"Iya, sepagian aku memperhatikan. Kalian selalu berlatih berdua. Yang lain suruh latihan sendiri." Aku menangkap satu hal. Doni ternyata cemburu terhadapku.
"Itu pak Rama, sayang. Dia pelatih baru tim Volley." Aku mencoba menjelaskan.
"Tapi kenapa kamu latihan berdua terus dengannya!" Doni kini serius. Aku mencoba mengingat, ternyata Doni belum tahu bahwa aku berpindah posisi sebagai Cover ketika melakukan Defense. Dan memang, Pak Rama seperti menemukan potensi diriku. Sehingga ia menyuruhku lebih kebelakang agar tim kami lebih solid.
"Iya, aku tahu. Namanya Rama Wijaya. Ia pemain Volley Proliga. Liga sedang vakum sehingga ia diminta untuk melatih tim Volley SMK. Usianya baru 24 tahun, tak begitu jauh dengan kamu. Lagipula, dia belum punya pacar." Ucapnya begitu.
"Eh, bagaimana kamu tahu kalau dia belum punya pacar?" Aku beringsut kehadapannya. Tatapanku yang serius membuat Doni semakin cemas.
"Lihat saja FB-nya." Ungkap Doni seraya memperlihatkan halaman FB dengan foto pria tampan yang menjadi pelatih Volley kami. Lalu aku merebut smartphone Doni dan melihat isi halamannya. Halaman itu berisi fotonya yang sedang bermain Volley. Bahkan aku terpesona dengan posisinya yang sedang melakukan Spike. Lompatannya sangat tinggi sehingga jaring net itu tak ada apa-apanya.
"Kami lebih cocok dengannya daripada denganku!" Ungkapnya seraya berdiri.
"Eh, kamu kenapa?" Aku juga berdiri. Ia sepertinya ingin meninggalkanku. Wajahnya terlihat lesu namun tetap serius. Aku masih belum bisa merasakan hal-hal seperti itu.
"Aku mau pulang!" Ungkapnya sembari merebut ponselnya dan meninggalkanku.
"Tunggu!" Aku menghalangi tubuhnya dengan meninju dinding tepat disaat Doni ingin melewatimu. Lalu,,, "Arrrkkkkkhhhh" Sepertinya ada yang salah dengan tanganku.
Aku terduduk sembari memegang telapak tanganku yang mungkin terkilir. "Kamu tak apa?" Doni khawatir denganku. Ia melihatnya telapak tanganku yang memerah.
"Bodoh kau! Aduuuhhhh!" Keluhku karena aku merasa diacuhkan. Belum lagi tanganku terkilir akibat memukul dinding.
"Ayo ke klinik!" Ungkapnya seraya membawaku kesana.
=====
Keesokan harinya, aku tak bisa ikut latihan karena tanganku terkilir. Semua menyayangkan itu termasuk kapten Melly yang naik darah. Ia menginterogasiku habis-habisan.
"Kenapa kau bisa terkilir? Kau tahu turnamen tinggal sebentar lagi!" Bentak kapten Melly yang memarahiku di tepi lapangan. Tak ada yang berani membelaku karena mereka juga takut dengan keangkuhan Melly.
"Maaf, kapten." Ucapku sebisanya.
"Dan kenapa Doni, adik aku yang membawamu ke klinik. Apa kau berkelahi dengannya?" Sontak pertanyaan itu membuat jantungku berdebar. Aku tak tahu harus menjawab apa. Yang jelas, hubunganku dengan Doni tak boleh diketahui siapapun.
"Apa ini, pagi-pagi kok sudah marah-marah." Suara lembut itu terdengar dari arah samping dimana pak Rama datang dengan senyum menawannya.
"Ini pak, Tangan Mira terkilir. Padahal turnamen tinggal sebentar lagi." Ungkap Kapten Melly. Kupikir, syukurlah aku tak perlu menjawab pertanyaan tentang Doni.
"Oh, ya. Coba kulihat lukanya." Tiba-tiba, aroma itu mendesir melalui hidungku. Aroma yang sama seperti yang dipunyai Doni. Aroma lemon mint yang menyegarkan. Apalagi, pak Rama dengan lembutnya memegang lenganku. Tingginya yang lebih tinggi membuat samar karena aku tak pernah menemui seorang pria yang lebih tinggi dariku sedekat ini. "Hmnn,,, sayang sekali. Kami harus istirahat dulu. Gunakan obat-obatan luar agar cepat sembuh dan jangan gunakan tangan ini untuk mengangkat beban terlalu berat. Beruntung tangan kiri yang cidera, kamu masih bisa menulis dengan tangan kanan. Istirahatlah dan masuk ke kelas jika bel berbunyi."
Perkataan itu sedikit membuatku tenang. Aku duduk di tangga depan kelas menyaksikan rekan-rekanku latihan. Mereka semua tertawa tersenyum, apalagi pak Rama cukup ramah dan pandai mencairkan suasana. Aku menyesal karena telah memukul dinding itu. Aku tak dapat mengukur kekuatan tangan kiriku. Sehingga kekuatanku malah membuat tanganku terkilir. Dalam keheningan aku menyalahkan Doni. Ia berkata demikian seakan aku dekat dengan Pak Rama yang baru melatih pagi itu. Aku juga belum tahu kenapa Doni bisa seperti itu. Apalagi sekarang aku harus mengalami cidera dan bisa membuat timku kalah di turnamen nanti.
Ponselku tiba-tiba berbunyi dan aku meraihnya, "Hei, bagaimana lukanya, sudah sembuh?" Ternyata Doni mengirim pesan WA.
Aku hanya membaca dan meletakkannya kembali. Aku masih terlalu kesal untuk meladeninya. Sungguh, aku sendiri tak mengharapkan kejadian ini terjadi.
Seharian penuh aku tak menghiraukan Doni. Ia juga cuek jika di kelas. Namun di jam istirahat, ia mengirimku banyak pesan yang tak kubuka sama sekali. Sampai disaat jam pulang, Doni yang duduk didepan tiba-tiba langsung keluar begitu saja. Mungkin ia juga kesal denganku karena tak menghiraukan pesannya.
Aku melihat Rosa dan Agnes juga sudah pulang. Aku masih memikirkan cidera yang kualami seraya melangkah ringan keluar sekolah. Suasana sepi dan hanya beberapa siswa yang menunggu jemputan. Aku pulang dan pergi dengan berjalan kaki karena jarak antar rumah dan sekolahku tak terlalu jauh.
Tiba-tiba, aku mendengar suara seruan motor dari belakangku. Motor yang biasa digunakan untuk balapan MotoGP itu berhenti tepat disampingku. Ternyata itu pak Rama yang menaikinya. Ia membuka kaca dari helmnya dan terlihat mata tajam serta alis yang lurus namun terkesan ramah.
"Mira! Ayo kuantar. Kamu sedang cidera jangan sering-sering berjalan." Pinta pak Rama dengan keras karena suaranya mungkin terbiaskan oleh seruan suara motor yang lebih keras.
"Mnnnn,,, tapi pak." Aku tak mampu menjawab.
"Sudah, naik saja." Paksanya.
Aku tak tahu cara menaikinya. Tak mungkin aku duduk menyamping di motor sebesar ini. Sehingga aku melangkah bertumpukan punggungnya. Untung saja aku memakai legging yang biasa digunakan latihan pagi. Aku tetap memakainya karena aku tak ikut latihan tadi pagi.
Lalu motor Pak Rama melaju pelan. Diatas motor aku merasakan getaran di kantung bajuku. Ponselku bergetar dan kulihat screensaver yang bertuliskan pesan.
"TERNYATA KAMU MEMILIH DIRINYA DARIPADA DIRIKU!!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
MIRAMAX
RomanceMira, gadis jangkung yang hobi bermain volly. Terlibat kisah cinta dengan seseorang siswa bernama Doni, siswa yang paling genius di sekolahnya. Namun tinggi badan Doni hanya 159cm, sedangkan Mira setinggi 189cm. Apakah selisih 30cm diantara mereka...