29

3.2K 51 3
                                    

Perkataan pak Rama membuatku sedikit canggung. Siang itu, aku memberitahu Doni jika performa permainanku menurun.

"Ngantuk banget tadi latihan pagi." Aku mengirim pesan padanya saat istirahat siang.

"Makanya, jangan malam-malam tidurnya." Balasnya.

"Kamu sih, gangguin aku terus." Balasku manja.

"Gangguin apaan?" Balasnya. Namun sebelum sempat aku membalas, Rosa dan Agnes mendekatiku. Mereka membawa nampan berisi makan siang yang dibawanya di kantin.

"Hei, Mir. Nggak makan?" Sapa Rosa yang berisi Mie ayam bakso kesukaannya.

"Sudah, tadi." Ungkapku karena aku memang sudah makan di kantin.

"Eh, kamu kok akhir-akhir ini jadi pendiem. Nggak kayak dulu?" Ujar Agnes keheranan. Kami bertiga memang seangkatan, namun berbeda kelas. Agnes dan Rosa satu kelas.

"Emangnya aku dulu cerewet ya. nggak kan?" Alasku, emang bener sih kata mereka. Aku akhir-akhir ini jarang berkumpul dengan tim. Selalu menghilang tepat waktu dan muncul tiba-tiba.

"Eh, tahu nggak!?" Rosa menggumam setelah menyuap bakso ke mulutnya dengan sekali telan.

"Apaan?" Tanyaku penasaran.

"Mengenai perjalanan ke Surabaya. Banyak yang tidak ikut." Ungkap Rosa sebelum kupotong.

"Jadi,,,!" Timpaku motong perkataan Rosa. Mungkin perjalanan pihak suporter di batalkan. Lalu Doni tidak jadi ikut..

"Mnnnn,,, karena banyak tidak ikut, jadi bus yang disewa juga cuma satu. Lagian banyak guru yang males ikut karena jauh. Lalu orang tua wali juga banyak yang nggak ikut. Eh, orang tuamu ikut nggak, Mir?"

Aku menghela nafas karena Doni masih memungkinkan untuk ikut dengan kami. "Mir," Rosa membangunkan lamunanku.

"Eh, ya. Mana mungkinlah ibuku ikut. Ia paling males pergi jauh. Kalau ibu kamu Nes?" Aku melemparkan pertanyaan itu ke Agnes.

"Mama,,," gumam Agnes dengan nada getaran berbeda. "Mama akukan sudah meninggal!" Agnes mewek karena aku lupa bahwa ibunya sudah meninggal ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar.

"Eh,,, maaf. Sorry,,, cup,,, cupp,,, sudah jangan nangis." Kataku menghibur Agnes. Rosa juga ikut menenangkan Agnes.

"Jadi kita nanti satu bus." Rosa kembali berkata.

"Mnnn,,, baguslah." Gumamku. Aku membayangkan satu bus dengan Doni. Kita berdua sudah biasa tak saling tegur sapa, sehingga membuat hubungan kami penuh tantangan.

"Apanya yang bagus!" Rosa menggerutu. "Pasti berisik!"

"Ya, kan jadi ramai. Gitu?" Aku menimpali.

"Gini, kitakan butuh istirahat untuk persiapan pertandingan. Jadi lebih enak kalau suasananya sepi." Tegas Rosa.

"Hmn,,, masuk akal juga sih." Kataku mengiyakan.

========
Di suatu siang, Doni mengirimku sebuah pesan agar kita bertemu di samping laboratorium. Tempat dimana kita pernah bertemu sebelumnya.

"Baik, yang. Nanti aku tunggu disana?" Aku segera pergi mendahului Doni yang masih mengemas buku-bukunya. Aku melangkah ke kamar kecil dan mencuci mukaku. Dua hari lagi adalah hari keberangkatan dan katanya Doni sudah mendaftarkan dirinya sebagai suporter setelah berbicara dengan Melly. Apa tanggapan Melly? Aku tak tahu.

Aku sengaja berlama-lama agar suasana sepi. Lalu, aku keluar dan menuju tempat janjian. Sesaat aku menunggu, Doni menyapaku. "Sudah lama disini?"

"Mnnn,,, baru sebentar kok." Kataku. "Eh, kamu beneran jadi ikut ke Surabaya."

"Hmn," ia mengangguk.

"Gimana reaksi Melly?" Tanyaku penasaran.

"Ya,,, awalnya sih kukatakan seperti yang kamu sarankan?" Ucap Doni. Lalu ia menggaruk rambutnya, "tapi ia malah mengolokku!"

"Mengolok gimana?" Tanyaku.

"Mnnn,,, katanya aku ikut bukan untuk menjaganya. Tetapi aku ikut karena kamu. Ia masih mengira kalau aku naksir kamu." Ratapan Doni terdengar membisu.

"Oh, ya. Jadi kamu naksir aku ya, hihihi." Godaku untuk mencairkan suasana.

"Kelihatannya kakakku curiga dengan hubungan kita." Ungkapnya terhanyut.

"Mnnn,,, kalau itu. Aku tak tahu," gumamku.

"Tetapi, lambat laun. Pasti ada seseorang yang mengetahuinya. Jika itu terjadi,,," katanya dengan nada lesu. Ia beringsut dan berjongkok bersandarkan dinding.

"Jika saat itu terjadi. Banyak sekali yang akan mem-Bully kita berdua, iyakan?" Aku mendekatinya dan berjongkok juga dihadapannya.

"Hmn,,," gumamnya sembari memeluk kedua kakinya seperti seseorang yang kedinginan.

"Eh,,, aku sudah baca Volume tiga. Mana terusannya?" Ajakku mencairkan suasana. Doni meminjamkanku komik Manhwa berjudul QueenBee. Komiknya bergenre dewasa dan terlalu vulgar jika dibaca anak-anak.

"Belum terbit, mungkin bulan depan." Jawabnya ogah-ogahan seraya melepaskan pelukan di kakinya. Kini ia duduk bersila seraya memandang lesu ke segala arah.

"Lama banget sih, sudah geregetan." Umpatku.

"Emang kenapa?" Tanya Doni. "Kami baca lengkap ya?"

"Ya, iyalah baca lengkap!" Jawabku meronta. "Emang kamu nggak baca lengkap apa?"

"Nggak, aku cuma lihat itu-itunya saja." Katanya kembali bersemangatnya.

"Itu-itunya gimana?" Tanyaku pura-pura nggak tahu.

"Itu-itunya ini!" Ujar Doni sembari meremas kedua buah dadaku yang makin hari makin mengkal saja.

"Auhhh,,, tangannya nakal." Tepisku.

Namun Doni seperti melihat reaksi gemasku. Jika cewek normal diperas buah dadanya pasti akan mengamuk dan memukul pria itu. Tetapi aku tidak, aku malah menepisnya ringan. Sehingga mau tak mau Doni kembali merabaku.

"Hei,,, nanti ayang pengeeeen ahhhh." Desisku sembari merasakan pijatan ringan di buah dadaku. Pakaian dalamku yang berupa sportbra membuat jemarinya begitu terasa di kulit buah dadaku.

"Cuma pegang-pegang aja kok!" Doni semakin gemas dengan menekan buah dadaku kewajahnya.

Aku mengeluh karena ia menggerakan wajahnya di salah satu bongkahan itu. "Mnnnn,,, sudah yang, nanti ketahuan." Namun bisikan itu tak sesuai dengan nada tubuhku. Tubuhku melengkung dan membusung seakan mempersilahkan wajahnya mengerjai buah dadaku.

"Kan nggak ada orang." Bisiknya.

"Sshhh,,, nanti bajuku kusut yaaaang." Desisku menolak mencari alasan yang membuatnya lebih penasaran. Entah, aku menjadi semakin terpancing begitu saja.

"Kalau begitu buka aja!" Tegas Doni.

"Ih,,, malulah kalau disini!" Benarkan, segala jenis ucapanku seakan memberi jalan padanya. Aku bahkan tak sanggup mengatakan tidak padanya.

"Bentar, aku cari tempat dulu." Doni tiba-tiba berdiri dan mengintip sekitar. Matanya menyapu seantero sekolah yang sudah sepi.

"Nah, disitu?" Ungkap Doni menunjuk sebuah bangunan yang terletak ditepi sekolah.

"Dimana?" Tanyaku.

"Di ruang tim Volley wanita." Jawab Doni dengan bangga.

MIRAMAXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang