27

3.7K 65 3
                                    

"Mira," bisik suara Doni yang baru saja memasukki kamar.

Aku terkejut ketika mendengarkannya. Mataku terpaku pada komik-komik Manga yang disimpan Doni dibawah ranjang. Mataku mengerjap melihat semua adegan walau itu hanyalah gambar yang tak bergerak. Kuperhatikan dengan seksama ekspresi karakternya. Wajahnya kadang kesakitan terkadang keenakan. Mungkin seperti itu juga ekspresiku ketika dikerjai oleh Doni.

"Mir, dimana kamu!?" Seru Doni.

"Eh,,, i—iya." Aku merangkak keluar dan Doni sudah duduk di meja komputernya. Wajahnya tertunduk lesu. "Melly sudah pulang?"

"Sudah, barusan." Ungkap Doni.

"Ngapain dia kesini?" Tanyaku.

"Cuma mau ambil baju cucian." Jawab Doni. Lalu kami terdiam sesaat.

"Mir," gumamnya lesu. Suasana hatinya sedang kacau. "Maaf mengenai tadi, mnnnn,,,"

"Mnnn,,, nggak apa. Itulah resiko jika kita sembunyi-sembunyi." Tegasku seraya melangkah mendekati meja komputer yang menggambarkan tubuhku sedang berpose seksi. Bukannya aku marah, tetapi aku malah terpesona dengan keindahan tubuhku sendirinya.

"Bukan itu, mengenai fotomu." Doni memutar badannya ke arah komputer. "Akan kuganti wallpapernya."

"Ngapain di ganti. Kan kamu pacarku, jadi wajar kalau kamu menyimpan foto-fotoku." Ungkapku seraya duduk dipangkuannya. Karena terlalu sempit, Doni sampai harus menyandarkan punggungnya.

"Ta—tapi. Aku ganti dengan foto kamu yang lain!" Ucapnya gelagapan karena pahaku menyentuh barangnya yang masih kurus.

"Mnnn,,, kamu boleh pakai foto mana aja." Kataku seraya mendekatkan wajahku ke wajahnya. Ia beringsut semakin tertekan. "Bahkan foto telanjangku juga tak apa, hihihi."

"Ah, gila. Masa' kamu mau difoto telanjang!?" Ia merasa keheranan dengan pembicaraanku yang ngelantur.

"Kamukan suka lihat gambar telanjang!?" Cecarku seraya menatap wajah Doni yang ketakutan. Sebenarnya aku menyembunyikan salah satu buku komik dewasa di saku jaketku.

"Ah,,, nggak ah. Yang diomongi Melly itu nggak benar!" Doni mengelak.

Aku membuka saku jaket dan meraih buku komik yang cukup tipis itu. "Kalau ini, nggak benar juga?" Godaku seraya memperlihatkan gambar sesosok wanita tanpa pakaian. Buah dadanya terlihat besar dan tidak proporsional karena itu adalah komik Manga dewasa.

"Eh, itu! Dimana kamu,,, menemukannya!" Doni mencoba merebutnya. Namun mudah bagiku untuk menjauhkan komik itu dari jangkauan tangannya. "Tidak! Sini kembalikan!"

"Sssssttttt!" Desisanku membuatnya tenang. "Kenapa, kamu malu ya?"

"Nggak, tapi ituhhh,,," Doni tak sanggup merangkai alasan karena bukti sudah ada ditanganku. Aku tak menyangka ia juga cowok mesum seperti cowok lainnya.

"Ssstttt,,, diam dulu." Cegahku. Ia lalu diam tak meronta. "Aku sudah bac setengahnya, hihihi."

"Eh, kamu,, itu,,," ia mengoceh lagi.

"Ssstttt, aku penasaran dengan rasanya. Ketika kamu baca, apakah penasaran juga?" Perkataanku membuat Doni semakin tenang.

"Mnnnn,,, kali itu, mmmm,,, aku,,, gimana ya?" Ungkapnya terbata.

"Kamu pasti baca sambil ngocok ya!" Tegasku lugas. Tak mungkin ada cowok yang membaca beginian itu duduk saja.

"Eh, nggak!" Ia mengelak lagi.

"Ah,,, ngaku aja. Nggak mungkin nggak tegang sambil baca ini." Jelasku seraya menahan tubuhnya lagi. "Aku aja, tegang kok saat baca ini. Hihihi."

"Ish,,, gila kamu." Doni mencelaku. Tapi memang itulah yang kurasakan. Aku tak bisa menyembunyikan apapun saat berada di dekatnya, termasuk hal intim sekalipun.

"Eh, sayang mau nggak?" Rayuku sembari meletakan buku itu dimeja. Lalu memeluk leher Doni agar ia tak mengambil buku itu.

"Mau apa?" Tanyanya.

"Terusin yang tadi." Bisikku lirih ke telinganya. "Tadi aku kepengen setelah baca itu."

"Isshhh,,, nggak ah, nanti ketahuan lagi." Tolaknya karena mengira aku sedang menggodanya.

"Mnnn,,, ahyaang, serius ini!" Bisikku seraya menggesekan buah dadaku wajahnya.

"Hauuufffttt!" Ia gelegapan ketika menerima tumpuan itu.

"Kamu boleh kok minum feromonku sama seperti di Mall kemarin." Aku yang sudah tak sadar berdiri dari pangkuannya dan membuka jaketku. Lalu duduk kembali duduk mengangkang di pangkuannya.

"Eh,,, sayang serius?" Ia bertanya untuk memastikan.

"Mnnn,,," Aku mencari bibirnya dan melumatnya. Doni melakukan hal yang sama. Namun ia menepuk pundakku agar aku melepaskannya. "Ayohhh,,, pindah ke kasur!" Pintanya.

Aku kebingungan ketika Doni mencoba melepas celanaku. Aku menuruti saja dan kini aku memakai hotpants legging yang kukenakan tadi. "Sini kamu tidur!" Doni mendorong tubuhku. Ketika aku berbaring, tangannya merayap menyingkap tanktopku dan mengendus belahan dadaku. Ia menggesekan hidung mancungnya di kedua puting susuku kiri dan kanan. Rasa itu kembali menjelma mengikuti setiap sentuhan di bagian sensitif itu. Tubuhku mengejang ketika ujung hidungnya membuat tubuhku menggeliat. Doni sengaja tak membuka Sportbra karena ia tahu, sportbra tak memiliki busa pelindung. Sehingga puting susuku tercetak disana.

Aku berbaring membusungkan dadaku dan berharap Doni melakukan hal lebih dari sebelumnya. Mataku sayu terbuka setengah dan bibirku mengatup menahan desis yang kuhembuskan. Doni merangsangku dengan mengunyah buah dadaku yang masih terbungkus sportBra. Kedua tangannya memijat keduanya sehingga membuat tubuhku menggila. Keringat yang biasa kukeluarkan saat berolahraga, kini menguar hanya dengan berbaring saja.

"Ahhhh,,, ayang!" Panggilku memuja. Seakan aku menginginkan hal yang lebih dari semua. Doni menyingkap SportBra-ku dan takjub melihat puting susuku yang mencuat merah muda.

Lalu,,,

"Auhhhh,,, geli ayaaaang,,, ahhhh,,, jangan dijilat kayak gituuuhhh!" Aku meracau tak terkendali. Lalu, Doni berbaring disampingku.

Ia tak permisi lagi ketika jemarinya menyelip di tangtopku. Sesaat ia mencium bibirku dan merasakan desauan nafasku. Lalu kembali lagi menghisap bagian kembar sensitif itu. Namun, kini tubuhku semakin terkendali. Jemari Doni mengenai liang senggamaku yang sudah hangat. Ia menggerakkan jemarinya mengikuti bentuk bibir bawahku. Seketika, aku mengikuti gerakan jemari lentiknya. Terkadang ia menggeser dan menekannya. Namun aku terkejut ketika Doni menggetarkan tangannya dibawah sana. Getaran itu membuat tubuhku bergetar. Aku meracau tak karuan. Mataku terpejam tak mampu menjelaskan rasa yang kualami. Darahku berdesir kuat, bibirku terbuka menderukan nafas yang selama ini kuimpikan. Aku merasakan hal yang sama kurasakan ketika di Mall itu. Tubuhku hanyut dalam henjutan nafsu yang diiringi kejangan ringan. Aku merasakan cairan hangat merembes melewati liang kewanitaanku.

"Hhhhuaaahh,,," aku menghela nafasku.

"Becek banget. Sayang squirt ya?" Kini ia menggodaku karena aku barusaja mencapai puncak birahiku. Tangan Doni melepaskan selangkanganku. Lalu ia menjilati telapak tangannya. Sungguh jorok, namun aku tak keberatan.

"Kamu sih," protesku. Aku bangkit dari pembaringanku dan memeriksa celanaku. Ternyata cairan itu hampir membasahi bulu halusku dan beberapa menempel di pangkal pahaku. "Ih,,, sini bersihin."

Doni yang sudah bernafsu turun dari ranjang dan menarik hotpants berikut celana dalamku. Ia tak sabar menjulurkan lidahnya menyapu bagian senggamaku. "Auhhhh,,, pelan-pelan ayaaang!"

Lalu,,, pandanganku kembali buram merasakan kesenangan yang baru kurasakan. "Auhhhh,,, teruuuuuss!" Desahku sembari membuka pahaku lebar-lebar dan membaringkan lagi tubuhku.

MIRAMAXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang