18

4.3K 52 10
                                    

"Tunggu—aku belum!" Jantungku berhenti berdetak ketika mendengar pernyataan dari Doni. Ia belum apa? Aku tak tahu artinya dan aku harus ngapain.

"Belum apaan, ayok kita makan. Aku udah lapar!" Ungkapku mengalihkan perhatian. Aku mengaitkan celana dalam G-String itu ke kedua kakiku.

"Sini, aku bantuin!" Ungkapnya sembari merebut celana dalam itu tanganku.

"Ihhhh,,, apaan sih kamu!?" Ketusku.

"Nggak apa, kan aku juga udah lihat punyamu!" Perkataannya melemahkanku. Memang, tak hanya melihat bahkan Doni sudah menyentuh bagian tubuh yang paling privasi. Bahkan mungkin Doni sudah merasakan rasa cairan itu, yang bahkan aku sendiri belum pernah merasakannya.

"Hihihi,,, bukunya masih kelihatan." Jahilnya karena ia menarik-narik bulu itu.

"Duh,,, sakit! Udah ah," jeritku.

Setelah itu kami mengendap-endap keluar tanpa ketahuan. Doni keluar dari pintu tadi, dan aku keluar dari pintu atas. Lalu ia menungguku dibawah tangga eskalator. Entah kenapa, walau sebentar kita berpisah. Aku sudah ingin memeluknya lagi. Namun tak mungkin aku melakukan itu disini. Aku hanya menyandarkan lenganku di pundaknya karena aku lebih tinggi darinya.

"Eh, kita makan disitu!" Ungkapku sembari menunjuk restoran Ayam Geprek yang terkenal di negeri ini. Disamping itu, harganya terjangkau.

"Mnnn,,, gak mau! Ayo ikut aku, rasanya dilantai empat." Doni menggiringku kearah lift.

"Eh, mau makan apa?" Tanyaku ketika sudah berada di lift.

"Aku mau makan kamu, krauuukkkk!" Tantangnya sembari berpura-pura menggigit buah dadaku yang selalu tepat di hadapannya.

"Ih,,, apaan sih!" Aku tersipu malu. Namun ketika ia melakukan itu, darahku seakan berdesir kembali. Walau bercanda, aku sepertinya ingin Doni melakukannya padaku. Bagaimana rasanya puting susuku digigit olehnya. Aku tak terbayang rasanya karena disentuh saja rasanya sudah enak setengah mati. Aku terhanyut dalam lamunan ketika pintu lift terbuka.

"Kita makan disitu!?" Ucapnya sembari menunjuk sebuah restoran Jepang yang terkenal super mahal.

"Bodoh, itu mahal!" Gertakku sembari menjenggut rambutnya.

"Tenang, aku yang bayar." Wajahnya berubah sombong seraya menarik tanganku untuk mengikutinya.

Mataku berkeliling ketika melihat interior restoran itu. Doni berbicara dengan pelayan dan pelayan itu membimbing kami. Pelayan itu membuka sebuah pintu geser yang terbuat dari dinding kertas ala dinding Jepang. Seketika aku ragu untuk memasukinya. Pikiranku kacau karena makan saja harus ditempat yang privat seperti ini.

"Mira,,, ayo masuk!" Lamunanku terputus karena Doni memanggilku. Aku memasuki ruangan dan Doni menutupnya.

"Lho, kenapa ditutup?" Tanyaku.

"Ya, inilah restoran Jepang! Karena sepi, kita diberi tempat yang tertutup." Jawabnya.

"Oh, hmnnn,,, kau pasti mau macem-macem denganku, kan?" Aku mendekatkan tubuhku sehingga buah dadaku menyentuh pundaknya. Lalu tanganku merangkul seakan tak ada lagi yang bisa memisahkan kita.

"Heeh,,, ini kita mau makan, sayang!" Ia sedikit meronta, namun tubuhku tertegun karena ia memanggilku dengan panggilan seperti itu. Panggilan yang tak pernah kuterima sebelumnya kecuali dari ayah dan ibuku.

"Eh, kamu kok panggil aku sayang, emangnya kamu sayang sama aku!?" Aku kembali menggodanya untuk mengalihkan rasa aneh yang biasa disebut cinta oleh kebanyakan orang. Lalu, aku melayangkan kecupan ringan di pipinya walau aku sedikit membungkuk.

MIRAMAXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang