"Cerita aja Mir, kami pintar jaga rahasia kok."
Aku tak pernah curhat masalah seperti ini. Apalagi tak ada yang tahu tentang hubunganku dengan Doni. Tapi sepertinya Pak Rama adalah seseorang yang bisa dipercaya.
"Sebenarnya, aku bertengkar dengan pacarku?" Celetukku tanpa memikirkan sesuatu.
"Kamu pukul dia sampai tanganmu terkilir, ia sudah pasti lebam dan menangis." Yoseph menimpali dengan nada bangga karena mengira aku cewek yang kuat. "Apa dia selingkuh, atau gimana?"
"Bukan gitu, dia cemburu karena pak Rama menjadi pelatih tim volley kami." Ungkapku.
"Apa!?" Pasangan sejenis itu kompak meneriakkan kata itu.
"Hehehehe,,, anehkan?" Aku malu untuk meneruskan.
"Emangnya cowokmu itu nggak tahu kalau aku seorang pelatih, dan baru hari ini kok aku melatih." Kata Pak Rama.
"Iya memang, ia juga selalu membuatku cemburu." Yoseph menimpali seraya menyikut perut Pak Rama.
"Hmnnn,,, gini. Selama ini, tak ada cowok yang mendekatiku. Sehingga kami pacaran sembunyi-sembunyi. Ia tak menyangka bahwa ada cowok yang tingginya lebih dariku. Sehingga ia mengira Pak Rama mendekatiku dan aku mendekati pak Rama." Jelasku seterang mungkin.
"Hmn,,, masuk akal juga." Kata Pak Rama.
"Eh, masuk akal apanya!?" Serbu Yoseph.
"Enggak, Honey. You always be mine." Ungkap pak Rama seraya merangkul Yoseph. "Oke, kalau sudah makannya, aku mau antar kamu pulang."
Sesampainya di rumah aku merebahkan badanku di kasur dan merentangkan tanganku. Aku mencoba menelaah apa yang terjadi barusan. Ternyata, yang tampan dan menawan belum tentu cocok untukku. Aku tak sabar untuk memberitahu Agnes dan Rosa. Namun setelah kupikir-pikir, aku nggak perlu mengatakan bahwa Pak Rama adalah seorang Gay. Biarkan itu menjadi rahasia bagi kita semua.
"Aku baru pulang." Aku mengirim pesan itu ke Doni.
"Oh, ya. Makanlah?" Katanya.
"Sudah makan tadi." Jawabku ogah-ogahan.
"Hmn,,, bagaimana lukamu?" Ia bertanya.
"Sudah mendingan. Hanya saja aku harus beristirahat dan mengangkat barang berat dulu." Balasku.
"Besok kamu ada acara?" Sepertinya ada tanda-tanda untuk mengajakku jalan.
"Pagi, mungkin aku berjoging saja." Balasku sembari melepas kaitan kancing bajuku. Lalu kembali terlentang membiarkan desahan angin dari kipas angin menyentuh ketiakku.
"kalau begitu, bisa ketemu di Taman Pertiwi. Seperti kemarin." Katanya.
"Nggak ah," tolakku. Aku ingin sedikit menggodanya.
"Kenapa?" Balasnya.
"Kamu pasti mau . . . " Tulisku tak lengkap.
"Mau apa?" Ia bertanya lagi.
"Mau,,, titik,,, titik.😘😘😘! Hehehehe!" Aku kembali menggodanya.
"Ihh,,, apaain sih." Ia menggerutu.
"Gimana kalau kamu ikut jogging, sama seperti aku." Tawarku.
"Boleh, siapa takut." Katanya.
Hari Minggu, aku bangun pukul enam pagi dan bersiap untuk berjogging. Suasana pagi yang membiru terang membuatku semangat karena aku kembali bertemu dengan Doni. Entah, ia masih marah atau tidak. Tapi menurutku Doni masih mempunyai hati yang lembut karena menolongku ke klinik ketika tanganku terkilir kemarin.
Seperti biasa, aku mengenakan kaus ketat dan celana legging sepanjang lutut. Entah kenapa? Lagi-lagi aku tak menggunakan Bra Sportku. Seakan SportBra itu terlupakan ketika ingin bertemu dengan Doni. Hasilnya aku memakai Bra yang cukup membuat buah dada menggembung. Di perjalanan, aku mencium tubuhku sendiri. Tercium aroma parfum yang jarang kugunakan, tetapi pagi ini malah kugunakan. Aku jadi mengerti apakah arti semua ini? Setidaknya aku harus tampil berbeda ketika ingin bertemu kekasihku. Walau kekasihku adalah cowok pemalu yang tak mau mengakui aku kekasihnya.
Suasana Taman cukup sepi karena tak ada yang hobi berolahraga di pagi hari. Taman ini ramai di malam Minggu karena terdapat lampu-lampu yang indah untuk nongkrong. Namun sepi dipagi hari. Tanganku yang masih diperban membuat tubuhku tak bergerak lancar. Aku menyapukan sekitar, tak ada sosok Doni disini. Mungkin ia belum datang. Alhasil aku berlari ke taman bermain tempat kami berteduh kemarin.
"Hei," yang benar saja. Firasatku ternyata benar. Ia keluar dari lubang tempat biasa anak kecil bermain panjat-panjatan.
"Kenapa kamu disitu?" Tanyaku sedikit canggung karena kami usai bertengkar kemarin.
"Nungguin kamu," ia berusaha keluar dari sana.
"Ayok lari!" Ungkapku seraya berlari ditempat sembari menunggunya.
Doni turun dan mengikutiku. Derap langkahnya kacau, ia tak cocok bergerak didarat. Sepatu olahraganya saja terlalu besar sehingga menghasilkan suara derap langkah yang keras. Kita bisa membedakan dia sering berolahraga atau tidak itu dari cara berlarinya. Seorang olahragawan berlari dengan berjinjit setengah kakinya. Namun orang yang jarang berolahraga akan berlari menapak seperti gajah. Itu akan membuatnya lebih cepat lelah.
"Tu—tunggu." Belum genap satu putaran. Doni mengeluh dan menumpu kedua tangannya di lutut.
"Hah,,, masak cuma sebentar doank!" Ucapku. Aku berbalik dan berlari mundur. Karena kecepatan lariku berkurang, tubuhku memantul dan buah dadaku mengikutinya. Aku merasakan hal itu ketika Doni mata terpana melihatnya. Tetapi bukannya aku malu, aku malah semakin tertantang untuk menggodanya.
"Ayo, pelan-pelan aja!" Pinta Doni.
Setelah satu putaran kami kembali beristirahat di taman bermain itu. Bersembunyi dibalik alat permaian. Doni terduduk di ayunan dengan keringat bercucuran. Matanya mengerjap-ngerjap seakan ingin pingsan dan nafasnya ngos-ngosan.
"Yang?" Panggilnya.
Entah kenapa, telingaku sensitif dengan panggilan itu. Aku melangkah mendekatinya. Karena ia duduk di ayunan. Tubuhnya cukup rendah ketika aku memeluk lehernya. Seketika wajahnya menyentuh wajahnya. "Hmnnn,,," gumamku menjawab.
"Kamu nggak Sit-Up?" Tanyanya seraya mendongak karena wajahku tepat di atas ubun-ubunnya.
Aku melepas rangkulanku. "Mnnn,,, nggak boleh. Aku hanya boleh jogging."
"Oh," Doni menggumam.
"Kenapa nggak sayang aja yang Sit-Up?" Aku menyuruhnya.
"Enggak ah, capek!" Tolaknya.
"Ayolah, sepuluh kali aja!" Aku membujuknya sembari bergelayut manja. Hal itu membuat buah dadaku bergoyang.
"Se—sepuluh. Mnnn,,, baiklah." Ucapnya. Entah kenapa? Doni memilih tempat yang agak tersembunyi. Tepat di samping sebuah bangku beton yang menyamarkan keberadaan kami. Doni membersihkan dedaunan dan terbaring disana. Melihatnya seperti itu. Aku akan sedikit memberikan hadiah untuknya.
Aku duduk mengangkang tepat di pinggulnya. Lalu kukunci kedua kakiku agar tak lepas. Kuayunkan kedua tanganku ke belakang untuk menahan lutut Doni. Karena kedua tanganku di belakang—buah dada menjadi membusung dan membuat jakun Doni bergerak nyaring. Kulihat keringatnya semakin dingin.
"Eh, ayok, tegak!" Pintaku.
Doni meletakkan kedua tangannya di tengkuk dan mulai bergerak. "Hhhuuuupppfffttt!" Doni kesulitan dan terbaring kembali. "Huaaanhhh,,, Nggak kuat!" Doni mengeluh.
"Ih,,, ayok yang, semangat dikit." Ungkapku sembari melepaskan kedua tanganku yang menahan lututnya. Lalu kucondongkan tubuhku kedepan dan meletakan kedua telapak tanganku di samping wajahnya.
Doni semakin menelan ludahnya karena buah dadaku tepat menggantung di hadapan wajahnya. "Ayok! Tegak!" Entah kenapa, aku malah menggoyangkan pinggulku sehingga membuatnya sedikit meringis, entah kesakitan atau keenakan.
"I—iya!" Ucapnya penuh dengan getaran nada.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIRAMAX
RomanceMira, gadis jangkung yang hobi bermain volly. Terlibat kisah cinta dengan seseorang siswa bernama Doni, siswa yang paling genius di sekolahnya. Namun tinggi badan Doni hanya 159cm, sedangkan Mira setinggi 189cm. Apakah selisih 30cm diantara mereka...